[CERITA SERAM] Lintah yang Keluar dari F*rji Istriku

img-0189-dfc00232e29c40e54733c0d8d041af44.jpg

“Maakkk, tolong! Tolong!” Terdengar suara teriakan Darsih dari kamar mandi.
“Aaaaargh! Sakit!”
Aku yang kebetulan baru pulang dari kandang sapi pun langsung terkejut bukan kepalang, sampai menyenggol gelas di atas meja hingga pecah. Mendengar teriakan itu membuatku dan Emak berlari menuju kamar mandi. Sekarang sudah jam enam, beberapa menit lagi akan magrib. Di luar sudah mulai gelap.
Terlihat Darsih sedang terduduk di lantai dengan darah segar yang mengalir cukup banyak. Emak cepat-cepat duduk berjongkok di hadapannya. Bau amis darah bercampur bau sabun mandi pun seketika membuat perut mual.
“Kenapa, Sih? Kenapa berdarah?” tanya Emak.
“Kamu terpeleset?” timpalku sembari membopong punggungnya agar tidak terjatuh ke lantai.
“Mak, ada lintah di dalam sana. Tolong tarik, sakit sekali.” Darsih mengaduh kesakitan.
“Bagaimana bisa ada lintah?”
Dengan sigap Emak melihat ke bawah dan benar saja ada hewan itu di sana. Dengan hati-hati Emak menariknya dengan kain yang sudah dioleskan pasta gigi. Memang, lintah itu menempelnya kuat sekali. Sebagian tubuhnya masih di dalam.
“Tahan, Nak! Emak akan menariknya.”
Emak menarik lintah besar itu dan berhasil keluar. Sangat mengherankan mengapa lintah itu hidup! Aku membelalak hampir tak percaya sedangkan Darsih masih terus memekik kesakitan.
“Lintahnya hidup, Mak!” ucapku heran sembari menatap lintah yang menggeliat di lantai.
“Ini pasti ada yang tidak beres, tidak biasanya ada lintah hidup keluar dari tubuh manusia.”
“Mak! Masih sakit! Tolong ….” Lagi-lagi tubuh Darsih mengejang hebat.
Emak pun langsung membulatkan mata dan sangat jelas terlihat wajahnya yang kebingungan. Ia kembali mengoleskan pasta gigi ke kain basahan. Rupanya lintah itu masih ada!
“Sabar, Sih. Mak mau ambil lagi lintahnya. Buat kamu, Dadang, pegang erat istrimu agar kepalanya tidak membentur lantai! titah Emak.
Aku mengangguk. Sangat tidak tega melihat Darsih kesakitan begini, sampai-sampai air matanya keluar, dan ia meringis bak anak kecil. Ada apa? Sebuah firasat tidak enak pun muncul.
“Lintahnya masih ada! Besar-besar sekali! Ya ampun, Nak.” Emak kembali menarik lintah dari dalam sana.
Ada lima ekor lintah yang keluar dengan tubuh gemuk-gemuk. Tangan Emak masih bergetar walaupun ia tidak lagi menarik lintah.
“Lintahnya sudah habis. Mak cari tidak ada lagi.”
“Mak, Darsih pingsan!”


Selepas magrib, di rumah sudah datang bidan desa. Ia memeriksa Darsih dan membersihkan sisa-sisa darah yang dibantu pula oleh Emak. Di luar hujan gerimis halus disertai angin lumayan kencang, membuat atap rumah kami bersuara karena banyak dijatuhi ranting-ranting kecil pohon alpukat.
Aku menunggu dengan gusar di depan pintu kamar dengan perasaan tak menentu. Semoga Darsih segera sadar dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Otakku kacau kala memikirkan dari mana datangnya lintah itu. Darsih tidak pernah mandi di sungai. Namun, mengapa ada hewan itu di dalam tubuhnya?
Pintu pun dibuka, wajah ibu mertuaku ini sudah terlihat agak lega.
“Gimana, Mak?”
“Darsih sudah sadar, tapi masih terasa sakit. Lukanya sudah diobati dan sudah disuntik sama Bidan Dewi.”
Kalau sudah selesai berurusan dengan pembersihan darah, itu artinya aku sudah dibolehkan masuk. Emak pergi ke dapur sebentar untuk membuatkan minuman.
Darsih terlihat lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Untunglah ia sudah sadar, memang butuh waktu untuk memulihkan kesehatannya. Lintah yang keluar dari tubuh bukanlah sesuatu yang sepele.
“Bang,” ucap Darsih.
“Syukurlah kamu sudah sadar, istirahatlah biar cepat sehat.” Aku mengelus pucuk kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Iya, Darsih, istirahat dulu. Jangan lupa rutin minum obatnya, ya.” Bidan Dewi memperingatkan Darsih.
“Iya, Mbak.”
“Emaknya mana, Mas? Kita harus ngobrol sebentar di luar.” Bidan itu berkata sembari membereskan alat-alat medisnya.
Akhirnya, kami bertiga duduk di ruang tamu.
“Saya belum pernah bertemu pasien yang di dalam tubuhnya ada lintah. Ini pasti ada sesuatu yang salah. Apakah Darsih suka makan sayur kangkung?” tanyanya serius.
“Benar, Nak. Darsih memang suka sekali sayur kangkung. Memangnya ada hubungannya dengan lintah?” Emak balik menanyai karena heran.
“Kalau masak kangkung, biasanya batangnya dibelah dulu?”
“Tidak, langsung saja dimasak.”
“Nah, kalau menurut saya lintah itu berasal dari batang kangkung yang tidak dibelah. Bisa jadi hewan itu masuk di dalam rongga dan saat dimasak, ia belumlah mati. Lintah itu tubuhnya kuat. Bisa jadi karena hal itu. Akan tetapi, ada hal yang membuat saya heran, mengapa lintah itu keluar dari k*maluannya? Seharusnya, keluar dari anus.”
“Jadi, bagaimana itu solusinya?” Gantian aku yang bertanya.
“Besok coba ke rumah sakit di kota untuk memeriksakan bagian organ dalam, mana tahu banyak yang luka,” sarannya.
“Baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya.”


Jam satu malam, aku belum juga kunjung bisa tidur. Emak menjaga Darsih di dalam kamar sedangkan aku duduk di beranda rumah sambil menatap lima lintah yang sudah mati. Hewan itu masih di dalam asbak, sengaja kuletakkan di situ.
Hujan gerimis sudah reda, cuma angin masih menderu. Di jalanan terlihat samar-samar asap putih yang turun dari gunung. Mungkin karena dingin, jadi orang-orang yang bertugas ronda pun tidak terlihat lewat depan rumah. Biasanya kalau lewat dan melihatku, mereka akan mampir sebentar untuk merokok sambil ngobrol ringan.
Ekor mataku melihat anak perempuan sekitar umur tujuh tahun, ia berbaju kembang warna putih. Rambutnya panjang tergerai, tapi wajahnya terlihat pucat. Anak siapa keluar tengah malam? Apa itu Uci si anak Pak RT. Soalnya dari jauh terlihat mirip.
Gadis itu berjalan dari semak pagar tanaman depan rumahku, tangannya membawa sesuatu yang hitam seperti mangkuk. Makin dekat, cahaya lampu membantuku untuk tahu kalau benda yang dibawanya itu adalah tempurung kelapa. Isi tempurung itu adalah air dan bunga melati. Persis sedang main masak-masakan. Main sama siapa?
Jarak kami makin dekat, nyatalah ia bukan Uci. Lalu, siapa gadis ini? Dia terus berjalan mendekat dengan senyum pucat. Aku dapat mencium bau melati menguar.
“Ngapain kamu keluar jam segini? Mana ibu kamu, Dek?”
Dia menggeleng. Kemudian hening. Angin menerbangkan helaian rambutnya.
“Aku disuruh ke sini buat ambil peliharaan kami,” ucapnya setengah berbisik. Suara halus seperti terbawa angin.
Rambut di bagian tengkukku terasa meremang tanpa sebab.
“Gak ada kucing yang datang ke sini. Om antarkan pulang, ya. Rumah saudara kamu yang mana?”
Ini pasti anak kecil yang sedang mencari kucingnya yang pergi. Aku yakin dia pasti keponakan dari salah satu warga desa. Aku cukup familiar dengan anak-anak kecil di sini karena sering bertemu di ladang. Tapi, tidak dengan gadis ini. Ia pasti orang baru.
Kami beberapa saat bertatapan, sejurus matanya amat tajam. Tiba-tiba dia hilang! Aku langsung mengucek mata seolah tak percaya. Sambil menoleh, tak sengaja mataku melirik asbak berisi lintah yang sudah mati tadi. Lima lintah itu sudah raib bersama darah-darahnya! Asbak itu bersih total!
Tidak ada jejak apa pun, hanyalah bau melati yang masih tercium. Malam kembali hening dengan seribu misterinya. Aku masih mematung.
“Dang … Darsih mimisan!” Emak tiba-tiba datang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.
Bersambung....

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 58639.60
ETH 3167.30
USDT 1.00
SBD 2.43