Setudung Kopi

in #cerpen7 years ago

lukisan kopi.jpg
(Sumber gambar: tubanjogja.org)

"Ayo antar aku pulang. Malam telah senja" ujarmu. Padahal waktu itu cerita kita masih sangat pagi. Baru sekitar dua jam tiga puluh sekian menit kita—atau mungkin aku saja—bercerita.“Bahkan kopiku masih belum menyentuh ampas. Kenapa begitu cepat?”. Bukannya bulan masih terlalu purnama, padahal kita telah berjanji menunggu sabit berlalu, itu seingatku.

"Bagaimana ini?" Kau bertanya sambil menarik lengan bajumu yang menutupi jam tangan itu. "Tunggu, sehembus asap lagi" tadinya aku ingin mengatakan begitu. Aku rasa kau akan marah juga sekiranya aku menghabiskan satu bungkus dalam waktu yang tak sampai tiga jam. Walaupun kau pernah merokok, katamu, tapi aku yakin tidak sekabut mulutku. Bih, kebanggaan macam apa ini?

"Ayuk" ujarku sambil menyeruput tergesa sisa kopi yang sengaja tidak kukebut. Aku masih ingin lebih lama, sampai azan subuh di tanggal natal berkumandang. Tapi sebelumnya kita sudah buat kontrak sampai jam sebelas saja. Pesanmu setengah jam sebelum aku menjemputmu.

Bagian inilah yang aku suka, kau pandai menyicil cerita, "esok masih ada, dan harus ada" kau memotong ketika aku ingin menceritakan tetang puisi 'telanjang' yang aku gubah beberapa minggu yang lalu. Ya, walaupun aku agak gagap menjawabnya, tapi aku suka.

Aku pernah menerapkan permainan waktu, di tahun-tahun ketika aku sepertimu. Itu berarti aku harus mengerti tentang waktu, termasuk ketika aku mulai mencintaimu nanti, misalnya. Tapi aku rasa aku tidak bisa mencintaimu setelah aku dengar kau cukup setia pada cinta dan cukup sakit pada luka.

Semoga saja aku termasuk salah satu pada bagian itu. Yang pertama atau yang kedua, itu sepenuhnya urusan waktu. Yaa, aku tidak bisa berjanji tidak akan mencintaimu saat kau mengoleskan luka, misalnya. Itu sama seperti halnya ketika aku takut berjanji tidak akan melukaimu saat aku sedang cinta-cintanya. Walaupun janji seperti itu sudah hampir menjadi bius penenang agar para kau tak mengelak saja.

"Udah?"
"Ayuk"

Kita sudah setengah perjalanan. Sekarang dekat persimpangan ke arah rumahmu. "Ah, motor tua yang buruk ini" ujarku sambil menepuk-nepuk bagian lampu depannya. Aku fikir kau akan bertanya, ada apa dengan motor payah ini?. Aku rasa kau tidak mendengarnya, karena pada saat yang sama suara mesin kereta sedang meraung sejadi-jadinya. Sebenarnya tidak menjadi masalah yang amat. Seperti kataku ketika kita duduk tadi; "menceritakan kesedihan pada orang banyak tidak akan banyak yang suka, beda ceritanya ketika cerita kita sudah di angkat menjadi film dan tayang di layar lebar" "dan itu berarti kita sudah menjadi mitos sejarah, atau kita memiliki kekasih seorang sutradara" ujarmu sambil terkekeh ringan.

"Oh, tidak. Tidak ada berhubungannya dengan cerita sedihmu tentang film dokumentermu yang ditolak dosen itu" Aku baru berfikir, seandainya kau merasa tersinggung. Aku akan jelaskan. Tidak, aku tidak bermasud menyindir perkara filmmu itu. Aku hanya sedang menceritakan sekelumit kenapa aku, wajahku lebih berat dan kantung mataku lebih hitam saja. Perkara kau lain lagi, aku butuh tiga atau empat kali pertemuan, baru aku bisa memahami. Apa lagi setelah kudengar-dengar filmmu lebih bagus dari buatan teman-temanmu. Yaa, walaupun setelah sekian menit aku menontonnya. Selaku mantan photografer realis, aku akan banyak menyampaikan kritik, kecuali jika aku melihatnya dari sudut abstrak yang tanngung. Okelah, masih bisa dibenarkan.

Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang motor tua yang rongsok dan payah ini padamu. Memang apa pentingnya?. Tentu sangat penting, ketika kau mulai menanyakan ke mana motor normalmu.

Satu tahun yang lalu, aku masih ingat. Ketika itu perjalanan kita lumayan jauh, mungkin kali itu yang pertama kau duduk di belakangku. Tapi kita tidak bercerita apa-apakan?. Selain menampilkan puisi di kafe tanpa bayaran lalu pulang. Kasihan, motorku yang aseli dan jago ngebut kala itu, tidak mendapat bagian sejarah yang akan kucatat, kecuali hanya kenaasan, semisal BPKB nya kugadaikan pada orang yang tampaknya bisa dipercaya namun aku harus mendengar kabarnya bahwa ia sudah beberapa bulan pindah ke Jakarta.

