ACEHNOLOGI (VOLUME 2, BAB 16) : FILSAFAT ACEH
Salam,
Setelah sebelumnya saya membahas mengenai Sejarah Aceh dan Kosmologi Aceh dari buku Acehnologi yang penulisnya adalah pak KBA, kali ini saya akan membahas pembahasan yang menurut saya agak sedikit sulit dipahami karena lebih kepada pondasi berpikir orang Aceh yaitu Filsafat Aceh pada buku Acehnologi volume 2 bab 16.
Pada dasarnya saya juga kesulitan dalam hal memahami filsafat apalagi filsafat Aceh, meskipun saya pribadi berasal dari Aceh, dan juga telah mengambil mata kuliah filsafat hukum dan filsafat hukum Islam
Sebelum jauh membahas saya ingin mengambil sebuah kalimat yang menarik di buku ini yaitu: “Ada juga guru besar yang mengatakan bahwa level orang Islam baru sampai pada pemikir, bukan filosof”. Ya ini pasti dikarenakan filsafat Barat yang sangat memberi pengaruh untuk Islam, termasuk dunia dan juga ketertinggalan Muslim dalam bidang filsafat.
Pada bab ini ada paling tidak 4 hambatan dalam menggambarkan mengenai Filsafat Aceh. Pertama, gagasan atau ide orang Aceh yang belum pada tingkatan kajian filsafat yang mapan (seperti filsafat Barat). Bagaimana daerah tertentu seperti Cina meiliki pengaruh terhadap cara berpikir masyarakat Cina, India yang memiliki pengaruh terhadap yang kuat terhadap ajaran Hindu dan Budha, hal ini yang menjadi hambatan bagaiman gagasan atau ide di Aceh setara dengan filsafat yang ada. Kedua, tampak tidak adanya tokoh atau itelektual Aceh menkaji filsafat . sehingga kita tidak heran jika negara yang mengedepankan kajian filsafat selalu ingin berubad dari “kesadaran hewani” menuju “kesedaran insani”. Ketiga, banyaknya istilah kunci yang dihasilkan dari intelektual Eropa, hal ini membuat masyarakat yang non-Eropa mencari pandagannya dengan tidak menghilangkan makna asli dari bahsa aslinya, tentu ini menyulitkan. Dan yang keempat, seringnya orang Aceh menjadi laboraturium sosial yang berkembang di Eropa dan Amerika. Sehingga filsafat Aceh harus terlebih dahulu dapat diterima oleh sarjana dengan ilmu-ilmu dari Barat. Kalaupun diterima paling tidak hanya sebagai local knowledge.
Namum, karya-karya intelektual di Aceh, memberi bukti bahwa ada system yang dikembangkan di Aceh.
Isiah Berlin menyebutkan tujuan filsafat adalah “…to assist men to understand themselves and the operate in the open, and not widly, in the dark”. Pertualangan ide dan pola piker manusia memahami diri dalam keterbukaan, pernah terjadi di Aceh, ditambah dengan hasil pemikiran orang Aceh dengan karakteristik ke-Acehan yang di terima ditingkat nasional maupun internasional.
Ada suatu istilah yang merupakan titik pangkal yang muncul di dalam imajinasi orang Aceh yaitu endatu (leluhur). Dan masih banyak lagi istilah yang merupakan titik keberangkatan pola pikir orang Aceh yang menghubungkan informasi. Dan juga tidak diherankan jika orang Aceh mampu menghadirkan sikap dan karakter dalam kehidupan mereka, selalu menghubungkan setiap gerakan kehidupan yang berakhir pada Allah.
Meskipun filsafat Barat cenderung sangat terkenal di dunia, namun ada beberapa filsof yang di Persia: Abu Bakar Muhammad Ibn al-Razi (863-925M), Afdal al-Din Kashani (1213-1214M), Abu Ya’qub al-Sijistani (971M), Abu Rayhan Muhammad al-Biruni (973-1048M), Ahmad Ibn Muhammad Miskawayh (932-1030M),dll. Tak hanya Persia, Andalusia (Spanyol) juga memiliki filosof Muslim yang hidup di Eropa, yaitu: Abu Bakr al-Sa’igh Ibn Bajjah (1138M), Abu Muhammad ‘Ali Ibn Hazm (994M), Muhammad Ibn Rushd (1126-98M), Abu Bakr Muhammad Ibn Tufayl (1185M). Dari deretan nama-nama filosof Muslim ini kita dapat mengetahu bahwasanya dalam kajian Islam, filsafat tidak dilupakan begitu saja.
Di Barat kajian filsafat semakin modern pemikiran filsafat maka semakin jauh manusia dengan Tuhan. Sebaliknya, dalam Islam semakin dekat manusia ke hadapan Tuhan, bisa kita maksudkan bahwa filsafat Islam tidak lari dari spiritual.
Salah satu cara mengkaji filsafat yaitu dengan cara mempelajari perbandingan filsafat, agar kita mengetahui bagaimana perkembangan berpikir nya dalam suatu masyarakat.
Dari penjelasan di atas maka tidak mungkin jika Aceh tidak memiliki falsafah kehidupan. Meski di Aceh belum melahirkan filosof, ataupun perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus untuk mengkaji filsafat. Namun juga, tidak mungkin kita berkiblat kepada filsafat Barat untuk diterapkan pada filsafat Aceh. Ketika kajian fiilsafat selalu ada keyakinan yang membingkai pemikiran seperti Hindu dan Budha di India, Konghucu di Cina. Demikian pula di Aceh, meskipun ruang waktu Aceh diisi konflik, tetapi selalu ada senyuman di wajah orang Aceh yang bisa disimpulkan bagaimana ketegaran orang Aceh dalam menghadapi berbagai masalah, seperti misalnya pada konflik Tsunami 2004, yang masih banyak masyarakat pesisir tidak berpindah hanya karna alasan trauma.
Yang terpenting untuk mengkaji filsafat Aceh yaitu spirit orang Aceh yang membentuk kesadaran orang Aceh sendiri. Untuk menyatukan spirit ini juga digali nilai etika dan religi, alam, dan sosial masyarakat Aceh.
Dapat kita simpulkan disini, bahwa filsafat Aceh adalah kesadaran orang Aceh sendiri menemukan jati diri nya secara hakiki atau memiliki pondasi berpikir untuk diketauhi, hingga sampai kepada ciri khas bahkan karakteristik orang Aceh tersebut.
Menarik sekali, saya tunggu story berikutnya
Thnkyou. Oke ☺️
Ok sip kawan, salam kenal
Saya suka dengan Postingan kamu @bellasaraswati
cek juga postingan saya, follow, upvote atau resteem !
Saling membantu dan berbagi informasi !
Congratulations @bellasaraswati! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You published your First Post
You got a First Vote
You made your First Comment
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP