Antara Bireun-Lhokseumawe

in #buku6 years ago (edited)

**Antara Bireun-Lhokseumawe**
![image]()

Untuk pembaca,
Masih dengan sejarah aceh pasca konflik (DOM) beberapa tahun silam, dimana seorang laki-laki bernama ZAINUDDIN yang keseharianya bekerja sebagai pengepul ikan dan udang dan mayatnya yang tak tahu dimana (kasus).

Penetapan Aceh sebagai DOM pada tahun 1989 membawa banyak aturan baru yang harus dipatuhi masyarakat. Diantaranya adalah pemberlakuan jam malam. Warga hanya dapat berada diluar rumah hingga pukul delapan. Lebih dari itu, aparat akan segera menangkap siapa saja yang masih belum masuk rumah.

Zainuddin yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul ikan dan udang, tinggal di Lhokseumawe. Istri dan anaknya ditinggal di Bireun bersama keluarga. Setiap hari Zainuddin membeli ikan dari nelayan, kemudian menjual pada tauke di Lhokseumawe. Udang diambilnya dari Idi. Penghasilannya sebagai pengepul tidak besar tapi masih cukup untuk membiayai anak-istri.

image

Suatu hari di bulan juli tahun 1990, Emihaz, istri Zainuddin, yang tengah hamil tua, merasa tidak enak hati karena sang suami sudah sepuluh hari tidak nampak batang hidungnya.

Biasanya seminggu sekali dia tetap pulang." jelas Emihaz. Waktu itu baru setahun DOM diberlakukan. Malam hari, suasana sepi sekali, Mencekam. Karena sepuluh hari terlalu lama, dan karena kandungannya sudah semakin dekat waktu untuk lahir, emihaz memutuskan untuk mengabari suaminya.

Saya kirim surat kepasar ikan Lhok, (Lhokseumawe). Tempat suami saya biasa mangkal. Saya bilang saya sudah mau melahirkan, dan minta dia segera pulang. Cerita Emihaz. Lama tidak ada jawaban. Pada hari kelima, barulah ada seseorang mengantarkan surat jawaban pada saya. Tapi yang menulis orang lain, bukan suami saya. Saya juga tidak tahu siapa yang menulis surat itu.

Isi surat pendek itu seperti vonis kiamat bagi Emihaz: (Zainuddin) sudah tidak ada lagi di pasar ikan. Sudah diambil TNI.

Saya minta tolong pada saudara di Lhokseumawe untuk tanya-tanya, cari informasi. Menurut orang-orang di pasar ikan, waktu itu suami saya pulang lewat jam malam. Kata Emihaz.

Para kenalan Zainuddin di pasar ikan mengatakan bahwa hari kamis, 5 juli 1990 Zainuddin mengendarai motor taukenya menuju bireun. Sebelumnya, teman dan saudara-saudara di Lhokseumawe sudah memperingatkan, agar kalau berangkat nanti Zainuddin tidak melewati pukul delapan.

image

Tapi menurut teman-teman di pasar, justru dua berangkat pukul sepuluh malam. Emihaz menarik nafas panjang. Kalau hendak pulang kerumah kami dibireun, dia harus melewati sebuah pos aparat di meunasah Teupin Mane. Emihaz berhenti sejenak. Saya tidak tahu, siapa yang mengambil dia. Tapi yang jelas, sejak bulan tujuh itu anak-anak saya kehilangan ayahnya. Kalau masih hidup, pasti dia tidak akan menelantarkan anak-anaknya, pasti dia akan pulang.

Emihaz melahirkan anak ketiga dua minggu setelah suaminya hilang. Lima puluh hari setelah itu, dia kembali kedaerah asalnya, Nagan Raya. Disanalah dia bermukim sampai sekarang.

Dua tahun setelah kembali ke Nagan saya dapat berita, katanya suami saya ditemukan. Tertelungkup di pinggir pantai, sudah meninggal. Jasadnya penuh darah, lanjut Emihaz. Mendengar itu saya minta kerabat yang di Lhokseumawe mengecek kerumah sakit. Bagaimanapun kondisinya, kalau benar itu ayah anak-anak saya, saya harus merawat jenazahnya.

Namun ternyata jenazah yang ditemukan di tepi pantai Lhokseumawe itu bukan Zainuddin, entah siapa. Zainuddin tetap tidak ada kabarnya.

Belakangan anak saya yang sulung bergabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), kata Emihaz. Setelah itu, saya jadi sering berurusan dengan aparat. Hampir setiap hari saya mendapat panggilan. Kalau dihitung, saya dipanggil ke koramil tujuh kali ke balai duek pakat (SGI), empat kali ke pos Kopassus empat kali juga. Padahal waktu itu si sulung masih kecil. Sunat pun belum, di seluruh Nagan Raya, dialah anggota termuda. Muda atau tua, setiap tindakan memang selalu ada konsekuensinya. []

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 54610.81
ETH 2293.78
USDT 1.00
SBD 2.35