Itu satu perkara, belum lagi aku aku harus mengatakan apa jika seandainya itu tertangkap oleh preman suruhan?. Inilah yang kusebut aku telah bermain api tapi kurang siap menghirup abunya yang menyesakkan. Yaa, yang aku bisa sekarang ini hanyalah percaya niat baik akan berujung baik sajalah. Dan itu bukan Rendra kan?, sekiranya aku pengikut Rendra, tentu aku akan bilang niat baik sodara buat siapa? Selain itu aku tidak bisa menuntut apa-apa. Bukti hitam di atas putih aku tak punya. Hmm, okelah, itulah sekelumit mengapa mukaku tampak murung, sekaligus menjawab pertanyaanmu, kenapa aku murung.

"Tidak masalah kan? Oke, jika tidak setuju dan ingin membuat bantahan silahkan lewat surat pembaca" kelak aku akan mengatakan ini padamu, tentang cerita yang mungkin sangat tidak sesuai dengan aslinya.


Aku suka kau masih punya semacam sepatu kaca. Jika tinggal seharusnya aku tidak lagi mempertanyakan ini milik siapa?. Ya, kuharap aku tidak bisa melihat bening, untuk menaruh alasan ada noda di sana. Tapi tetap saja, engkau yang telah mengerti tetang aku, sedikit setidaknya. Kau telah mengambil resiko, kau masuk pustaka.

"Apa yang ketinggalan?" tanyamu, "cerita" jawabku dalam jawaban; kunci, yang terdengar.

Buku harus segera kita akhiri, untuk selanjutnya kita hidup di luar toga. secepat itu waktu menggelinding lewat anak tangga, lalu sepeda dan gerbang. "terimakasih" begitu saja. Aku mencoba menggubah sebuah puisi.

Tadi sebelum kau kua melirik jam tanganmu, sebelum aku mengantarmu pulang, bahkan sebelum pesananmu datang. Aku sempat bercerita penyair yang aku suka tapi malah aku memiliki buku puisi penyair yang tidak aku suka. Aku suka puisi Sutardji C Bachri, tapi aku tidak punya bukunya. Kau tampak mengangkat tanya dengan bibir yang seketika kontra dengan ayumu, "Sutadji?, kau punya bukunya?" dua atau tiga menit sebelumnya aku menebak akan begitu pertanyaanmu, ternyata sedikit lebih panjang.

"Apakah dia menulis buku?" kau bertanya, seperti bahasa tulisan. Padahal kau bisa saja dengan kalimat yang lebih rileks, santai, semisal "da bukunya ma mu?". Soal kenapa kita terlalu formal semalam, aku rasa karena kita belum bercinta saja untuk lebih terus terang apa sebenarnya yang sedang kita inginkan di balik buku, cerita puisi dan perjalan hidup yang gila dan hampir bunuhdiri itu.

"Ada buku yang malas aku baca dan apa lagi mencarinya di perpustakaan yang kau tahu aku tidak akan menemukannya" Jawabku, kau hanya mendesis, issh, katamu.

"Yaa, aku tidak suka berlama-lama mencari satu buku. Lima menit, masih boleh, sepuluh menit masih bisa. Tapi menit ke sebelas, aku sudah tidak peduli. Aku akan meraih buku apa saja, seketemunya. Udah. Simpel. Atau jika ada tugas dengan referensi wajib, aku akan ke tandon, lalu meminta petugas mencarikannya".

"ishh issh. Nanti jodohmu seketemunya aja lo, Bang. Kau ngak nyari dan ngak milih" ujarmu.

"Iya, biar aja. Hahaha" jawabku sambil terkekeh menyembunyikan bola mata. Padahal aku sedang menyimpan kata, ya aku tinggal membacamu lebih dalam saja untuk selanjutnya melahirkan cintaku padamu. Aku tidak perlu mencarinya lagi bukan?. Itu kata hatiku. Tapi sayangnya, kau tidak duduk di hatiku malam itu. Wah, terlalu picis.


"Gimana?"

"ha?"

"Mmm"

"Oh"

"Ha? Apa? "

"Gimana?"

"Iya e"

"Eee?"

Dalam waktu beberapa jam saja kita sudah mengeluarkan lebih banyak erangan, dari pada sebuah bahasa yang bisa kudengar dengan baik atau bisa kau ucapkan dengan tepat. Seingatku, kita harus mengulang pertanyaan yang sama saat salah satu berujar "gimana? haa?". Sepertinnya kita agak terganggu pendengaran malam itu. Padahal jarak kita hanya dua muka, bahkan sekiranya sedikit sepi atau aku sudah sangat ingin mencintaimu, aku akan menciummu tanpa peduli. Ini tandanya kita tidak terbiasa mendengar, bukan?. Artinya memang kita tidak pernah berbicara saja.

