kritik Teater
KRITIK PENAMPILAN PEMBACAAN PUISI
PADA MALAM PERINGATAN ULANG TAHUN TEATER SEDUNIA
NAMA: FAUZIAH
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
PRODI SENI TEATER
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG
(foto penampil)
“Sekali berarti sesudah itu mati”
Padangpanjang, 27 maret 2018.
Rabu malam bertempat di Teater Arena Mursal Esten di Institut Seni Indonesia Padangpanjang, ada peringatan Hari Teater Sedunia dimana acaranya yang seharusnya meriah tetapi hanya sederhana saja seperti yang terlihat pada gambar diatas.
Hari Teater Sedunia ini memberikan sebuah hiburan yaitu berpuisi.
Puisi yang bagaimana? Puisi yang hanya dibacakan begitu saja tanpa adanya persiapan yang matang sebelumnya.
Sebenarnya siapapun bisa berpuisi, anak kecil, orang remaja, orang dewasa semuanya pasti bisa berpuisi.
Kalau hanya untuk sekedar membacakan tanpa adanya penghayatan dan tanpa ada jiwa didalam berpuisi apa gunanya.
Hal itu bisa membuat pesan yang seharusnya sampai kepada penonton menjadi tidak bisa didapatkan oleh si penonton.
Saya tidak mengetahui banyak tentang bagaimana caranya berpuisi yang baik, namun kalimat-kalimat itu muncul seketika saja ketika saya menyaksikan penampilan puisi dari beberapa mahasiswa Teater malam itu.
Ada yang asal baca saja dan ada juga yang bisa menyampaikan pesan dari puisi itu dengan benar.
Dari penampilan pembacaan puisi malam itu ada satu penampil yang memberikan warna berbeda dari biasanya, si penampil itu biasa di panggil “bang kuncup”.
Dia alumni Teater juga namun masih mengabdi dan tidak melupakan teater tempat dimana iya mendapatkan gelar S.sn dulunya.
Ia memberikan sebuah warna baru dari berpuisi yang biasanya kita sering lihat.
Saya melihat ada yang berbeda dari penampilan puisi sebelumnya, biasanya membacakan puisi itu diiringi dengan musik dari alat musik seperti gitar, piano, ataw musik visual yang dimana musik itu pasti musik yang pelan dan penuh makna dibalik musik-musik pengiring itu sehingga membuat si penonton dan penikmat bisa ikut terhanyut akan pembacaan puisi tersebut.
Namun apa jadinya kalau membacakan puisi diiringi oleh musik yang keras penuh dengan suara gemuruh dari drum solo, atau lebih tepatnya musik metal.
Ada sebuah fariasi yang baru kan? Tentunya ada, karena apa biasanya orang mendengar dan melihat orang yang sedang membacakan puisi itu pasti diiringi oleh musik yang pelan.
Membacakan puisi itu tidak selalu diiringi oleh musik yang pelan tetapi kita bisa membuat sebuat fariasi baru dengan menggunakan musik selain dari musik yang sudah biasa di pakai.
Dari peringatan Hari Teater Sedunia inilah saya mendapatkan pengalaman baru menikmati penampilan puisi dengan cara yang berbeda.
Saya sangat setuju dengan adanya fariasi baru dalam musik pengiring yang akan digunakan untuk pembacaan puisi, akan tetapi sebelum membuat fariasi musik yang baru seharusnya kita lihat dulu dimana puisi itu akan dipentaskan dan siapa saja yang bisa menerima fariasi terbaru yang kita buat.
Dengan catatan apapun kreatif yang ditawarkan mesti melihat sikan begitukah@fauziahseni