Akhir Perjuangan
AKHIR PERJUANGAN
OLEH FAISAL SYUIB
Saiful memandangi foto itu untuk yang kesekian kalinya. Potret seorang remaja laki-laki berusia 15 tahunan dengan sorot mata tajam dan berkulit putih itu membawa Saiful berkelana dalam renungan, dalam ingatan dan dalam kesedihan yang membalut jiwa. Wajahnya memang menawan, lagak rupa kata orang-orang. Foto itu terbingkai di dinding rumah peninggalan almarhum orang tua Saiful, di kampung. Rumah semi permanen. Dinding kayunya bercat krem kusam dan dibeberapa tempat sudah lapuk dimakan rayap. Entah sudah berapa tahun dia tidak singgah atau pun pulang sebentar ke rumah ini. Terakhir mungkin sekitar 4 tahun lalu, ketika umi meninggal karena usia senja. Yah.. Sekitar empat tahun lalu.
Remaja laki-laki ini sekarang yatim piatu, tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Karena tidak mempunyai siapa siapa lagi, maka Saiful pulang dan berencana membawa sang remaja ke Kota.
“Assalamualaikum..” suara lirih membuyarkan lamunan Saiful.
“Walaikum salam, kiban? Kaleuh dipeugah bak teungku?”
“Kaleuh pakwa, mandum kaleuh Reza peugah, barang-barang pih kaleuh reza siapkan.” Remaja yang fotonya terpampang di dinding rumah itu menjawab.
Ya, namanya reza. Nama pemberian Saiful kepada ibunda sang remaja itu 15 tahun lalu. Melalui pesan berantai yang dikirimkan Saiful dari rimbunnya hutan ke perkampungan, akhirnya si ibu tahu bahwa abang kandungnya menginginkan agar bayi merah yang baru seminggu lahir diberikan nama Reza Mahnur. Bayi merah itu sudah yatim sejak lahir, ayahnya berpulang ketika orok masih berusia 6 bulan.
Ingatan Saiful kembali membayang, menembus dimensi waktu. Lagi-lagi Saiful memejamkan mata. Ya... Hampir 20 tahun lalu, Saiful yang masih muda memutuskan untuk bergabung dengan kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan. Ketidakadilan adalah pemicu Saiful bergabung. Di kelompok itu Saiful memanggul senjata. Keahlian, ketelitian dan keberanian membuatnya diangkat menjadi pemimpin kelompok. Tugasnya adalah mencari dan membuat kekacauan terhadap kelompok baju loreng. Itu adalah musuh, demikian doktrin dari pemimpin tertinggi.
Berbekal rasa perjuangan, Saiful meninggalkan rumah semi permanen dan dua perempuan yang paling disayanginya. Ibunda yang akrab dipanggil umi dan Nurliana si adik kandung yang dua-duanya sangat dirindukan ketika sepi dan lapar melanda di hutan belantara. Bertahun-tahun Saiful melewati momen penting adat kampung dan keluarga, dan bahkan ketika Nurliana si adik yang disayang akan dipinang, menikah dan dipestakan kecil-kecilan ala kampung. Semuanya dilewatkan oleh laki-laki yang menjadi pewaris tugas menjaga Umi dan Nurliana setelah Ayahanda wafat.
Bayang-bayang masa lalu perlahan kembali menyelimuti saraf ingatan Saiful. Seharusnya aku pulang untuk melihat calon adik iparku, seharusnya aku pulang supaya bisa menikahkan mereka, dan yang lebih penting saat itu adalah agar aku bisa melihat wajah adik iparku itu. Seharusnya....seharusnya.. dan berbagai seharusnya lain membawa penyesalan. Tapi sudahlah, tidak usah kuingat-ingat lagi.
Sekitar 17 Tahun lalu, anak buah Saiful mengabarkan bahwa Nurliana akan dilamar oleh seorang pemuda. Cuma doa yang mampu dia kirimkan seraya mengharap bahwa Nurliana akan menemukan pendamping hidup yang mampu membawa Nurliana kepada kehidupan yang lebih baik, lebih tinggi derajatnya.
Kabar bahwa Nurliana akan dipinang sepintas membuatnya bahagia, tapi kadang membuatnya gusar karena tidak bisa turun gunung. Memutuskan untuk turun gunung berarti sama saja dengan menjemput maut. Lebih baik disini saja sampai merdeka itu datang, dan itulah keputusan Saiful. Waktu berlalu, sebulan dua bulan dan akhirnya sampailah berita itu. Pesta telah dilaksanakan di kampung. Nurliana dinikahkan oleh Cek Pudin—adik kandung ayah--karena Saiful tidak bisa turun gunung.
Berhari hari penyesalan itu muncul, tapi sudahlah. Yang penting adikku berbahagia dan pernikahan itu sah. Perjuangan terus berjalan. Bersembunyi di belantara, menyasar musuh dan memberi semangat kepada anak buah mengisi hari hari selanjutnya.
