Esensi memakai Cadar
Pada saat ini ramai kembali permasalahan cadar yang telah dilarang oleh sebuah lembaga. Maka dengan ini, saya tertarik untuk mengurai 2 pembahasan yang sangat penting bagi kita:
1- Apakah benar bahwa cadar adalah budaya arab?
2- Apa pandangan para ulama dari madzhab Syafi’i mengenai cadar? (Karena masyoritas kita adalah bermadzhab Syafi’i)
Pembahsan pertama: Yang harus diketahui adalah bahwa cadar itu bukanlah adat Arab namun syariat islam. Bagi yang ingin mengetahui pakaian adat atau budaya arab, bisa melihat video di bawah ini (klik video dibawah):
Adapun islam, maka jelas agama islam mensyariatkan dalam Al-Quran dan hadits-hadits agar para seluruh wanita muslimah menutup wajahnya. Ini yang disunnahkan oleh agama islam. Kita tak perlu panjang-panjang, cukup kita mengambil satu ayat dari Al-Quran dan satu riwayat dari hadits yang menyatakan bahwa ada syariat menutup wajah bagi wanita dalam agama islam.
Allah ta’ala berfirman mengenai pakaian muslimah:
وليضربن بخمرهن على جيوبهن
“Dan perintahkanlah agar mereka menjulurukan kain kudung mereka hingga dada-dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)
Aisyah bercerita ketika turunnya ayat ini:
لما نزلت هذه الآية: {وليضربن بخمرهن على جيوبهن} [النور: 31] أخذن أزرهن فشققنها من قبل الحواشي فاختمرن بها
“Ketika turun ayat ini, yaitu: ‘Dan perintahkanlah agar mereka menjulurukan kain kudung mereka hingga dada-dada mereka.’ Mereka langsung mengambil kain-kain mereka dan merobek ujung-ujungnya, maka mereka berkhimar dengannya.” (HR. Bukhari No. 4759)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani[1] (Imam besar madzhab Syafi’i) -rahimahullah- berkata tentang hadits ini:
قوله فاختمرن أي غطين وجوههن
“Maksud dari perkataan ‘mereka berkhimar’ adalah: mereka menutup wajah-wajah mereka.” (Fath Al-Baari 8/490)
Sehingga budaya dan adat wanita arab ketika itu tidaklah menutup wajah mereka. Namun ketika ayat ini turun untuk seluruh kaum muslimat, maka para wanita dari kalangan sahabat nabi -shallallahu alaihi wa sallam- berbondong-bondong segera menutup wajah mereka.
Insya Allah sampai di sini jelas bahwa cadar adalah syariat islam dan bukan budaya arab karena itu adalah perintah Allah.
Kemudian pembahasan kedua: Kita tahu bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah bermadzhab Syafi’i. Namun apa kata ulama Syafi’iyyah yang mu’tamad mengenai cadar? Mari kita ulas satu persatu perkataan mereka:
1- Imam An-Nawawi[2] (Imam Besar Madzhab Syafi’i) berkata:
ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح
“Dan diharamkan bagi seorang lelaki baligh melihat aurat wanita asing (bukan mahramnya) yang sudah baligh. Begitu juga haram untuk melihat wajahnya dan telapak tangannya baik hal itu ketika takut akan ada fitnah ataupun ketika aman dari fitnah.” (Minhaj Ath-Thalibin 1/204)
Maka menurut Imam Nawawi bahwa wajah seorang wanita wajib ditutup dan tidak boleh dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya.
2- Dan Imam Ar-Rafi’i[3] (Imam besar madzhab syafi’i) -rahimahullah- juga mengatakan bahwa wajah wanita wajib ditutup. Ini yang dinukilkan oleh Imam Asy-Syirbini (Imam madzhab Syafi’I juga):
وظاهر كلام الشيخين أن الستر واجب لذاته
“Maka apa yang tampak jelas dari perkataan 2 syaikh (Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan adalah wajib secara dzatnya.” (Mughni Al-Muhtaaj 4/209)
Dan kita tahu bahwa pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’I adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ar-rafi’i dan Iman An-Nawawi. Hal tersebut sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ar-Ramli:
من المعلوم أن الشيخين رحمهما الله قد اجتهدا في تحرير المذهب غاية الاجتهاد ولهذا كانت عنايات العلماء العاملين، وإشارات من سبقنا من الأئمة المحققين متوجهة إلى تحقيق ما عليه الشيخان والأخذ بما صححاه بالقبول والإذعان مؤدين ذلك بالدلائل والبرهان
“Dan sebagaimana yang telah diketahui, bahwa kedua syaikh (Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) -rahimahumallah- telah berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam penguraian madzhab Syafi’i. Maka dari itu perhatian para ulama yang mengamalkan ilmunya dan isyarat para imam muhaqqiq sebelum kita mengarah kepada tahqiq (penelitian) yang telah dilakukan oleh kedua syaikh tersebut dan mengambil apa yang telah mereka berdua benarkan dengan menerimanya sembari melaksanakan hal itu dengan dalil-dalil dan bukti.” (Fatawa Ar-Ramli 4/262)
Dan Imam Al-Kurdi Asy-Syafi’I juga berkata:
أن المعتمد ما اتفقا عليه
“Yang menjadi sandaran dalam madzhab Syafi’I adalah apa yang disepakati 2 syaikh (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i).” (Al-Fawa’id Al-Madaniyyah hal. 40)
Dan kedua-duanya “Imam An-Nawawi & Imam Ar-Rafi’I” mengatakan bahwa wajah wanita haram dilihat.
