Jurnalisme Reaktif di Aceh | Bahasa |

in #article6 years ago





Oleh @ayijufridar

BENCANA tsunami telah membuka keran bagi masuknya wartawan asing ke Aceh. Sebelumnya, akses wartawan asing ke Aceh sangat terbatas karena statusnya sebagai daerah darurat militer yang kemudian berlanjut dengan darurat sipil. Tidak hanya wartawan asing, wartawan dalam negeri dengan KTP Merah Putih (baca: warga Aceh) yang bekerja di media asing, tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan tugas jurnalistik sebelum mendapat izin dari Departemen Luar Negeri. Bahkan semasa darurat militer ada wartawan yang diminta keluar dari Aceh karena bekerja di kantor berita asing.

Masuknya wartawan asing ke Aceh merupakan gejala alamiah karena ada bencana yang paling dahsyat dalam sejarah dunia moderen. Wartawan akan menumpuk di mana terjadi peristiwa besar yang mengandung nilai berita tinggi. Bila sehari setelah bencana tsunami di Aceh, tiba-tiba Osama bin Ladin bersalaman dengan Presiden Bush di Gedung Putih, maka kejadian itu pun akan menjadi berita utama di media massa.

Mencermati pemberitaan pada minggu-minggu pertama, pers masih mengangkat kedahsyatan bencana dan cerita tragis para korban. Wartawan masih “mengeksploitasi” penderitaan korban akibat bencana. Gambar-gambar dramatis menghiasi berita-berita di semua stasiun TV di Indonesia. Tak cukup dengan itu, stasiun TV menggalang dana dari pemirsa dengan program yang juga bertitel dramatis seperti Indonesia Menangis.

Tentu saja tidak ada yang salah dari bentuk pemberitaan seperti itu. Bahkan sebagian meyakini bahwa mengalirnya bantuan yang melimpah ke Aceh, salah satunya adalah berkat “kerja keras” wartawan dalam mengeksploitasi penderitaan korban. Padahal peran yang dimainkan media massa dalam fase pasca-bencana ini dapat berbuntut negatif bila dijalankan tanpa pertimbangan yang ekstra hati-hati, antara lain kecenderungan untuk menjadikan derita para korban sebagai “jualan” untuk kepentingan bisnis murni atau kepentingan politis (Arya Gunawan, Kompas 06/01/05 hal 5). Ada pengusaha nasional yang mengklaim dirinya tokoh pers, kian populer di Aceh setelah membangun sarana pendidikan yang dananya bersumber dari sumbangan pemirsa. Ini menjadi salah satu dampak negatif dari pemanfaatan gambar-gambar dramatis televisi.

Bencana tsunami juga sedikit banyak mempengaruhi peta politik di Aceh. Seperti yang sering disampaikan delegasi Indonesia dalam perundingan estafet dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di luar negeri, bahwa bencana tsunami yang kian menambah penderitaan rakyat Aceh membuat pihak RI-GAM sepakat mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun lebih. Kelahiran MoU Perjanjian Damai yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 bisa dibilang salah satu bentuk kontribusi positif dari bencana tsunami.

Kedua peristiwa penting itulah yang membuat mata pers nasional dan internasional mengarah ke Aceh. Namun seiring dengan berlalunya waktu, momen demi momen penting yang terjadi di berbagai belahan dunia, telah menggeser agenda liputan wartawan baik lokal maupun nasional, lebih-lebih internasional. Masalah korupsi, kekerasan di daerah konflik lainnya di Indonesia, flu burung, dan terakhir terorisme, silih berganti menjadi berita utama di media massa. Masalah Aceh, jangankan menjadi berita utama, masuk halaman depan saja susah, kecuali di koran lokal yang memang harus menjual isu lokal.

Padahal persoalan tidak selesai dengan adanya program rekonstruksi dan dengan berakhirnya konflik bersenjata. Program rekonstruksi dan rehabilitasi yang kini sedang bergulir, termasuk salah satu momen penting yang menuntut adanya perhatian pers. Demikian juga dengan implementasi MoU perjanjian damai yang sarat dengan tahapan-tahapan krusial.




Jurnalisme reaktif

Mencermati pemberitaan media massa selama program rekonstruksi dan rehabilitasi serta selama masa proses perjanjian damai berjalan, terlihat betapa media tidak mempunyai agenda yang jelas dalam mengawal kedua momen bersejarah itu. Peran yang dimainkan oleh sebagian besar media massa hanya menjadi pelapor dari sebuah peristiwa ke peristiwa yang lain.

