Nilai Sastra Dalam Lintas Ruang dan Waktu | Cross Space and Time Literary Values |

in #art7 years ago (edited)

Oleh @ayijufridar

SEBUAH kejadian dengan magnitude luar biasa seperti gempa dan tsunami di Aceh, merupakan sumber inspirasi bagi banyak penulis. Bukan hanya para sastrawan, semua profesi bisa memberikan analisis menurut disiplin ilmu masing-masing.

Para ahli geologi melakukan riset dan analisa, mengapa gempa dan tsunami terjadi. Mereka melihat juga dampak positif dan negatifnya. Misalnya, apakah gempa tersebut menyebabkan terbentuknya jebakan (trap) di perut bumi yang akan menampung kandungan gas. Para sosiolog melihat dari aspek sosial akibat bencana tersebut. Kehidupan para korban dan sebagainya.

Para ekonom menganalisa dari aspek ekonomi, salah satu yang paling faktual adalah inflasi di Aceh yang bergerak di atas 6 persen atau melampaui inflasi nasional. Dan para jurnalis membuat analisa jurnalistik seperti etika meliput di daerah bencana yang harus dilakukan dengan penuh empati terutama terhadap korban.

Banyak sastrawan mendapatkan inspirasi menulis dari sebuah bencana. Albert Camus, sastrawan Perancis, mendapatkan Nobel berkat novel Sampar yang bercerita tentang wabah penyakit sampar yang melanda sebuah daerah.

Gempa dan tsunami di Aceh juga melahirkan banyak karya sastra, baik dari tangan penulis lokal maupun nasional. Karya-karya tersebut tidak saja lahir dari kelatahan kreatifitas, tapi lebih jauh lagi adalah mengisi sebuah episode kelabu dari sebuah bencana, untuk kita bercermin di masa mendatang.

Banyak novel karya penulis Aceh mendapatkan penghargaan di dalam dan luar negeri, sebagai bukti bahwa momentum bencana yang terjadi tidak dengan serta merta melahirkan karya instan tanpa nilai. Karya-karya penulis Aceh seperti Azhari, Mustafa Ismail, Sulaiman Tripa, Nasier Age, dan Arafat Nur (sekadar menyebut beberapa nama), adalah karya berkelas yang mempunyai nilai sejarah, edukasi, sekaligus menghibur.

Kalau karya-karya tersebut lahir dari tangan penulis lokal (baca; Aceh), apakah kemudian mereka harus mengangkat nilai-nilai lokal dalam karya mereka?

Jawaban atas pertanyaan ini tentunya berpulang kepada penulisnya masing-masing. Diskursus mengenai masalah ini harus berangkat dari pertanyaan, apakah nilai-nilai lokal itu. Lantas, bagaimana kaitannya dengan nilai-nilai yang dianut secara universal?

Kita tak bisa mengklaim nilai-nilai universal sebagai nilai lokal. Pendekatan humaniora tidak bisa dilakukan untuk mengukur nilai-nilai ke-Acehan karena itu milik bersama, seluruh umat manusia di permukaan bumi ini tanpa memandang suku, agama, dan bangsa. Nilai-nilai universal ini melintasi ruang dan waktu.

Sastra lokal bukan berarti sastra yang disampaikan dalam bahasa Aceh. Bukan juga sastra yang mengambil setting di Aceh seperti kejadian tsunami. Sebelum mengklaim sebuah karya sastra lokal, kita harus selesai dengan definisi nilai-nilai budaya lokal. Tanpa perumusan nilai budaya lokal, kita hanya bisa meraba seperti apa sastra lokal. Perdebatan masalah sastra lokal ini di sebuah situs, tidak selesai karena perumusan nilai budaya lokal sangat absurd.

Namun, keharusan mengangkat nilai budaya lokal jangan sampai mengekang kreatifitas. Seperti disampaikan Ketua Komunitas Peradaban Aceh, @teukukemalfasya, lokal atau interlokal, hana blem (no problem). Yang penting para penulis membuktikan keberadaannya dengan karya nyata, yang bisa dinikmati masyarakat luas, syukur-syukur tidak lapuk dimakan usia.