Sampai hari yang membuatnya terkenang. Ya, hari yang takkan pernah terlupakan. Hari Rabu kira-kira lebih dari lima belas tahun yang lalu. Ketika itu subuh baru saja menyingsing, Saiful dan pasukannya melihat sebuah sepeda motor melintas dijalan gampong menuju ke utara. Dari balik bukit yang membatasi hutan belantara dan jalanan itu, Saiful mengendap dan melihat bahwa pengendara Sepeda Motor itu adalah seorang serdadu. Emosinya meledak, ini dia yang jadi sasaran hari ini. Petinggi Ibukota harus tahu bahwa kami jangan diremehkan.
Dor... peluru menyalak, dan orang diatas sepeda motor tersungkur. Sekita satu menit Saiful terdiam, puas. Tapi rasa puas itu segera berganti jadi sesal. Tidak seharusnya aku menembak dia. Dia punya keluarga yang bisa jadi istri dan anaknya sedang menunggu di rumah, atau kalau dia lajang barangkali ibundanya sedang menantinya pulang. Mata Saiful memejam, helaan nafas perlahan, simpul saraf diotak berkelana.
Turun dari bukit, Saiful dan pasukannya perlahan mendekat ke arah korbannya. Dibaliknya tubuh penunggang sepeda motor itu dan mereka melihat wajah korban.
“Aneuk muda, puteh dan rautnya mirip orang seberang pulau.” Anak buah berkata ke arah Saiful. Ya, dia masih muda. Tiba-tiba ada rasa menyesal didada. Tapi pelatuk sudah ditarik dan waktu tidak bisa kembali. Sekilas nama terbaca dari seragam korban; Teguh Heriyanto. Ah... Sudahlah.
Hari berlalu, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan. Berita itu datang lagi, kurir pembawa logistik membisik pelan ke arah Saiful, “Adik iparmu, suami si Nurliana sudah meninggal karena sakit, beberapa purnama lalu”.
Tercenung, memejam mata, menarik nafas. Haruskah aku pulang? Batinnya. Tidak, perjuangan harus diatas segalanya, mengorbankan semuanya, demi kemerdekaan.
Bererapa bulan kemudian, perintah itu tiba. Semua anggota tim mendapat kabar bahwa meraka harus turun gunung, perjuangan selesai. Jauh dari hutan, disebuah tempat dan berbeda negara, para petinggi baru saja memutuskan bahwa damai dan mulai membangun negeri tanpa ada lagi kecurigaan antar dua pihak harus diterapkan. Para petinggi itu menyepakati beberapa keputusan tepat yang seharusnya diputuskan sejak dulu-dulu.
Ah, berakhir.. Aku akan pulang ke kampung dan melihat umi, Nurliana dan keponakanku satu-satunya. Keponakan yang dari rimbunnya hutan kuberi nama Reza Mahnur. Keponakan yang sejak beberapa waktu lalu sudah menjadi yatim. Ya aku akan pulang.
Setelah bersimpuh di kaki umi dan bersalaman dengan Nurliana, Saiful menjelajah rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggali demi perjuangan. Sepanjang malam mereka bercerita, tertawa membahas segala hal mulai yang remeh-temeh sampai pada masalah berat tentang rencana setelah perjuangan usai.
“Bang, suamiku sebenarnya bukan meninggal karena sakit.” Nurliana menatap wajah Saiful dan memulai pembicaraan. “Dia tentara dari Jawa, orangnya taat beribadah dan sangat santun pada semua orang kampung sini. Aku membohongi abang karena aku bukan dalam posisi menjadi penengah atas perjuangan abang. Aku tahu abang sangat membenci tentara, maka kusembunyikan semuanya, sekarang cuma Reza yang kupunya.”Panjang lebar cakap Nurliana. “Dia meninggal karena tertembak OTK,bang.” Saiful terdiam, dadanya sesak sekali saat itu. Kemudian percakapan berlanjut dan Nurliana menceritakan segalanya tentang almarhum suaminya. Saiful menarik napas, sesal.
Ah...Ingatan itu kembali menyapa, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Nurliana dan Umi sekarang sudah meninggal. Akulah yang akan menjaga Reza Mahnur, keponakanku. Akan kubawa kamu ke kota, menyekolahkan dan mendidikmu. Aku akan menjadi ayahmu, dan juga Pakwamu. Dalam batin Saiful berjanji.
Setelah shalat Dhuhur, Mobil SUV mewah itu melaju ke kota. Didalamnya Saiful, Reza sang keponakannya dan seorang supir. Dengan sudut mata, Saiful melihat rumah orang tuanya yang akan ditinggalkan. Kembali Saiful memejamkan mata, menarik napas pelan dan dalam gelapnya pejaman mata seolah-olah Saiful melihat bayangan Nurliana bersama seorang laki-laki yang memakai seragam tentara. Mereka berdua tersenyum ke arah Saiful, sekilas terbaca nama di dada kanan seragam; Teguh Heriyanto. Nama yang sama dengan pemuda yang tersungkur sekitar 15 tahun lalu.
Hmmmmm... Perjuangan selalu memakan korban, dan bisa saja itu orang dekatmu. Tiba-tiba Saiful ingin sekali mendekat dan memeluk mereka berdua.
(Faisal Syuib, PNS pada BKPP Lhokseumawe, hobby menulis fiksi)