Selama ini, dalam masa rekonstruksi dan masa damai ini terlihat karakteristik wartawan di beberapa media nyaris sama;

  1. Tidak mempunyai agenda liputan jelas
    Topik liputan cenderung reaktif, tidak mempunyai design yang jelas karena hanya mengikuti agenda dari pihak lain. Berita-berita yang diturunkan lebih banyak berupa peristiwa yang terjadi selama rekonstruksi dan rehabilitasi, kendati harus diakui beberapa di antaranya mengandung nilai berita yang tinggi. Untuk liputan berkaitan dengan program rekonstruksi dan perjanjian damai, pers hanya mengikuti agenda dari pihak lain, misalnya BRR selaku pemegang otoritas pembangunan kembali Aceh dan Nias.
    Bukan berarti hal ini tidak bisa dilakukan. Tetapi seharusnya media massa juga memiliki agenda tersendiri yang saling bersinergi dengan agenda sumber berita lain. Asahi Shimbun Biro Jakarta, misalnya, mempunyai agenda liputan yang disusun rapi selama sebulan penuh. Padahal Asahi Shimbun merupakan koran harian yang harus menyesuaikan diri dengan berbagai kejadian dan informasi yang ada. Tidak semua agenda itu kemudian menjadi kegiatan liputan, karena sifatnya yang fleksibel mengikuti dinamika yang ada.
    Lazimnya, sebuah harian melakukan rapat dua hari sekali, pagi dan sore. Namun sistem seperti itu tidak sepenuhnya dilakukan sehingga komposisi berita hanya diputuskan oleh satu orang. Bahkan ada tabloid yang tidak pernah menggelar rapat redaksi untuk membicarakan agenda liputan. Seluruh liputan hanya diputuskan oleh seorang pemimpin redaksi. Tidak heran bila kemudian yang muncul adalah laporan-laporan dangkal dan sarat kepentingan pemimpin redaksi.

  2. Cenderung menurunkan berita straigh news dan talking news
    Tidak hanya koran harian, media yang terbit mingguan pun cenderung menurunkan laporan dalam bentuk laporan singkat dengan hanya satu narasumber. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat di media cetak harian, tetapi juga pada media terbitan mingguan yang sebenarnya mempunyai banyak waktu untuk menggali lebih dalam.
    Dalam menurunkan laporan keterlambatan BRR, misalnya, beberapa media cenderung hanya mengutip laporan sejumlah LSM dan komentar anggota legislatif. Demikian juga dalam pemberitaan perkembangan HAM di Aceh, media hanya mengutip annual report LSM, sementara kasus-kasus pelanggaran HAM sering terabaikan. Kecenderungan serupa juga terlihat dalam pemantauan transparansi anggaran, baik dalam pelaksanaan pemerintahan maupun dalam program rekonstruksi. Wartawan sepertinya malas menggali lebih dalam setiap informasi yang mereka terima. Waktu yang terbatas sering dijadikan alasan. Padahal bila wartawan mau sedikit bekerja lebih keras, banyak hal yang bisa terungkap dari sepotong informasi yang disampaikan narasumber. Dibutuhkan lebih banyak berita investigasi untuk membongkar kasus-kasus yang terjadi di Aceh, baik yang berkaitan dengan program rekonstruksi maupun penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

  3. Kurang peka terhadap penderitaan korban bencana dan konflik
    Di masa-masa awal terjadinya bencana, wartawan sering tampil dengan sosok arogan dalam menghadapi korban. Banyak wartawan langsung mengajukan berbagai pertanyaan terhadap korban tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis mereka. Pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan terkadang malah membuat luka korban kian menganga. Di Aceh Utara, seorang jurnalis TV bertanya kepada seorang ibu yang anaknya baru saja meninggal akibat ditembak, “bagaimana perasaan Ibu?”
    Dan si ibu menjawab dengan benar; “Kalau anakmu ditembak, bagaimana perasaanmu?!”
    Kasus-kasus seperti itu banyak terjadi selama liputan di Aceh. Wartawan sama sekali tidak mempunyai empati terhadap korban bencana dan korban konflik. Tidak heran bila sampai sekarang, di Lhokseumawe dan mungkin saja di daerah lain, ada pengungsi yang menuding wartawan hanya mengekploitasi penderitaan mereka saja.