3- Imam As-Subuki[4] -rahimahullah- juga mengatakan hal yang sama sebagaimana yang dinukilkan oleh Asy-Syirbini:
وقال السبكي: إن الأقرب إلى صنع الأصحاب أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة
“Dan As-Subuki berkata: ‘Bahwa yang paling dekat kepada ulama Syafi’iyyah bahwa wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurat untuk dilihat di luar shalat” (Mughnii Al-Muhtaaj 4/209)
4- Imam Ar-Ramli[5] -rahimahullah- juga berkata:
قيل بالتحريم، وهو الراجح حرم النظر إلى المنتقبة التي لا يبين منها غير عينيها ومحاجرها كما بحثه الأذرعي ولا سيما إذا كانت جميلة
“Disebutkan bahwa wajah wanita haram dilihat. Dan ini yang rajih (benar), bahwa haram seorang lelaki melihat wanita bercadar yang tidak terlihat kecuali kedua matanya sebagaimana yang dibahas oleh Al-Adzra’I terlebih jika wanita tersebut cantik.” (Nihayah Al-Muhtaaj 6/188)
Dan inilah para ulama-ulama besar Syafi’iyyah telah mewajibkan wanita untuk menutup wajahnya. Maka sangat disayangkan jika ada yang mengatakan dari masyarakat kita yang bermadzhab Syafi’i bahwa cadar itu budaya arab dan harus dilarang sedangkan madzhab Syafi’i sendiri telah mewajibkannya.
Sehingga pelarangan cadar pada hakikatnya adalah pelarangan syariat islam, namun hanya berkedok larangan budaya arab. Kalau pun cadar adalah budaya arab, kenapa harus dilarang? Bukan ini namanya adalah rasis? Budaya barat diterima namun budaya Nabinya sendiri ditolak. Mana yang katanya kita adalah anti rasisme? Nas’alullahassalamah wal ‘aafiyah.
Semoga Allah memberikan hidayahNya kepada kita semua, wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.
[1] Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau wafat pada tahun 852 H di Kairo. Beliau memiliki ilmu yang sangat luas juga di bidang hadits. Dan beliau bayak memiliki karangan-karangan yang sangat bermanfaat bagi ummat islam.
[2] Nama beliau adalah Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Seorang ulama besar dari kalangan madzhab Syafi’i. Kunyah beliau adalah Abu Zakaria. Beliau juga seorang ulama besar di bidang keilmuan hadits. Beliau berasal dari Nawa salah satu wilayah di Suriah dan beliaupun wafat di sana pada tahun 676 H.
[3] Ar-Rafi’i, Abul Qasim Abdul Karim bin Abi Al-Fadhl Ar’Rafi’i Al-Qazwaini. Adalah seorang ahli fikih dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau memiliki majlis juga mengenai tafsir dan hadits di Qazwain. Beliau wafat di sana pada tahun 623 H.
[4] As-Subuki, Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Tamam As-Subuki. Salah seorang ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan seorang Sufi. Lahir di Subuk (salah satu wilayah di Mesir) kemudian pindah ke Kairo, dan kemudian pindah lagi ke Syam. Dan beliau meninggal pada tahun 756 H.
[5] Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli. Seorang Fakih di Mesir pada zamannya. Beliau dijuluki dengan “Asy-Syafi’i junior”. Nisbat beliau kepada Ar-Romlah sebuah desa yang ada di Mesir. Beliau menduduki pemberi fatwa dalam madzhab Syafi’i. Beliau wafat di Kairo pada tahun 1004 H
(Semua biografi ulama yang telah disebutkan merujuk kepada kitab Al-A'lam milik Az-Zarkali)
Penulis: Ustadz Abdurrahman Al-Amiry