ACEHNOLOGI (VOLUME 2, BAB 21) : POLITIK ACEH

in #acehnologi6 years ago

65708CCE-AEB9-4953-BF54-D3279DF30DFC.JPG
Memang tidak ada rujukan yang pasti atau konkret untuk politik Aceh itu sendiri. Apakah Aceh memiliki konsep politik sendiri dari tradisinya atau bahkan mendapat penjelasan konsep politik nya dari konsep Barat atau dari Islam.
Lagi-lagi, tidak hanya kajian Sejarah Aceh, Sastra Aceh, dsb. Politik Aceh-pun ada kaitan nya dengan Tanah Melayu, yang dimana pada tahun 1511 runtuhnya Melaka yang dipandang sebagai “perpindahan kekuasaannpolitik Melayu”, ketimbang sebagai sebuah keberhasilan praktek kekuasaan orang Aceh.

Namun, sumber kajian politik Aceh dapat kita telaah mulai dari hikayat, bahkan dokumen penjajah. Kemudian, kita dapat melihat kembali bagaimana cara Sultan Iskandar Muda hingga Daud Beureueuh menjalankan roda pemerintahan Aceh, pasti mencakup dengan politik.

Di dalam bab ini, dosen saya @kba13 telah membagi fase-fase untuk memudahkan kita memahami pemikiran politik Aceh:
fase pertama, terjadinya proses Islamisasi dan pendirian beberapa kerajaan di Pulau Ruja, ditandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam, dan saliNg menyerang antar kerajaan.
Fase kedua, era pendirian dan kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam (1203 M), ditandai dengan karya-karya ulama besar.
Fase ketiga, Kolonialisasi I yang dimana Aceh mengahadapi penjajah (1873) hingga jatuhnya kerajaan Aceh Darussalam yang kemudian dilanjutkan oleh ulama yang tidak hanya sebagai intelektuan tetapi juga sebagai agen perjuangan rakyat Aceh.
Fase keempat, kolonialisasi II dimana ulama Aceh menghadapi Belanda hingga kedatangan Jepang.
Fase kelima, yaitu fase Revolusi I yang dimana kebangkitan ulama Aceh mengatur diri mereka sendiri karena adanya pergolakan sosial-politik yang dimotori PUSA.
Fase keeanm, fase Revolusi II yakni perang Cumbok.
Fase ketujuh, yakni Separatisasi I yaiti peristiwa DI/III dibawah pimpinan Tgk. Abu Daud Beureueh dimana baliknya titik kesadaran Islam dan politik yang dipraktikkan orang Aceh.
Fase kedelapn, fase Integrasi I yaiti dimana Indonesia mempertahankan Aceh sebagai bagian dari NKRI.
Fase kesembilan, fase Separatisasi II dimana Dr. Tgk. Hasan Di Tiro ingin memisahkan Aceh dengan NKRI dan dibangunnya GAM (1976).
Fase kesepuluh, fase integrasi II dimana adanya MOU Helsinki pada 15 Agustis 2005.

Dari 10 fase ini dapat saya pribadi menyimbulkan bahwa Aceh sendiri dapat menjalankan peran politik dan roda pemerintahannya sendiri tanpa mengikuti atau mempelajari cara menajalankan pemerintahan dari Barat atau yang lainnya. Karna dapat kita lihat bagaimana pernan Sultan, Ulama, hingga pejuang Aceh memiliki cara sendiri dalam menajalankan pemerintahan Aceh ini yang mencakup persoalan politik. Memang perjalanan yang panjang dalam melewatinya, dan juga banyak yang pemimpin pemerintah ini (tidak hanya sultan, tetapi ulama hingga pejuang pun terjun kedalam dunia politik Aceh), dari abad ke 8 M hingga abad ke 21 M.

Dari Kerajaan yang dipimpin oleh Sultan beralih ke Ulama yang menjadi dwifungsi, dari sinilah yang hilangnya kesultanan di Aceh dan juga tidak sesuai dengan sistem ideologi politik yang diinginkan Indonesia. Kemudian Abu Daud Beureueh yang ingin menerapkan Negara Islam di Aceh, membuat cara pandang ini dari pejuang menjadi pemberontak, dan musuh bukan lagi penjajahan dari bangsa Eropa, melainkan Jakarta. Apalagi dengan diubah nya Adat sebagai Undang-Undang menjadi reusam atau kebiasaan (tingkatan paling rendah) oleh Christian Snouck Hurgronje, yang tidak hanya menghancurkan politik di Aceh tetapi juga apa yang menjadi dasar pemikiran politik Aceh. Inilah warisan penjajah yang telah mengubah konsep dasar politik kita, sehingga kini kita terbiasa dengan warisan tersebut dan mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa hal ini sudah dirubah.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59514.13
ETH 2652.65
USDT 1.00
SBD 2.42