Realitas Buah Simalakama

in #art6 years ago

P_20180426_211116.jpg
Realitas Buah Simalakama
Kondisi Bukit Tui yang berada di Padangpanjang saat ini sangat memprihatinkan karena para penambang kapur di bukit ini terus-menerus menggali bukit guna mengambil hasil kapur yang melimpah ditempat tersebut, para penambang sebenarnya mengetahui resiko yang akan terjadi kalau mereka terus-menerus menggali bukit, tapi apa boleh buat bukit itu adalah lahan sumber mata pencarian masyrakat setempat, mereka menopang hidup dari hasil kapur-kapur yang ada di bukit itu, inilah Buah Simalakama yang di maksud dalam lakon drama ini.
Kalau pekerjaan dihentikan maka dapur merekapun akan berenti mengeluarkan asap, tetapi kalu pekerjaan tetap diteruskan maka mereka akan memperoleh uang untuk kelangsungan hidup, dan efek lainya adalah akan terjadi bahaya terhadap penambang, bahkan terancam akan terjadi bencana seperti lonsor.
Pada adegan awal lakon Buah Simalakama terdapat eksposisi yang memperlihatkan tokoh ayah, dan tokoh ibu.
Tokoh ayah pada awal diberikan gambaran tokoh yang sakit-sakitan karena batuk yang sering dan keras yang dideritanya.
Kemudian tokoh ibu digambarkan tokoh yang menderita karena makanan yang akan dimasak tidak ada lagi, kemudian tokoh ibu ingin membantu ayah bekerja menjadi penambang kapur agar penghasilan bertambah, tokoh ayah dengan tegas menolak itu, karna tokoh ayah sadar betul yang bertanggung jawab atas menafkahi keluarganya adalah dirinya sendiri. Ayah yang sakit pun tetap semangat bekerja karna ayah dan ibu telah berjanji akan mengkuliahkan anak mereka sampai tamat dan membuktikan kepada orang kampung bahwa mereka sanggup membiayai kuliah anaknya.
Pada adegan kedua suasana semakin terasa komlikasi karena tokoh anak yang mulai muncul, yaitu dengan pulang kerumah dengan gaya yang sombong akan ilmu yang dibawanya dari tempat kuliahnya.
Anak ini mulai lancang mengajari ayahnya, dan mengatakan “kalau ayah terus menerus menambang kapur-kapur itu maka akan terjadi lonsor yang akan menimpa kapung ini, menurut ilmu yang saya pelajari alam dilingkungan tempat tinggal kita haruslah terjaga keseimbangannya, semua harus selaras seperti mata rantai, dan yang saya amati Bukit itu telah terjal dengan kemiringan yang sangat parah ayah”.
Ayah pun mulai emosi menanggapi hal itu, “Ayah tidak punya modal, atau pun lahan untuk bertani maka apa yang harus ayah perbuat kalau tidak menambang kapur-kapur itu, Ayah akan tetep menambang apapun yang terjadi!”.