  4. Malas melakukan verifikasi
    Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme menurut Bill Kovach yaitu intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Elemen itulah yang kurang kita jumpai dalam setiap laporan di Aceh. Ketika menerima informasi adanya pelanggaran MoU dari satu pihak, wartawan cenderung memberitakannya setelah mendapatkan bantahan dari pihak lain. Kasus seperti ini banyak terjadi sebelum adanya Perjanjian Damai antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Media menyediakan tempat bagi kedua belah pihak untuk berbalas pantun tanpa pernah melakukan verifikasi terhadap informasi yang mereka sampaikan. Alasan keamanan sering menjadi pertimbangan. Tetapi jadi lucu bila di masa damai seperti sekarang, verifikasi pun jarang dilakukan. Misalnya dalam kasus pemerasan dan kontak senjata yang sering dituding oleh satu pihak, sering kali langsung dimuat setelah mendapatkan konfirmasi dari pihak lain. Wartawan merasa tidak perlu tahu apakah tudingan itu benar atau tidak, yang penting sudah menyajikan berita secara cover both side.

  5. Tidak ada follow up terhadap berita-berita besar
    Seorang dosen di Universitas Malikussaleh yang juga penulis, T Kemal Fasya, berpendapat wartawan belum maksimal dalam membongkar kasus-kasus besar yang terjadi di Aceh. Kasus tersebut hanya diturunkan satu sampai dua kali, sebelum kemudian dilupakan karena ada masalah lain yang juga tak kalah pentingnya. Tidak ada laporan yang dibongkar secara tuntas, atau minimal wartawan mendorong penyelesaian sebuah kasus yang berkaitan dengan kepentingan publik. Selama ini, follow up yang disampaikan jurnalis, sangat tergantung kepada follow up-nya institusi lain seperti lembaga penegakan hukum yang selalu sarat kepentingan dalam membongkar sebuah kasus.




Persoalan jurnalisme di Aceh

Persoalan jurnalisme di Aceh barangkali tidak jauh berbeda dengan persoalan yang ada di daerah lain di Indonesia. Namun beberapa persoalan di Aceh mempunyai karakter berbeda karena statusnya sebagai daerah konflik dan daerah bencana.

  1. Standarisasi gaji yang masih sangat rendah
  2. Keterampilan yang masih terbatas
  3. Penguasaan teknologi dan komunikasi rendah
  4. Masih adanya represi dari institusi bersenjata
  5. Kurang memberi ruang bagi isu-isu anak dan perempuan, dan hak asazi manusia
  6. Kurang memahami agenda rekonstruksi dan rehabilitasi serta agenda dalam MoU perjanjian damai
  7. Penegakan etika jurnalistik yang masih rendah

Penutup

Ke depan, Aceh masih tetap perhatian dengan dua agenda besar, rekonstruksi dan implementasi point-poin perjanjian damai. Masih ada tahapan krusial di depan yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang seperti pemilu dan partai lokal. Pers seharusnya mengambil peran yang lebih dalam mengawal semua proses tersebut agar berjalan baik. Jurnalis seharusnya tidak lagi menjadi public relation (PR) beberapa lembaga dan LSM dalam menyajikan berita.

Kendati tekanan dari institusi bersenjata masih terjadi, tapi skalanya jauh menurun dibandingkan dulu. Kondisi ini harus disikapi dengan hal; pertama, mempertahankan dan memperjuangkan peningkatan kebebasan pers agar tidak kembali pada keadaan sebelumnya. Kedua, memanfaatkan kebebasan pers untuk mengawal terselenggaranya pemerintah yang bersih, penegakan HAM, serta mengawal perjanjian damai agar bisa berjalan sukses. Keberhasilan perjanjian damai ini juga menentukan nasib kebebasan pers di Aceh di masa yang akan datang. Sejarah telah membuktikannya.***






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Selain itu juga tidak jarang kita menangkap kesan bahwa media pers ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Kita membutuhkan media pers yang benar-benar independen, berpihak pada keadilan dan kebenaran.

Media massa yang ideal seperti itu memang agak susah @teukurival. Bahkan di negara maju pun, media terkadang ditunggangi kelompok tertentu seperti pemodal dan penguasa. Hanya saja, mereka tidak terlalu vulgar dalam mengikuti selera pemodal. Saya jadi ingat pernyataan mantan Pemred Tempo, Bambang Harymurti ketika berkunjung ke Lhokseumawe. Katanya, pembaca dan publik-lah yang harus menjadi tuan dari media massa.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63039.96
ETH 2549.01
USDT 1.00
SBD 2.78