Untuk kondisi demikian, penulis Aceh sudah cukup berperan. Beberapa nama baru pada tahap “mengejutkan”, dan membutuhkan waktu lumayan lama untuk mengumpulkan energi kreativitas. Tapi beberapa nama yang lain sedang menuju pada pendewasaan karya. Jika tetap memelihara kreativitas, mereka akan berada jajaran terdepan sastrawan nasional. Karya-karya mereka tentunya tak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial budaya ke-Acehan mereka, terutama yang lahir dan besar di Aceh.

Secara keseluruhan, nilai-nilai yang berlaku dalam sastra juga nilai universal yang melintasi ruang dan waktu. Sastra tidak terikat dengan lokasi dan waktu, bahkan untuk sastra sejarah politis sekali pun.

Lihat saja komentar USA Today tentang tetralogi Pulau Buru-Pramoedya Ananta Toer. Dimuat dalam Rumah Kaca, komentar itu sungguh meyakinkan kita akan universalitas dalam karya sastra; “Penulis ini berada sejauh separuh dunia dari kita, namun seni budaya dan rasa kemanusiaannya sedemikian anggunnya menyebabkan kita langsung merasa seakan sudah lama mengenalnya – dan dia pun sudah mengenal kita – sepanjang usia kita.”


Alon-Buluek Book Cover.jpg
The cover of the novel Alon Buluek Karya @ayijufridar published by Grasindo and already translated in Dutch with the title Alon Buluk (de Verschrikkelijke Zeegolf). This novel was inspired by the earthquake and tsunami disaster in Aceh.

Cross Space and Time Literary Values

By @ayijufridar

An event with magnificent magnitude like the earthquake and tsunami in Aceh, is a source of inspiration for many writers. Not only writers, all professions can provide analysis according to each discipline.

Geologists conduct research and analysis, why earthquakes and tsunamis occur. They see also the positive and negative impacts. For example, does the earthquake cause the formation of traps in the bowels of the earth that will accommodate the gas content. The sociologists look at the social aspects of the disaster. The lives of the victims and so on.

Economists analyze from the economic aspect, one of the most factual is inflation in Aceh which is above 6 percent or beyond national inflation. And journalists make journalistic analyzes such as ethics covering the disaster areas that must be done with empathy especially against the victims.

Many writers get inspired writing from a disaster. Albert Camus, a French writer, was awarded a Nobel Prize thanks to a novel La Peste which tells of an epidemic plague that struck an area.

The earthquake and tsunami in Aceh also gave birth to many literary works, both from local and national authors. The works are not only born out of creativity, but further filling a gray episode of a disaster, for us to reflect in the future.

Many novels by Acehnese authors receive awards at home and abroad, as evidence that the momentum of the disaster does not instantly give birth to instant work without value. The works of Aceh writers such as Azhari, Mustafa Ismail, Sulaiman Tripa, Nasier Age, and Arafat Nur (just to name a few), are classy works that have historical, educational, and entertaining values.

If these works were born from the hands of local authors (read: Acehnese), should they then have to elevate the local values in their work?

The answer to this question certainly goes back to their respective authors. Discourse on this issue should depart from the question of whether local values are. So, how does it relate to universally held values?

We can not claim universal values as local values. The humanitarian approach can not be done to measure the values of Aceh because it belongs together, all humanity on the surface of this earth regardless of tribe, religion, and nation. These universal values cross space and time.

Local literature does not mean literature that is delivered in the Aceh language. Nor is literature setting in Aceh like the tsunami. Before claiming a local literary work, we must finish with the definition of local cultural values. Without the formulation of local cultural values, we can only feel what the local literature is like. The debate over the issue of local literature on a site is not completed because the formulation of local cultural values is very absurd.

However, the imperative of elevating the value of local culture should not restrain creativity. As stated by the Chairman of the Community of Aceh Civilization, @teukukemalfasya, local or long distance, hana blem (no problem). Importantly the authors prove its existence with real work, which can be enjoyed by the wider community,

For such condition, the writer of Aceh has enough role. Some new names are in the "shocking" stage, and it takes quite a while to accumulate the energy of creativity. But some other names are heading for the maturation of the work. If they keep their creativity, they will be at the forefront of national literati. Their works can not be separated from social-cultural background, especially those born and raised in Aceh.

