Aku Phobia Nasi | I'm a rice phobia [bilingual] #1/366

Assalamualaikum Wr.Wb
Namaku Luthfi Nanda Perdana, biasa di panggil Luthfi, anak pertama dari tiga bersaudara. Aku lahir di Bogor 23 tahun silam, singkat cerita saat aku berusia 2 tahun, Indonesia sedang mengalami krisis moneter, Jabodetabek yang menjadi pusat ibu kota mulai tidak aman untuk di huni, penjarahan dan pembakaran terjadi dimana-mana, ratusan ribu orang turun ke jalan menuntut Suharto yang saat itu menjabat sebagai presiden Indonesia agar lengser dari jabatannya.

My name is Lutfi Nanda Perdana, usually called Lutfi, the first child of three siblings. I was born in Bogor 23 years ago, a short story when I was 2 years old, Indonesia is experiencing a monetary crisis, Jabodetabek which is the center of the capital began to be unsafe to live in, looting and arson occurred everywhere, hundreds of thousands of people took to the streets demanding Suharto who was then serving as president of Indonesia to step down from his post.

Kami sekeluarga memutuskan untuk pulang ke kampung halaman ibuku di Aceh tepatnya di kabupaten Bireuen (tempat yang pernah menjadi ibukota Indonesia masa Soekarno), untuk meninggalkan Bogor sementara waktu sampai kondusif. Tidak lama kami di Aceh, hanya sementara mengingat Aceh yang saat itu juga sedang tidak aman karena konflik berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia, sampai akhirnya aku dan keluarga kembali ke Bogor. Nah dari sinilah kisah phobia nasi dimulai.

Our family decided to return to my mother's hometown in Aceh precisely in the Bireuen district (a place that was once the capital of Indonesia during the Soekarno period), to leave Bogor temporarily until conducive. Soon we were in Aceh, only temporarily remembering Aceh which at that time was also insecure due to the prolonged conflict between GAM and the Government of Indonesia, until finally my family and I returned to Bogor. Well, this is where the story of the rice phobia begins.

Rumah yang telah kami tinggal berbulan-bulan tanpa pengguni, mulai kami tempati kembali, banyak makanan yang harus di buang karena dimakan waktu, kecuali beras. Ibuku menganggap beras dapat bertahan dalam waktu lama karena disimpan dengan baik. Tapi ternyata yang terjadi malah sebaliknya, beras tersebut sudah berbeda rasa, dan aku adalah orang pertama di rumah yang mencicipi nasi tersebut. Untuk rasanya aku tidak tahu, karena umurku saat itu sekitar 2-3 tahun. Semua yang ku tulis ini adalah berdasarkan cerita dari ibuku.

The house that we have lived for months without users, we began to occupy again, a lot of food that must be thrown away because it is eaten time, except rice. My mother thinks rice can last a long time because it is stored well. But apparently the opposite happened, the rice had a different taste, and I was the first person at home to taste the rice. For it seems I do not know, because I was around 2-3 years old. Everything I write is based on stories from my mother.

Mulai saat ini aku tidak pernah mau makan nasi, alhasil ibuku mencari cara agar aku tetap makan karbo, berbagai olahan di buat setiap hari seperti bubur, kentang, roti. Pokoknya semua yang mengandung karbo dihidangkan agar aku tetap makan. Karena kejadian itu, aku jadi tidak pernah makan semua lauk pauk pelengkap nasi.

From now on I never want to eat rice, as a result my mother is looking for ways to keep eating karbo, various preparations are made every day such as porridge, potatoes, bread. All that contains carbohydrates is served so that I continue to eat. Because of that incident, I never ate all the side dishes.

Sampai pada akhirnya sekitaran tahun 2000-2001 aku tak hanya kembali tapi jadi menetap di Bireuen, dan di sana aku sempat di anggap aneh karena aku tidak memakan makanan pokok seperti orang lain makan, kisahku itu berlanjut dari mulut ke mulut sehingga semua masyarakat di situ tahu dan aku di beri julukan anak pabrik, karena orang tuaku selalu membeli makanan pabrik seperti roti, dan lain-lainnya. Tidak lama aku menetap di sana, kami sekeluarga pindah ke Aceh Besar ke kampung halaman ayah saya.

