CERPEN PEREMPUAN MURAHAN BAGIAN 3

in #busy6 years ago (edited)

PEREMPUAN MURAHAN BAGIAN 3

image
image
Hari itu berlalu keras, kulihat abu masih belum beraksi, pantas jasad si kakak belum sadar diri masih dibawah kendali. Sore harinya ketika aku beraktifitas seperti biasa, yakni pergi ke “kulah” untuk berwudhuk kudapti ekspresi wajah abu yang mengerikan layaknya harimau yang hendak menerkam mangsanya. Sorot matanya begitu tajam seolah mencari sesuatu, aku sudah bisa menebak lebih dulu pasti abu sedang mencari kakak itu.
Aku sendiri juga kurang tau, kami tidak satu bilek entahlah apa dia masih belum sadar dari pingsannya, atau mungkin hanya sebatas bersembunyi dari kecaman maut hanya Allah dan dia sendiri yang tau.
Sore itu berlalu murung, matahri sore enggan menampakan rautnya, bersembunyi dibalik shihab, bukan karena tersipu tapi karena malu pada Allah jika harus menyinari insan yang tidak patut diarti.
Tak ada yang bilang tapi alam menafsirkan kemurkaan Allah yang terlukiskan lewat langit yang meretak, menumpah air disetiap celah, lewat bumi yang berkerut seolah tak lagi mengizin pijak lewat pohon yang menunduk, burung yang murung, bulan yang kelam tertelan awan muram, rintik terus berantai mengguyur, turut berduka kesedihannku semalam.
Aku hanya tertegun melihat sekeliling yang tak lagi bersemangat, tepat setelah wirid magrib usai, abu yang sedari tadi sudah tidak kuasa lagi membendung peluh amarahnya, segera menumpah ruah seluruh kekesalannya.
“Ho ka tgk Ainon glah 4?” Tanya abu sambil bersandar didinding dekat tirai yang sudah terlihat usang. Semua santri terdiam dan hanya saling berpandangan satu sama lain, tiba – tiba terdengar suara salah seorang santri yang tak lain adalah kawan bilek kak ainon. “hideh lam bilek abu” jawab kakak yang satu itu. “Tapi ,,,dari beno ken kahana jibedoeh- bedoeh lom” tambahnya lagi. “Eu,,,,droeneh saboeh bilek ngen jih?” Tanya abu lagi. “nye abu” sahut si kakak pulen. “Jino ci jak hei siat jih kenoe, tren mepadin droe ureng, menye manteng pingsan beuet jih kenoe” tambah abu yang saat itu mulai Nampak geram. Kami yang para santri lain yang tidak bersangkutan hanya terdiam, menunggu waktu yang dinanti – nanti terutama aku, bukan soal aku sok suci tapi entahlah,,,mungkin amarah yang tak berujung dan kebencian yang tak bertepi ini tumbuh akibat mataku sendiri yang langsung menjaring pemandangan biadab itu.
Tiba – tiba teriakan bercampur linangan air mata dari kak yani membelah kesemnyapan yang sedang membelenggu aku, abu, dan para santri lainnya.
Dalam keadaan tengah – tengah akibat berlari kak yani berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan kak ainon. Namun belum sempat kak yani bicara ia sudah lebih dulu ambruk kelantai musallah, tak kuasa mengucapkan kata – kata ia hanya bisa menangis pilu, tersangkur bertemankan isak yang tak bisa mereda.
Kami semua mulai terheran – heran ada juga yang langsung menangis seketika melihat kak yani yang seolah telah kehilangan segala.
Abu pun tinggal diam beliau langsung memerintahkan beberapa santri lainnya untuk membantu membangkitkan kak yani yang sama sekali tak kuasa menopang diri sendiri.
Para santri dengan segera membantunya, tapi belum tegak benar badannya dipapas oleh teman- teman kak yani lebih dulu mencegah mereka.
“Neupeleh lon,,,ken lon yang perle nebantu” isak tangisnya membuatnya susah bicara suaranya parau tak bisa menjelaskan yang sebenarnya.
“Lebeh get jino langsong lam bilekainon nejak” belum usai nafasnya tersendat, ludahnya tertelan. Tak benar – benar layaknya baru saja menyaksikan pemandangan yang mengerikan, susah dijelaskan.
Tanpa menunggu kak yuni lanjut bicara, abu, aku, dan beberapa santri lainnya bergegas menuju bilik kak ainon. Sedang bebrapa orang berusaha menenagkan kak yani di musalla sedang yang sisanya hanya gaduh membuat riuh suasana.
