TELINGA
karya: Nizam Al-Kahfi PKB
Tidak ada bekas luka. Jika ia dipotong maka potongan itu adalah bedahan yang bersih. Aku bertanya kepada kawanku bagaimana ia kehilangan telinga kanannya itu. Aku bertanya karena baharu saja empat hari lalu telinga kanan itu masih ada. Sekarang yang tinggal hanya lubangnya. Jika dibedah pun tentu belum sembuh dan masih berbalut.
"Bukan urusanmu," katanya. "Pedulikan urusanmu sendiri!"
Aku terkejut juga dengan jawabannya itu karena biasanya ia tidak begitu. Mungkin bertelinga satu menyebabkan seseorang itu jadi amat sensitif. Ia menjadi seorang yang pendiam, penyendiri dan pemarah.
Seminggu kemudian seorang lagi temanku hilang telinga kanan. Seperti kawan yang mula-mula itu, tidak ada bekas potongan, bersih dan licin, yang tinggal hanya lubang. Apabila hal ini kutanyakan kepadanya, ia terus marah.
"Apa kaupeduli?" katanya. "Bukan telingamu!"
Fenomena kehilangan telinga kanan ini semakin menjadi-jadi, semakin banyak lelaki yang kehilangannya. Mereka ini jadi sangat pemarah, sensitif dan agresif apabila ketiadaan telinga kanan mereka ditanyakan. Mungkin juga karena ini hal tersebut tidak pernah diberitakan di koran dan televisi (seperti ada perintah untuk menutupinya). Selain itu mereka tidak suka diganggu. Aku tidak faham mengapa mereka harus sensitif begitu.
Kejadian ini tidak pula berlaku kepada kaum wanita. Inilah yang menjadi inti perbualanku dengan seorang wanita asing yang baru beberapa minggu kukenali. Ia jelita dan fasih berbahasa kita. Meski belum lama kenal perhubungan kami sudah sangat rapat. Aku membawanya ke Pantai Seri Kenangan untuk melihat ombak karena ia sendiri yang ingin melihat ombak. Kami tidak keluar dari mobil. Sebuah mobil tidak bermerek berhenti di tepi mobilku. Aku terlihat seorang lelaki keluar dari mobil itu.
"Seorang lagi," kataku, "telinga kanannya tidak ada."
"Apa sudah terjadi?" katanya dengan tertawa. "Lelaki di sini mula hilang telinga kanan mereka."
"Syyyyy," kataku. "Jangan cakap keras-keras. Nanti ia terdengar. Ini isu sensitif."
"Lelaki yang kacak tampak tidak seimbang apabila telinga kanannya hanya tinggal lubang," katanya.
"Betul," kataku. "Tapi kasihan juga mereka."
Ia memegang tanganku erat-erat. Aku memandang mukanya. Ia memandang ke dalam mataku.
"Aku suka lelaki yang lengkap segala-galanya," katanya. "Seperti kau."
Aku rasa ini terlalu awal untuk adengan romantis. Tapi what the hell, sebagai seorang lelaki yang lengkap segala-galanya, aku tidak akan melepaskan kesempatan. Akulah yang merebahkan kepalaku ke bahunya sementara tangan kanannya merangkul bahu kananku. Aku terbuai apabila jari-jemarinya mengusap-usap pipiku dan mengurut-urut telingaku. Aku suka ia mengurut-urut telingaku seperti itu.
"Sekurang-kurangnya kau masih lengkap," katanya. "Keras lembeknya telinga melambangkan kejantanan seorang lelaki. Aku suka kau."
Aku mengangkat kepalaku dari bahunya dan menghadapnya, lalu meraba-raba kedua-dua telinganya.
"Lembutnya telinga wanita," kataku, "melambangkan lembut dan halusnya jiwa seorang wanita. Aku juga suka kau."
Aku merebahkan kepalaku ke bahunya lagi. Ia terus meraba-raba, memijit-mijit, mengurut-urut dan memulas-mulas telinga kananku. Asyik sekali.
Tup!
Telinga kananku itu tanggal. Ia memandangku dengan tersenyum. Ia memasukkan telingaku itu ke dalam tas tangannya.
"Kami membutuhkan telinga kamu, manusia lelaki yang mudah tertipu," katanya. "Bye bye! Will never see you again!"
Ia keluar cepat-cepat dan masuk ke mobil yang tidak bermerek. Mobil itu terus memecut dengan laju, dan menghilang di depan mataku masuk ke dimensi lain.
Giliran aku pula untuk sensitif dan marah-marah. Sebelum orang bertanya aku sudah menyergah dan menyumpah.
"APA TANYA-TANYA?" bentakku. "MAU MATI? MOGA-MOGA TELINGAMU JUGA HILANG!"
© cerita-secangkir-kopi-pkb19082012-edisi-revisi-nak16012018