Until finally around 2000-2001 I did not only return but became settled in Bireuen, and there I was considered strange because I did not eat staple food like everyone else ate, my story continued by word of mouth so that all the people there knew and I was given the nickname factory children, because my parents always buy factory food such as bread, and others. Not long after I settled there, our family moved to Aceh Besar to my father's hometown.

Di Aceh Besar, aku mulai tumbuh layaknya anak-anak yang makan nasi. Cukup lama aku menutupi phobiaku ini hanya karena tidak ingin di anggap berbeda, hanya beberapa orang terdekat saja yang tahu ‘keanehan’ ku ini. Beranjak SMP aku memberanikan diri untuk memberi tahu phobia ini, awalnya susah memang selain mereka tidak percaya tidak sedikit juga yang menakutiku dengan butir-butir nasi yang menurutku cukup menggelikan. Kejadian tersebut tidak berlangsung lama untungnya, teman-temanku mulai mengerti dan memahami phobia yang ku alami ini.

In Aceh Besar, I began to grow like children who eat rice. For a long time I covered up my phobia just because I didn't want to be seen as different, only a few of the closest people knew my 'weirdness'. Moving on to junior high I ventured to tell this phobia, at first it was difficult indeed besides they did not believe not a few were also frightening me with grains of rice which I found quite ridiculous. Fortunately, this incident did not last long, my friends began to understand and comprehend this phobia that I experienced.

Singkat cerita, setelah tamat dari SMP aku memutuskan untuk masuk SMK dan tentunya aku harus mengulang lagi cerita-cerita phobiaku yang menurut sebagian orang aneh. Saat SMK aku mengambil jurusan Teknik Elektronika, sudah bisa di tebakkan? Lebih serem, teman-temanku di SMK lebih bar-bar karena memang satu kelas hampir semua cowok. Perihal menakuti dengan butir-butir nasi menjadi makanan pokokku pengganti nasi, ya hampir setiap hari sampai mereka bosan lalu akhirnya berhenti.

Long story short, after graduating from junior high school I decided to enter vocational school and of course I had to repeat my phobia stories which, according to some strange people. When I majored in SMK majoring in Electronics Engineering, can you guess it? More scary, my friends at Vocational School are more bars because it's one class of almost all boys. About scaring rice grains into my staple food instead of rice, yes almost every day until they get bored and then finally stop.

Masuk perguruan tinggi, aku menemukan teman yang memang mengerti dan cukup menghargai, mungkin karena pada masa ini kami telah dewasa untuk sekedar bercanda tentang hal yang sama sekali menurutku tidak lucu. Bahkan saat di perguruan tinggi aku menemukan beberapa orang yang memiliki phobia yang persis sama dengan yang ku alami ini.

Entering college, I found a friend who did understand and was quite appreciative, maybe because at this time we have grown up to just joke about things that I don't think are funny at all. Even in college I found some people who had the exact same phobia that I experienced.

Mulai masuk perguruan tinggi, artinya aku mulai masuk dewasa awal, artinya bakal semakin banyak undangan-undangan atau acara-acara yang semua menyajikan nasi. Mulai saat itu, aku merasa menjadi anti sosial karena phobiaku ini, tapi khusus untuk acara-acara hajatan dan pesta yang tentunya menyediakan nasi untuk dimakan. Untuk acara lain aku cukup suka berkumpul dan berkegiatan, bisa ku buktikan dengan kegiatanku di organisasi saat kuliah.

Starting to go to college, it means I started to enter early adulthood, meaning that there will be more invitations or events that all serve rice. From that moment on, I felt I was becoming anti-social because of my phobia, but specifically for celebrations and parties that naturally provided rice to eat. For other events I quite like to gather and do activities, I can prove it with my activities in the organization while in college.

Bahkan aku sering menolak undangan dengan berbagai alasan hanya karena tidak ingin di anggap aneh dan berbeda. Sekian postingan kali ini, semoga dapat menjadi pengetahuan bahwa ternyata ada manusia-manusia ‘aneh’ seperti aku ini. 😊

In fact, I often decline invitations for various reasons just because I don't want to be considered strange or different. So this post, hopefully it can become knowledge that there are actually 'strange' humans like me. 😊
Wassalam