fiction: When That Afternoon
DEAR FRIEND STEEMIT
Story today
Hari yang melelahkan. Seharian ini penuh dengan agenda kantor. Pagi tadi rapat dengan Bapak Kepala Institusi Statistik, siangnya melatih instruktur petugas pencacahan sensus penduduk yang tinggal beberapa bulan, sorenya membuat materi untuk mengajar di kampus statistik untuk esok hari. Tepat pukul 16.00 semua aktivitas kantor selesai. Sistem lah yang mengatur semua. Jika sudah tepat waktu pulang maka secara otomatis komputer, ac, semua peralatan elektronik mulai turun dayanya dan secara bertahap setelah lima belas menit semua sistem akan off. Terobosan ini dibuat agar energi listrik dapat dihemat sebisa mungkin dan kedisiplinan kerja para pegawai. Walaupun energi listrik terus berkembang ke energi yang terbarukan namun tidak berarti semua dilakukan secara boros. Penduduk dunia di tahun 2044 sudah mulai paham akan keterbatasan energi tak peduli semaju apa ilmu pengetahuan.
Ku dekatkan ibu jariku dengan gagang pintu mobil agar aku bisa masuk ke dalamnya. Teknologi sidik jari juga diterapkan di kendaraan. Lalu saat aku bilang, “Start engine, please,” seketika itu juga mesin mobil menyala. Mobil naik sekitar tiga puluh sentimeter dari tanah. Di era sekarang tidak ada lagi ban bagi mobil biasa, ban hanya digunakan untuk kendaraan balap layaknya F1, motor GP, dan semacamnya sehingga para pembalap tidak kehilangan sensasi membalap di sirkuit. Untuk mobil seperti punyaku ini saat digunakan akan melayang.
Teknologinya menggunakan sistem magnet mirip kereta cepat yang sudah ada empat puluh tahun lalu tetapi yang digunakan di mobil ini lebih canggih lagi. Teknologi ini diterapkan agar umur jalan bisa bertahan lama sehingga biaya negara untuk perawatan jalan bisa berkurang. Kemudian aku kelurkan mobil dari parkiran secara otomatis tanpa harus menoleh kaca spion seperti cara tradisional dahulu. Sekali lagi semua sistem yang menjalankan pengguna tinggal memberikan perintah. Lalu menuju jalan raya Jakarta yang sampai sekarang masih macet saat jam pulang kantor.
Walaupun macet kondisi jalanan ibukota jauh lebih baik dari empat dekade yang lalu. Semua kendaraan berbahan bakar listrik. Minyak bumi semakin menipis harganya menjadi melambung berbeda dengan listrik yang murah dan efisien. Tidak ada lagi asap, polusi, atau semacamnya. Udara bersih. Suara kendaraan tidak berisik. Mobilku berhenti di persimpangan salemba karena lampu merah. Tidak ada yang berani menerobos lampu merah karena setiap kendaraan sudah dipasangi chip oleh kepolisian, sensor lanser muncul bersamaan saat lampu merah menyala. Jika melanggar sensor itu akan merekam kendaraan yang melanggar dan datanya akan dikirim ke polres setempat. Jika ada yang mengelak, polisi memiliki data dan rekaman cctv sehingga tidak ada yang berani mengajukan gugatan. Tertib.
Saat berhenti itulah kebetulan di samping mobilku ada pengendara ojek online berjaket hijau. Semua motor sekarang bebentuk seperti mobil. Tetap beroda dua -walaupun sebenarnya terbang- dan berkapasitas dua orang namun ketika hujan tidak perlu memakai jas hujan atau bahkan meneduh di bawah fly over karena motor sekarang sudah ada atapnya layaknya mobil. Tidak ada lagi smartphone di stang motor ojek online itu. Semua pesanan penumpang, telepon, bahkan navigasi sudah ada di helm pintar. Canggih dan efisien. Pengemudi ojek online itu mengingatkanku saat aku menjadi dirinya ketika kuliah 37 tahun yang lalu. Banyak pelajaran hidup yang ku dapat ketika menjadi ojek online sehingga aku menjadi kepala divisi neraca statistik seperti sekarang ini. Waktu itu aktivitasku pagi belajar di kampus. Kemudian aku belajar kehidupan saat menjadi pengemudi ojek online ketika di sore hari. Itulah yang membuat sore sangat spesial untukku.