Aku teringat ketika ingin menjemputmu empat jam yang lalu.

"Oke" ujarku membalas pesan. Lalu membuka tudung kopi, mehisap rokok, meletakkan korek, meneguk es. Pergi dan semoga kau masih bisa kukenal. Huuuft.

"di depan"

"di mana?"

".... "

" Oke, tunggu"

Ada beberapa anak batu yang menempel pada plakin bertepuk tangan. Debar.

"Sudah lama kita ngak jumpa" kau merengek, sambil memanja pinggangku dengan pelan. Aku suka itu.

"Iyaa.. Mmm.. Tadi.. Eeee" Debarku.

"Gimana?, ngak kedengeran, nanti aja kalo udah sampe" ujarmu. Kita hanya diam di atas si butut tua itu, aku hanya merasai nafasmu yang ternyata lebih kecil dan lembut dari pada yang aku bayangkan.

Tiga setengah jam. Cerita. Puisi. Puisi. Buku. Pustaka. Cinta?, kucoba tapi kau jawab di perjalanan pulang. Yang aku tidak bisa menanggapi lebih dari pada; iya tidak, sulit, berat.

"Sudah kutunaikan"

"Judulnya apa?"

"Kopi tanpa tudung? "

"Lebih baik. Bagaimana kalau 'setudung... Pulang yok" dan pulang.

Puisi-puisi kita telah bertumpuk di meja itu, siapa lagi yang akan duduk di sana. Semoga saja dia bukan kritikus sastra, bisa jadi hancur kita diumpatnya. Mereka cerdas, soalnya. Hanya kadang jawaban mereka pada cekikikan temannya saja yang tolol.

"Terimakasih ya Bang. Jangan kapok-kapok"

"Iya.. Terimkasih ya. Aku langsung balik ya?"

"Iya"

Sunyi. Rindu. Debar.

"?"

"Iya"

"Aku ingin menciummu. Lalu besoknya aku mulai berfikir bagaimana mencintaimu"

"Oke"

Pulang. Tanpa ciuman, hanya ada ketololan. Kenapa harus jujur? Ya, pun sekiranya kau ingin menciumnya, kau harus mengobral bahasa cinta dulu goblok. Kenapa aku tolol.. Hhaaaah.

Aku rasa setelah malam itu kita tidak akan bertemu lagi. Atau sekiranya kita masih bertemu, aku akan langsung menciummu dan bercinta, kau tak boleh menolak. Sebab kelak itu telah sah badanmu menyatu dalam badanku.
Dan sayangnya itu tidak pernah ada tanda-tanda akan terjadi. Lagi-lagi karena kau sempat mencintai orang yang sekarang sudah kau benci dengan sesakit-sakitnya.


"Masih ada rencana kawin?"

"Aku belum mikir ke sana"

"Sama"

"Cocoknya kita ngundang kawan buat mentasin puisi di acara mentenan"

"Ya, di mantenanku kelak"

"hahahaha" Kita berkelakar kecil, di atas motor sewaktu aku mengantarmu pulang.

"Aku pengen punya anak kembar yang lucu, tapi aku ngak mau nikah. Tapi aku ngak mau zina. Mungkin masih ada Maryam 2017"

Berkelakar lagi. Berjalan lebih lambat. Aku masih ingin lebih lama.

Sampai.

"di sini aja?. Beneran ngak apa? "

" Ya, di situ ada hajatan"

"terimakasih ya"

"Jangan kapok-kapok ya Bang"

"Aku balik ya"

"Iya"

Sunyi dan sedikit lebih rindu saja. Pulang. Pena dan kertas. Puisi. "sekarang maslahnya bertambah satu, kau sudah ingin kucintai. Jangan lepas. Atau kau terkutuk dalam tulisanku"

Yi Lawe,
Yogyakarta, 2017.

Sort:  

Apik! Aku terlanjur penasaran dengan puisi telanjang itu. Kelak waktu, bila masanya tiba, aku ingin ngopi denganmu di sudut Jogja. Sambil bercerita tentang banyak hal. Sayang, jarak antara Aceh dan Jogja tak bisa disimsalabimkan hanya dengan berkedip mata lalu sampai.

Salam hangat saya @lontuanisme untuk saudara @yilawe.

Terimakasih bang @lontuanisme, moga-moga kita bisa nyeruput kopi, entah itu di Jogja atau Aceh.. Sementara kita bisa berbincang di steemit bang, pertemuan kan hanya perkara waktu. Hehe.. Salam kembali.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 59035.93
ETH 2519.79
USDT 1.00
SBD 2.47