Pada adegan selanjutnya konflikpun semakin memuncak, pada pagi yang cerah ayah pergi menambang dan anaknyapun berangkat ketempat kuliahnya ke kota. T
ak lama datanglah seorang anak remaja yang berteriak memintak tolong dari Bukit itu, anak itu melihat seseorang tertimpa batu kapur yang besar, ternyata itu adalah ayah yang sakit-sakitan tadi yang kini tidak bernyawa lagi, semua tubuhnya berdarah tertimpa oleh batu kapur yang besar, kemudian datanglah ibu ke tempat kejadian tersebut dengan menangis histeris dan para wargapun berdatangan untuk menolong bapak tersebut lalu ibu berkata kepada seluruh warga, “Tolong jangan ada yang memberi tahu hal ini kepada anak saya, karena pristiwa ini akan mengganggu pikirannya yang sedang menyusun skripsi, ini semua adalah keinginan bapak bahwa anaknya harus tamat kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari padanya”.
Adengan selanjutnya yang menawarkan resolusi, yaitu ketika anaknya pulang kerumah setelah diwisuda yang membawa hasil terbaik dan telah mendapatkan pekerjaan menjadi konsultan ahli pertambangan.
Sampai dirumah ia memanggil-mamangil ibu dan ayahnya, tetapi yang dilihatnya hanya ibu dan ia bercerita dengan riang kepada ibu bahwa ia telah wisuda, lantas ia heran tak melihat ayahnya, lalu bertanya “ayah mana bu?” ibu menjawab dengan menangis “ayah sudah berada di Pusaro (kubura)”, ia pun menangis dan mengatakan “ini tak mungkin bu”.
Ibu akhirnya mengajak ia ke Pusaro ayahnya, ia menangis di Pusaro ayahnya itu dan mengatakan “ayah anak mu telah diwisuda dan mendapatkan pekerjaan berdasi menjadi seorang konsultan ahli pertambangan ini impian ayah tapi kenapa begini ayah ini sungguh tidak adil”.
Ibu pun membujuk dia untuk sabar dan menghapus air matanya dan mengajaknya pulang.
Pertunjukan ini kalau diamati dari ceritanya tergolong gaya teater realis, ini dapat dilihat dari cerita yang menggambarkan tentang kehidupan nyata dari masyrakat di sekitar Bukit Tui.
Pertunjukan ini berlangsung meriah pada Kamis, 26 April 2018, yaitu pukul 20.00 wib di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam.
Teater ini dapat di tonton dari segala jenis umur, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lanjut usia sekalipun. Menurut penulis, teater dengan lakon ini bisa ditampilkan di dalam maupun diluar geduang, asalkan setting yang dibutuhkan di hadirkan diatas panggung yaitu setting rumah dengan kondisi miskin, setting Bukit kapur, dan setting kuburan.
Lakon ini juga dapat ditampulkan dalam event apapun, karna ceritanya mengandung hal yang bersifat universal (umum) dan netral.
Sutradara sekaligus pengarang lakon Buah Simalakama ini adalah sosok seseorang yang ilmiah ia bernama Dr. Eduard Zebua. M.Pd. Ia tidak pernah menempuh latar belakan pendidikan kesenian tetapi kecintaannya terhadap kesenian teater yang membuktikan bahwa kekuatan keseniaan ada dalam diri seseorang, yang telah ada sejak lahir.
Hal ini tinggal bagaimana cara kita mengekspresiakan kesenian tersebut. Dr. Eduard Zebua. M.Pd merupakan dosen di prodi seni teater ISI Padanagpanjang, yang mengajar mata kuliah penulisan ilmiah, manajemen bahkan filsafat.
Karna faktor lingkungan yang terbiasa melihat pertunjukan teater, bergaul dengan Dosen dan mahasiswa teater seorang Dr. Eduard Zebua. M.Pd akhirnya tertarik membuat sebuah karya dengan lakon Buah Simalakama yang diinterpretasikan dari kehidupan real (nyata) dari masyrakat Bukit Tui.
Hal diatas sungguh kepedulian seorang Dr. Eduard Zebua. M.Pd yang dituangkan dalam bentuk karya terhadap masyrakat dan lingkungannya.
Estetika yang dituangkan sutradara kepada penonton dalam karya ini adalah mengkomunikasikan keadaan Bukit Tui yang memprihatinkan kepada pemerintah dan masyrakat.