—
Sore 1, setelah aku kuliah statistik matematik sesegera mungkin aku pulang ke kos lalu ganti baju dan memakai jaket hijau kebanggaan. Aku cek aplikasi ojek onlineku apakah ada pesanan. Yes, ada! Tanpa babibu lagi aku tagged pesanan itu dan secepat mungkin menuju tempat menunggu penumpang tersebut. Penumpangku yang ini adalah ibu-ibu berbadan besar dan membawa tas yang tidak sedikit. Dugaanku dia hendak pulang kampung.
“Mas, anterin saya ke stasiun senen ya?” pinta ibu tersebut. “Benar kan dugaanku,” gumamku.
“Tapi 15 menit harus nyampe loh Mas!”
Jarak dari jalan dewi sartika ke stasiun pasar senen sebenarnya paling cepat butuh tiga puluh menit belum ditambah macet. Ku jawab singkat permintaan ibu tadi. “Kita lihat kondisinya nanti Bu,” Baru sampai persimpangan salemba persis di mana aku berhenti saat ini tapi dengan arah berbeda macetnya sudah menggila. Alasannya biasa karena ada lampu merah. Waktu tunggu lampu merah 90 detik! Ibu penumpangku tadi tambah tidak sabaran karena ini sudah lebih dari sepuluh menit dari waktu berangkat tadi.
“Mas, terobos aja lampu merahnya,” pintanya degan nada semakin meninggi.
“Maaf Bu nggak bisa,”
“Mas! Saya butuh cepat. Saya bayar dua kali lipat deh,” pintanya lagi dengan nada marah ditambah dengan menepuk pundakku membuatku rada kesakitan dan malu karena menjadi pusat perhatian pengendara lain.
“Hweengg!” ku tarik gas dalam-dalam sambil tengok kanan-kiri agar tidak bertabrakan dengan kendaraan lain dari arah yang lain.
“Priittt,”
Oh sial tanpa sadar ternyata di jalan tersebut ada polisi yang tiba-tiba muncul dan memergoki kami yang melanggar lampu merah. Alhasil aku kena tilang dan waktu pun tersita untuk mengurus ini dan itu. Ku tengok wajah penumpangku terlihat mukanya ditekuk sangat dalam dan tangannya disilangkan di depan dada. Nampaknya ibu itu sangat kesal atas kejadian barusan. Dia tidak punya pilihan lain untuk ganti ojek maka dia hanya bisa menunggu pasrah saat aku ditanyai pak polisi. Setelah semuanya beres kami melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampe juga di stasiun pasar senen.
“Ah gara-gara kamu kan Mas saya jadi ketinggalan kereta,” protes ibu tersebut.
“Lah kok saya Bu? Kan tadi Ibu yang nyuruh saya menerobos lampu merah,” kataku menimpali.
Masih saja ibu tersebut kecewa bahkan sempat memakiku saat transaksi pembayaran. Tapi nampaknya Allah ingin memberitahuku tentang pelajaran hidup lewat penumpangku dan kejadian tadi.
—
Sore 2, seperti biasa setelah selesai waktu kuliah aku langsung kerja sampingan. Kali ini pelangganku memesan jasa antar makanan. Donat tiga lusin yang ia inginkan. Letak rumahnya di Apaterment Hayono Residence tak jauh dari tempat aku kuliah. Ku putuskan untuk membeli kue itu di mall yang ada gerai donat dan yang paling dekat dengan posisiku sekarang ini. Mall Kalibata. Setelah pembayaran selesai langsung aku bergegas menuju Aparteman Haroyo Residence. Tak butuh waktu lama cukup 10 menit perjalanan hanya saja sedikit kerepotan membawa tiga kotak donat yang ukurannya besar-besar.
Kemudian aku menuju lift dan menekan tombol 15. Kantong keresek berisi kotak donat di tangan kananku sementara tangan kiriku sibuk mengecek nomor kamar pelangganku ini yang ada di aplikasi.”156…157..158,” ku periksa satu-satu nomor kamar di lantai lima belas dengan seksama. “Nah 159!” seruku. Ku ketuk pintu apartemen nomor 159 sambil ku ucapkan salam, “Assalamualaikum… Permisi,” Ku ulangi salamku dua kali. Sampai salam yang ketiga akhirnya pintunya dibuka.
Mataku terbelalak melihat pelangganku ini. Dia seorang pemuda, matanya sayu, mungkin umurnya sama denganku. “Semuanya berapa Mas?” tanyanya. Aih.. sewaktu dia tanya, muncul aroma yang tidak mengenakan dari mulutnya. Ku coba untuk mengintip ke dalam apartemennya. Terlihat dari pintu ini botol-botol warna hijau berserakan di apartemennya, puntung rok*k yang dibuang sekenanya, dan ada jarum suntik seperti yang dimiliki dokter. Tidak hanya satu tapi banyak. Dari dalam apartemennya terdengar keributan dari teman-temannya. Suara mereka tidak terlalu jelas, dari pintu ini hanya terdengar suara orang-orang ketawa terbahak-bahak.
“Dua ratus ribu Mas,” jawabku.
“Oke tunggu bentar bro,”
Aku menutup hidungku saking tidak kuat akan bau mulutnya.
“Nih bro uangnya, thank you bro,” dia memberiku uang dengan suara yang tidak jelas namun aku masih bisa menangkap maksudnya.
Sebelum pamit aku beranikan untuk bertanya ke pelangganku ini. “Bro lo mabuk ya?” tanyaku dengan sok akrab.
“Iya, kenapa masalah buat lo?” dia malah balik bertanya dengan nada mengejek.
Ku jelaskan secara singkat dan tidak menggurui bahwa intinya di masih muda, kenapa tidak kuliah, kenapa malah menyimpang dari norma agama dan norma masyarakat. Aku jelaskan bahwa yang dilakukannya tidak akan memperbaiki masalah namun sebaliknya malah memperkeruh keadaan. Dia tidak terima. “Lo kalau mau ceramah salah tempat bro. Nih kan udah gue bayar ya udah lo cabut aja. Tuh masih banyak duit yang harus lo cari. Buru gih! Kalau gue kan bokap udah tajir ya santai-santai aja hidup ini. Woles gitu. Udah pergi sana! Dasar ojek miskin!”
Ingin rasanya aku hantam muka pemuda itu dengan kepalan tanganku namun karena aku masih memakai jaket perusahaan ku tahan emosiku agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Di sini juga banyak cctv aku tak mau ambil resiko, toh kalaupun keributan itu terjadi pasti dia akan memenangkan perkara dengan uangnya yang ia sombongkan itu padahal itu bukan uangnya. Percakapan itu selesai saat pemuda tadi menutup pintu dengan keras mungkin karena sebal. “Braak!!”
—
Sore 3, pertengahan tahun. Kampusku libur setelah ujian semester dilakukan. Aku tetap memilih stay di Jakarta beberapa hari daripada pulkam. Selain untuk mencari pundi-pundi uang juga karena aku harus bimbingan dengan dosen pembimbing untuk tugas akhirku. Selama jadi ojek online aku tidak pernah meninggalkan tujuan utamaku di ibukota yaitu belajar. Dua bulan lagi aku akan sidang beberapa minggu setelahnya aku diwisuda. Pagi sampai siang aku habiskan waktu untuk tugas akhirku ini. Sebelum bimbingan aku harus menyelesaikan target-target yang dibuat dosbingku. Mulai dari running data sampai mencoba menganalisis hasilnya lalu hasil tersebut didiskusikan dengan dosbingku.
Tak terasa sore pun tiba. Pelangganku kali ini adalah bapak-bapak. Dari cara berpakaian nampaknya dia biasa saja. Ku pikir hanya orang kantoran yang ingin pulang cepat menghindari macet dengan ojekku ini. Di tengah jalan hujan turun padahal waktu itu bulan keenam. Aku bawa jas hujan tapi hanya satu. Ku tawarkan ke pelangganku ini untuk meneduh sebentar di halte pinggir jalan karena hujan semakin deras. Dia mengangguk.
“Maaf pak jadi lama bapak sampai ke rumah bapak, saya cuman bawa satu jas hujan soalnya,” ucapku sambil menundukkan badan. “Oh..gak apa-apa nak, hujan kan berkah,” jawabnya bijak.
Walau banyak pengendara yang meneduh tapi keadaan terasa hening seketika. Kami berdua tidak banyak bercakap-cakap. Ku tengok bapak ini jempolnya sedang memainkan smartphonenya. Ku pikir dia sedang baca berita online, setelah ku amati lama ternyata dia sedang membaca kitab suci. Sungkan aku mengajaknya ngobrol. Beberapa menit kemudian dia memasukkan smartphonenya dan mengajakku berbicara.
“Nak, namamu siapa?”
“Surya,” jawabku singkat. Padahal identitasku sudah ku cantumkan lengkap di aplikasi ojek online tapi mungkin bapak ini tidak memperhatikannya.
“Nak Surya tahu ndak, saya suka sekali kalau sedang hujan terus kita memilih meneduh daripada melanjutkan perjalanan,” Aku bingung dengan apa yang diucapkan bapak ini. “Apa yang spesial pak dengan meneduh?” aku bertanya dengan penuh heran.
“Saya suka meneduh karena meneduh saat hujan seperti sekarang mengingatkan saya kehidupan yang sebenarnya. Singkat. Setelah hujan reda kita harus melanjutkan perjalanan dengan tujuan yang sebenarnya. Tak jauh berbeda dengan hidup.”
—
Tiga sore itulah yang sedikit banyak membuatku sukses seperti sekarang ini. Banyak sore-sore yang sudah ku lalui tetapi ketiga sore itu sangat spesial bagiku. Lampu sudah hijau ku lanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Ojek online sebelah mobilku sudah melesat sebelum aku sempat menginjak pedal gas mobilku. Keluargaku pasti sudah menunggu di rumah. Terima kasih ya Allah. Pelajaran-pelajaran yang Engkau berikan di sore beberapa dekade lalu akan selalu aku ingat dan aku terapkan. Semenjak kejadian sore itu aku mengambil pelajaran kehidupan sehingga hidupku menjadi lebih diberkahi dan dilancarkan segala urusannya. Alhamdulillah.
Mengenai sore itu, aku belajar….
Bahwa manusia hidup dalam keadaan buru-buru seakan waktu menguasinya bukan sebaliknya. Bahwa manusia selalu melanggar aturan hanya untuk ego pribadi tanpa menghiraukan akibat. Bahwa manusia selalu sombong akan harta yang dipunyai padahal itu hanya titipan. Bahwa manusia lebih memilih jalan yang gelap untuk menyelesaikan masalah. Bahwa kehidupan itu sangat sebentar saja, seperti meneduh. Ketika hujan meneduh, ketika reda melanjutkan perjalanan. Perjalanan manusia sangat panjang, tidak hanya saat meneduh. Namun manusia harus mengerti ke mana tujuan sejatinya setelah meneduh. Bahwa hanya orang-orang beruntung sajalah yang tahu ke mana tujuan hidup sebenarnya.