Acehnologi bab 11 : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU
Berbicara mengenai paradigma, berarti kita akan mengkaji suatu model teori dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan Islamisasi itu sendiri berarti cara atau proses pengislaman. Proses pengislaman ini tidak hanya di khususkan oleh manusia, tetapi juga terhadap hal-hal yang menyangkut orang banyak. Salah satu yang menyangkut hal tersebut adalah ilmu pengetahuan. Tujuan proses penerapan islamisasi itu sendiri adalah untuk mencari bagaimama titik temu pengembangan studi Islam (dirasah islamiyah) terhadap dunia pendidikan pada masa sekarang/kontemporer. Dengan di terapkannya berdasarkan dari tujuan di atas, maka diharapkan akan membentuk pola pikiran yang bernuansa islamiyah.
Sebagai dasar filosofis perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu bentuk perkembangan dunia ilmu pengetahuan di Aceh adalah kemunculan kampus-kampus negeri di lingkungan Kementrian Agama, yaitu UIN Ar-Raniry (Banda Aceh), IAIN Zawiyah Cot Kala (Langsa) dan STAIN Malikussaleh (Lhokseumawe) dan STAIN Tgk. Chik di Rundeng (Meulaboh).
Pada bab ini menelaah tentang penerapan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (IIP) dalam proses dunia pendidikan di Aceh. Adapun tujuannya adalah untuk mencari bagaimana titik temu perkembangan studi islam dengan keadaan dunia pendidikan pada era kontemporer ini. Dari persoalan dan tujuan tersebut diharapkan studi ini mampu untuk membentuk paradigma (pola piker) dalam membangun pendidikan yang bernuansa islami.
Adapun persoalan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lebih banyak diterapkan di Malaysia. Karenanya tidak mengherankan, wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan masih belum begitu menggema di Indonesia. Dalam konteks ini, studi Islam di Aceh pun tidak sedikit dinamikanya, tidak hanya pada lembaga tinggi seperti IAIN atai STAIN, tetapi juga lembaga dayah-tinggi yang berusaha ingin mengkaji islam.
Diskusi mengenai Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul di rantau Asia Tenggara pada era 1970-an. Saat itu, muncul keinginan dari beberapa sarjana muslim untuk menumbuhkan sebuah pemikiran bagaimana mengintegrasikan ilmu dalam kebutuhan era modern, yang mampu menarik umat islam pada aspek tauhid. Secara intenasional, ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul dari sarjana terkemuka yakni Ismail Al-Faruqi melalui IIIT (Internasional Institute of Islamic Thought) pada tahun 1981, saat itu secara berkala IIIT mencoba merancang bagaimana epestemologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan berikut dengan langkah-langkahnya. Bahkan disebutkan IIIT telah menerbitkan lebih dari 150 buku untuk mewujudkan ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Target dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah menguasai disiplin ilmu pada era modern. setelah itu, dilanjutkan dengan pengkajian secara serius terhadap disiplin-disiplin ilmu tersebut. Harus diakui bahwa ilmu pengetahuan, terutama sains dan teknologi, berkembang pesat pada era modern. Karena itu, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat dikatakan sebagai upaya sarjana islam untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dalam konteks kekinian. Adapun di Indonesia, pola Islamisasi Ilmu Pengetahuan agak “terlambat” masuk ke kampus IAIN, karena sejak tahun 1970-an, dominasi pemikiran Studi islam didominasi oleh Harun Nasution. Pemikiran Studi Islam yang dikembangkan oleh Harun ini lebih banyak bertumpu pada aspek rasionalitas dan membuka wacana terhadap posisi ilmu kalam dan perkembangan studi falsafah.
Jadi, jika dikembalikan pada agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka substansinya adalah kembali pada hakikat keilmuan yaitu tauhid (keimanan). Dengan kata lain, apapun pola keilmuan yang dipelajari, harus membangkitkan semangat keimanan kepada Allah. Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami ilmu dalam Islam menjadi bagian terpenting dari kemajuan dan peradaban. Sebaliknya jika kita melihat peradaban Islam, maka sebagian besar kemajuan tersebut ditentukan oleh tingkat perkembangan dunia lmu pengetahuan. Agaknya, disini bukan tempatnya untuk melakukan penelaahan sejarah gemilang Islam melalui kesuksesan ilmu. Akan tetapi, yang penting dicatat keberadaan ilmu saat itu sebenarnya menjadi paying peradaban Islam.
Dalam konteks Aceh, kegemilangan negeri ini lebih banyak didapatkan dari khazanah intelektual. dimana perkembangan ilmu pengetahuan di Aceh cukup pesat. bahkan dasar-dasar pemikiran keilmuan yang menjadi agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dikembangkan di Malaysia adalah berasal dari Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Nurdin Ar-Raniry. Karena itu, Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebenarnya sudah dimulai di Aceh. Hanya saja, melihat situasi studi Islam di Aceh, baik yang formal maupun tidak, proses ini tidak mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Dengan begitu, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa ada dua tahap besar ketika dilakukan proses islamisasi yaitu mengluarkan manusia dari budaya-budaya yang sudah mengakar di dalam masyarakat. Serta pada aspek politik berupaya untuk tidak memberikan pikiran-pikiran sekulerisme dalam proses islamisasi.