Sebelum sampai bilik tujuan, kami sudah mendengar isak tangis menggema memenuhi ruangan bilik kak ainon, ada pula yang meratapi layaknya perempuan gila. “macam tak berilmu agama saja” batinku
Setiba dibilik kami semua dibuat tercengang suasana, aku yang kala itu tepat berdiri di samping abu hampir saja memluk abu, untung aku tak reflek kala itu. Lukisan berirama guratan – guratan kelam kesedihan menyerpa seluruh pandangan ku. Jantungku seolah sedang berperang, bulu roma terbentang seolah melihat setan, seluruh badan bergetar hendak roboh. Tapi kukan berusaha sebisa mungkin untuk bisa tenang bagaimana tidak, seumur hidup baru kali ini mata telanjangku menyaksikan peristiwa seganas itu darah hitam bercecran dilantai bahkan lebih mengerikan lagi dari mulut kak ainon keluar busa pekat layaknya susu. Aku merasa jijik akan semua itu terpaksa ku berjalan melewati jejak – jejak telapak kaki yang menginjak darah dengan berinjit. Bukan soal “ceceu ek” tapi yue inilah aku, tak bisa melihat darah masih mending kala itu kepala ku tak ikut pening, biasanya aku bisa – bisa muntah karna darah bahkan pernah juga pingsan.
Tiba disamping kak ainon aku langsung meraih tangannya, memastikan denyut nadinya apakah masih ada atau sudah pulang kerahmatulullah? Sesaat sebelum abu menyampaikan keputusan Allah, lebih dulu dimarahinnya. Tapi sayup – sayup cuek tetap tersirat dalam kata – katanya itu. Marah,,,,,tapi datar.
“Bek gabuk” begitu ujarnya kuketahui itu marah, dari suaranya tergores kasar.
Hanya sekejab abu sudah menemukan jawaban itu bisa kudapat dari suara desir nafas abu yang ditarinya dalam – dalam begitu juga dengan sorot matanya, terbelalak seolah hendak keluar.
Semua pandangan tertuju pada abu menunggu kepasatian kenyataaan, kami semua tak ubahnya bak anak idiot jalanan mulut terbuka “untung tak sampai ngiler pandangan penuh harap semua tertembak ka arah abu.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un” hanya itu kalimat yang terucap dari mulut Abu bak petir dimalam kelam menyambar jiwa – jiwa kami, membuat mulut kami semakin lebar ter enganya, isak tangis pun pecah menyerbak menyerpa bilik kak ainon tapi entah kenapa suara terjerat sesak “tak percaya” hanya butiran bening yang berliku – liku dipipiku, sekali – sekali nyasar masuk kemulutku memang sich air mata itu manis rasanya bagi ku. Walau banyak bilang asin tapi kali ini aku benar – benar hilang rasa, pengecapku seolah kaku, tidak bisa lagi mendeteksi rasa apa yang masuk kemulutku kata itu.
Shubuh itu mengalir seram bulu kudukku terbentang curam, aku seolah berada di goa tanpa penerang di atasku kelelawar berang berterbangan lalu lalang, tak ada tempat menggantungkan harapan selain pada tuhan di kakiku ternganga jarang aku terperangkap nuansa gersang.
Inilah kita makhluk tuhan pelepas harap penunggu curah kasih tuhan. Mungkin kita bisa bergejolak tanpa balasan tapi kitap tetap masih menumpang.
Apakah arti nikmat tersirat bila harus merangkak dinding buta, lalu terjatuh mengelam jarang derita kita “wanita” kita punya “harga”.
Pagi ini tak secerah pagi kemaren, sayup – sayup isak tangisan masih belum reda rutinitas pengajaran dilibatkan sehari bagi kami siswa siswi sekolah diperiksakan seperti biasa.
Berdasarkan hasil visum dokter kak ainun menegak cairan beracun yang lebih dikenal dengan sebutan “baygon” karena terlalu lama taka da satupun yang mengetahui akhirnya ia tak sanggup bertahan lagi. Polisi juga menegaskan tiga luka tusukan yang terdapat dibagian perut kak ainun, jelas aksi bunuh diri tak ada secuilpun unsur pembunuhan dan yang lebih mengerikan dokter memastikan kak ainun telah hilang,,,,,”perawan”.

Bersambung

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 60787.40
ETH 2994.79
USDT 1.00
SBD 3.82