Sutradara juga mengajak penonton memberikan simpati kepada masyrakat Bukik Tui, dan memberikan solusi terhadap masalah yang menimpa masyrakat di sekitar Bukit Tui tersebut.
Konsep sutradara mengusung hal yang yata terjadi (real) dalam kehidupan kemudian membuatnya dalam satu karya pertunjukan yang menggambarkan kehidupan yang naturalis diatas panggung.
Komponen-komponen panggung yang digunakan persis sama dengan keadaan sebenarnya di dunia nyata. seperti setting rumah yang tergolong miskin, setting bukit, dan setting kuburan.
Pencahayaan yang digunakan juga menggambarkan suasana kenyataan di dunia nyata, seperti pagi yang memperlihatkan filter lampu biru pelan-pelan menuju cahaya lampu kuning yang menandakan masuknya siang hari dan lampu yang sedikit redup menggambarkan keadaan pada malam hari. Begitu juga dengan kostum dan make-up yang digunakan tergolong sederhana seperti dunia nyata.
Kostum yang digunakan ayah adalah kostum yang biasa digunakan oleh laki-laki separuh baya yang menggambarkan orang miskin.
Kostum yang digunakan ibu juga seperti ibu-ibu pada umumnya menggunakan rok, baju yang sopan panjanggangnya sampai menutup pinggul dan menutup kepala dengan jilbab pendek yang memperlihatkan tokoh sebagai seorang ibu rumah tangga.
Dan kostum yang digunakan tokoh anak adalah kostum yang rapi, bersih dan mengikuti selera zaman yang memperlihatkan dia adalah seorang anak kuliahan.
Hendprop (benda-benda yang dipegang oleh para tokoh diatas panggung) sesuai juga dengan tokoh yang dibawakannya, seorang ayah yang bekerja sebagai penambang membawa alat-alat untuk menambang kalau mau pergi bekerja, dan kalau sedang santai berada dirumah hendprop yang digunakannya adalah rokok.
Sedangkan ibu membawa hendprop tas kepasar apabila mau kepasar dan cangkir berisi teh panas yang diberikan saat suaminya sedang santai duduk-duduk di teras rumah.
Hendprop yang digunakan anaknya adalah tas yang berisi baju, saat dia pulang kekampung, yaitu dari kota ke desa. Properti yang digunakan juga sesuai dengan konsep yang dibuat sutradara seperti rumah yang tergolong jelek memiliki teras rumah yang tidak menggunakan atap, pagar-pagar rumah yang terbuat dari bambu, dinding rumah juga dari triplek.
Properti Perkuburan yang di buat hanya menggunakan papan nama ala kadarnya.
Analisa penulis dari cerita lakon Buah Simalakama ini memberikan dampak emosi penonton menjadi sedih, karna lakon ini adalah jenis lakon yang tragis dan memberikan catarsis (pensucian) bagi penonton, artinya setelah menonton lakon ini penonton tersadarkan akan bahayanya kalau kita merusak alam terus-menerus tanpa pertimbangan ramah terhadap lingkingan.
Penulis juga takjub akan naskah ini karena banyak sekali mengandung kajian ilmiah, teruji kebenaran yang disampaikannya dan juga yang tidak kalah penting pesan-pesan yang disampaikan dari naskah ini sangat banyak.
Apabila kita renungkan sudah berapa banyak kita merusak lingkungan? Sudah berapa banyak kita menjaga lingkungan kita? Apakah merusak dan menjaga sudah seimbang? Kalau sudah seimbang, itu sangat diacungi jempol dan kalau belum seimbang, mari kita sama-sama sadar akan menjaga lingkungan yang lestari, mari kita mulai dari hal yang terkecil seperti buanglah sampah pada tempatnya, dan kurangilah memakai bahan-bahan plastik.
Mari berpindah kembali memakai bahan-bahan alam yang ramah lingkungan, agar tercipta Indonesia tanpa bencana dan generasi Indonesia yang sehat.
Salam penulis Padangpanjang 29 April 2018.

Sort:  

If you want me to upvote and resteem your post to my 36,000+ followers for free read my profile for instructions: https://steemit.com/@a-0-0

Congratulations @yesisyafitri! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!

Coin Marketplace

STEEM 0.15
TRX 0.12
JST 0.026
BTC 57014.79
ETH 2478.23
USDT 1.00
SBD 2.29