Kecerdasan Budaya
Catatanku yang tercecer:
Ketika kita mewacanakan tamaddun (peradaban) Aceh dengan menerapkan syariat Islam saat yang sama kita “bertengkar” darimana memulainya. Bahkan kita cenderung menganiaya peradaban itu sendiri. Wacana itu kemudian hanya wacana di bibir etnisnya. Di sinilah penting ada kecerdasan budaya orang-orang Aceh.
Kecerdasan budaya menjadi penting seiring kemasan modernisasi yang terus menggempur. “tamaddun” Aceh memudar, bahkan cenderung terjadi degradasi nilai ke-Acehan. Satu sisi akibat kesadaran budaya yang rendah, sisi lain adalah serangan budaya bersifat global meminjam MC Luhan (profesor, filsuf, dan intelektual Canada) mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja yang kini hidup.
Dala, kontek ke Acehan, sepeti kata Prof DR Ibrahim Alfian (guru besar sejarah UGM,almarhum) dalam satu seminar budaya di Aceh, akibat adanya kecenderungan orang Aceh terhadap di luar. Hal itu dia sebut sebagai refleksi kekalahan etentiti ke-Acehan dalam sebuah pertarungan mempertahankan identitasnya.
Simak saja, semua begitu “birahi” ketika bicara etentiti Aceh, namun melupakan identitasnya. Kita selalu bicara pentingnya membudayakan “gulai pliek”, halua, wajik dan bada (pisang goreng), namun saat bersamaan asyik mengunyah KFC, makan ham burger dan spaghetti sambil duduk di restoran ala eropah. Begitu santer menyuarakan nilai moral, tapi tangannya tak berhenti melipat rekening hasil korup ke dalam tasnya. Dalam terminologi orang-orang kampung, “orang kurapan jual obat kurap”.
Sebagai wartawan, saya pernah bangga saat diundang pada satu acara kaum elite ikut pelatihan ESC (kecerdasan emosi dan spiritual) di satu hotel di Banda Aceh. Namun kebanggaan tersebut langsung lenyap ketika mengetahui bahwa acara yang tujuannya menggiring kepada akhlak ilahiah itu dikutip bayaran bernilai jutaan rupiah. Keadaan ini justru dapat membunuh spitual saya, karena mereka reka, darimana saya dapatkan uang sebanyak itu.
Ternyata segala aspek pandangan saya atas sesuatu, tidak lebih dari pandangan orang yang lapar. Saya tak berani lagi bemimpi mendapatkan pelajaran ESC seperti yang inginkan sebelumnya, karena pada akhirnya saya tak lebih cuma seorang yang kelaparan belaka.
Tentu, saya tak ingin menggugat, kenapa ESC kemudian berubah menjadi emosial spirit cost (biaya mahal) dan harus berlangsung di hotel-hotel berbintang. Itulah kenyataan di negeri ini, dalam simpulan saya kemudian, bahwa segala sesuatu dipandang lewat perut. Di berbagai kantor dan lembaga-lembaga bonafit, terus berdatangan para pelamar seperti semut melata. "Bekerja apa sajalah," kata mereka dengan peluh meleleh, dengan segebung lamaran di map-map kumal mereka.
Berbagai seminar, pelatihan dan event lainnya diusung dengan tema-tema memikat, yang penting bayarannya “oke”. Mulai kongres kebudayaan, memformat pembangunan sampai seminar menjalin persekutuan dengan setan. Hasilnya, tidur enak di hotel berbintang, makan dengan ratusan menu. Dan itu menjadi prestasi kita yang mengagumkan.
Semua itu akibat problem perut. Dari perut turun ke hati, maka tidak ada jaminan orang yang perutnya telah penuh terisi akan otomatis kelaparannya akan terhenti. Itulah kenapa banyak orang yang telah tercukupi fisiknya tapi tetap saja lapar jiwanya. Meski kedudukannya telah tnggi ia terus saja korupsi. Ia masuk partai tidak demi aktualisasi politik tapi demi mencari rezeki. Jika ia menjadi wakil rakyat kesibukannya adalah berupaya duduk di komisi basah dan berpikir tentang uapaya mencari tunjangan pensiunan nanti.
Siapapun kita, apapun status kita, adalah mengagetkan jika jatuh kita tetaplah sebagai orang-orang yang lapar belaka. Karenanya perlu kesadaran untuk merevitalisasi keadaan yang berlaku saat ini. Sebab itu lebih penting daripada khutbah yang elegan tentang moral tetapi kita mempertontonkan amoral.
Kita bisa beragumen bahwa prilaku semacam itu tidak bisa dilihat dengan ukuran yang tetap bertahan dalam suatu esensi yang abadi, pasti akan terjadinya pergeseran. Begitu pun tidak menjadi dalih untuk menghilangkan karakter kita—Aceh yang notabene bertamaddun (berperadaban) dan Islami.
Karenanya perlu suatu kondisi yang selalu disesuaikan kembali, sifat yang selalu diperbarui, dan keadaan yang dinegosiasi terus menerus. Gerakan kembali ke asal mula (wo bak sot) seperti dipertunjukkan para endatu Aceh yang telah mengukir kejayaan dan ketamaddunan negeri ini masa lalu harus dilakukan. Harus ada kecerdasan budaya***
Foto:dok @nurlailahamjah
Saatnya kita berbagi ilmu dengan lebih cepat
salam utk mu sahabat sudah menyapa
Bahasa keren jih, Cultural Inteligence, na pakat bang?
haha, brat that
please vote also have me