Mak, Ayah; Bolehkah Aku Tidak Pulang Makmeugang Ini?

in #culture6 years ago

** Uroe Makmeugang segera tiba. Mak, Ayah. Mungkin aku tidak bisa cepat menjenguk dirimu yang setiap Uroe Makmeugang selalu menungguku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Pintu terbuka, dan kulihat garis wajahmu yang sudah menua. Aku raih tanganmu yang mulai kurus. Kucium tanganmu sangat lekat, dan aku enggan melepaskan karena engkau yang adalah malaikatku**.

Mak, Ayah. Biasanya, aku selalu mengetuk pintu rumah saat hari jelang pagi. Saya Emak dan Ayah masih terlelap. Kadang sudah berkali-kali pintu ke ketuk, tidak seorang pun datang membuka. Aku rehat sejenak, kuhabiskan sebatang rokok di bangku teras depan. Lalu aku bangkit lagi menuju pintu, dan kembali kuganggu tidurmu oleh sebab kuketuk pintu. Dengan susah payah engkau bangun demi aku anakmu.

Mak, Ayah. Aku sudah di dalam rumahmu. Bahkan sejak lahir aku sudah engkau asuh dan engkau tentramkan di bawah atap rumah kayu yang sederhana. Engkau belai kepalaku di kamar tidur dengan ranjang yang tidak terukir, tapi tidurku setiap malam lelap. Engkau juga tidak pernah membiarkan aku terbaring di balut dingin malam. Dengan ikhlas engkau selimuti tubuhku dengan sarung yang telah kau siapkan sejak senja tadi.

Mak, Ayah. Aku memang sudah bukan anak-anak lagi yang pantas kau manjakan seperti puluhan tahun silam. Walau semuanya itu masih sangat kurindukan. Engkau usap kepalaku, engkau mandikan aku, engkau sisir rambut hitamku, engkau pakaikan pakaianku, dan engkau marahi aku sebagai tanda sayang jika aku salah. Engkau telah benar-benar mendidikku, walau aku belum benar-benar mengabdi untukmu.

Mak, Ayah. Hari Makmeugang ini insyaAllah aku juga akan pulang, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya juga, aku pulang dengan tangan tanpa bawaan apapun, bahkan sekilo daging Makmeugang pun tidak. Walau aku juga tahu bahwa bukan itu yang kau harapkan. Jujur Mak, Ayah, aku malu karena tidak sekali pun engkau rasa daging Makmeugang hasil dari keringatku. Aku merasa malu sama adik-adik dan kakak-kakakku. Karena mereka jauh lebih mampu, dan mereka juga anak-anakmu.

Mak, Ayah. Bolehkah aku tidak pulang hari Makmeugang ini?, walau sebenarnya aku sangat merindukan rasa daging Makmeugang yang engkau masak dengan tanganmu sendiri. Bukan aku tidak rindu. Bukan, bukan itu. Tapi karena aku sangat malu karena engkau masih tetap sama dalam menjaga dan menyayangiku. Sejak dulu, kini, dan kuyakin selamanya. Mak, Ayah, aku sangat ingin membahagiakanmu sebelum engkau atau aku yang pergi. Jujur, hanya aku belum mampu seperti adik-adik dan kakak-kakakku yang telah lebih dulu membuatmu tersenyum.

Mak, Ayah. Masih lekat di ingatanku. Setiap hari Makmeugang engkau ajak serta aku ke pasar untuk membeli daging Makmeugang walau seadanya. Dari belakang kuikuti langkahmu berjalan dalam kerumunan penjual dan pembeli di pasar. Ingin sekali ku jinjing keranjang belanja yang di tanganmu. Mak, engkau tetap tak mengizinkan, karena engkau tahu aku belum mampu membawa beban keranjang yang telah sesak oleh belanjaan. Termasuk sekilo daging Makmeugang di dalamnya.

Mak, Ayah. Hidangan rutin daging Makmeugang sudah siap di meja dapur. Bau akan kelezatan kuahnya bisa kucium dari halaman depan tempat kami anak-anakmu bermain. Dengan kaki telanjang, aku berlari ke dapur dan kuhampiri dirimu dari belakang. Ku memanjakan dan ku bertanya, “Mak aku sudah lapar, bolehkah aku makan daging Makmeugang sekarang?.”

Salam-salaman...
@pieasant

Image Credit: 1 2

Sort:  

Kaidah aneuk agam saboh. 😂😂😂

Hahaha...anco lon

Leubeh sudeh dari hana kunong rukok banleuh bu kisah jih. Mo lon watee lon baca (menghayati). Bek dalam-dalam that bang pan!😅😅

Nyan keu peuseunang droe keu droe mantong

Tulisan ini tak cocok dengan tampang... tapi... hati memang tak selalu sebanding dengan tampang. Salam Hormatku untuk Mak dan Ayah kau, Genk...

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.029
BTC 63566.44
ETH 2483.51
USDT 1.00
SBD 2.67