Overall, the values prevailing in literature are also universal values that cross space and time. Literature is not tied to location and time, even to the literature of political history.

Just look at USA Today's comments about the tetralogy of Buru-Pramoedya Ananta Toer Island. Loaded in the Greenhouse, it really convinces us of the universality in literature; "This writer is half the world away from us, but his cultural art and sense of humanity so gracefully cause us to instantly feel as if we've known him for a long time - and he already knows us - all through our ages."

Sort:  

Seperti biasanya bang @ayijufridar selalu membuat artikel yang menarik dan beda dari yang lain

Teruslah berkarya !

Karena dengan menulis kita akan dikenang orang banyak dengan tulisan kita 👍

Terima kasih @aisyaalfisya atas apresiasinya yang menambah semangat dan menjadi bahan bakar untuk terus menulis. Memang benar, dengan menulis kita dikenang banyak orang, meski tujuan menulis bukan untuk itu.

Yang penting para penulis membuktikan keberadaannya dengan karya nyata, yang bisa dinikmati masyarakat luas, syukur-syukur tidak lapuk dimakan usia.

good post thanks for sharing kanda @ayijufridar

Keren!!! Postingan yang sangat bermanfaat untuk penulis. Dengan postingan ini kami bisa terbuka wawasan untuk menghasilkan karya yang berkelas. Terima kasih informasinya @ayijufridar

Pakar junalistik sastra mulai mengeluarkan senjatanya di Steemit. Hahaha....

Istilah jurnalistik sastra menarik untuk didiskusikan Pak @dsatria. Apakah ini karya jurnalistik yang berbau sastra atau karya sastra berbau jurnalistik. Apakah karya sastra tentang kegiatan jurnalisme atau ditulis dengan gaya jurnalistik. Kami tunggu artikel Pak @dsatria tentang ini. Saleum.

I would be happy if you like to follow me

Thanks so much @munna...

Sastra lokal bukan berarti sastra yang disampaikan dalam bahasa Aceh. Bukan juga sastra yang mengambil setting di Aceh seperti kejadian tsunami. Sebelum mengklaim sebuah karya sastra lokal, kita harus selesai dengan definisi nilai-nilai budaya lokal. Tanpa perumusan nilai budaya lokal, kita hanya bisa meraba seperti apa sastra lokal. Perdebatan masalah sastra lokal ini di sebuah situs, tidak selesai karena perumusan nilai budaya lokal sangat absurd.

Wadooow... @agamsaia ini berkomentar atau apa? Hati-hati, cheetah pernah datang terhadap potongan komentar

like post great

your welcome my friend👩👩😉

Luar biasa pak ketua. Patut kita contoh bg ayi. Dalam cara penulisan nya bg. Sangat bagus.andai saja saya bisa seperti bg ayi.pokok nya mantap bg.
Salam dari abu

Beurkat doa @abupasi.alachy cit, hehehehe. Thanks so much Abu, doa keu kamoe bek keundo.

Sama2 tamedoa pak ketua...

This post has been ranked within the top 50 most undervalued posts in the first half of Aug 26. We estimate that this post is undervalued by $11.76 as compared to a scenario in which every voter had an equal say.

See the full rankings and details in The Daily Tribune: Aug 26 - Part I. You can also read about some of our methodology, data analysis and technical details in our initial post.

If you are the author and would prefer not to receive these comments, simply reply "Stop" to this comment.

Azhari, Arafat Nur, Nasir Age, Mustafa Ismail, Sulaiman TripAdvisor adalah penulis hebat. Seandainya bang Arafat pemilik postingan ini pasti menyebut bang @ayijufridar...

Sayangnya, Arafat Nur belum memiliki akun di Steemit @mushthafakamal. Sudah pernah saya singgung, tapi belum tertarik.

Betul bang, kalo saya jumpa nanti saya sarankan kembali. Kmren Nasrullah, anak

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58661.64
ETH 2723.56
USDT 1.00
SBD 2.32