BIOGRAFI WALI NANGGROE ACEH DARUSSALAM HASAN TIRO

in #aceh6 years ago (edited)

BIOGRAFI WALI NANGGROE ACEH DARUSSALAM HASAN TIRO
SILABUS KEHIDUPAN SANG DEKLERATOR ACEH MERDEKA
WALI NAMGGROE
Prof.Dr. Hasan Muhammad Tiro.LL.D

WL HS..jpg

  • Kehidupan awal
  • Mendirikan GAM
  • Kembali ke Aceh
  • Referensi

Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro LL.D Ph.D (lahir di Tiro, Pidie, Aceh, 25 September 1925 – meninggal di Kota Banda Aceh, Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun) adalah seorang tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Gerakan tersebut resmi berdamai lewat perjanjian Helsinki pada 2005 dan melucuti senjata mereka. Hasan dianggap "wali", karena keturunan ketiga Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, pahlawan nasional Indonesia yang memimpin perang melawan Belanda pada tahun 1890-an.
KEHIDUPAN AWAL
rasal dari sebuah keluarga terpandang, dari gampông Tiro di Kabupaten Pidie, di Tiro belajar di Yogyakarta dan melawan Belanda saat Revolusi Nasional Indonesia. Ia kemudian melanjutkan belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan dirinya sebagai "menteri luar negeri" untuk gerakan perjuangan Darul Islam, yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara Ellis Island sebagai warga asing ilegal Perjuangan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962. Dibawah perjanjian damai, Aceh status otonomi
Pemberontakan di Aceh Spanduk ungkapan duka cita di makam Hasan Tiro di Mureu Lamglumpang, Indrapuri, Aceh Besar. Di Tiro kembali muncul di Aceh pada tahun 1974, di mana ia mengajukan tawaran untuk kontrak pipa di pabrik gas baru Mobil Oil yang akan dibangun di daerah Lhokseumawe. Dia dikalahkan oleh Bechtel, dalam proses tender di mana di Tiro berpikir pemerintah pusat memiliki terlalu banyak kontrol terhadap gas di Aceh. Ada klaim yang menyatakan bahwa, sebagai akibat dari kerugian dan kematian saudaranya karena apa yang ia dianggap sebagai kelalaian yang disengaja oleh dokter dari etnis Jawa, di Tiro mulai mengorganisir gerakan separatis menggunakan kenalan lamanya di Darul Islam. Dia menyatakan organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Di Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan", ia mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan. Dengan demikian, di Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara Indonesia. Makam Hasan Tiro berdampingan dengan makam buyutnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Karena fokus baru pada sejarah Aceh dan identitas etnik yang berbeda, beberapa kegiatan GAM melibatkan serangan terhadap para transmigran, terutama mereka yang bekerja dengan tentara Indonesia, dalam upaya untuk mengembalikan tanah Aceh untuk masyarakat Aceh. Transmigran etnis Jawa di antara mereka yang paling sering menjadi target, karena banyak di antara mereka yang berhubungan dekat mereka dengan tentara Indonesia. Prinsip militer GAM, bagaimanapun, melibatkan serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia. Pada tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan terluka, Hasan diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia. Dari tahun 1980, di Tiro tinggal di Stockholm, Swedia dan memiliki kewarganegaraan Swedia. Selama periode ini Zaini Abdullah, yang menjadi gubernur Aceh pada Juni 2012, adalah salah satu rekan Aceh terdekatnya di Swedia. Setelah tsunami pada bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005. Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh di Tiro, Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar. Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai. Pada bulan Oktober 2008, setelah 30 tahun pengasingan, di Tiro kembali ke Aceh. Selama konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan bahwa Hasan di Tiro telah meninggal. Kembali ke Aceh Pada 11 Oktober 2008, setelah 30 tahun, dia kembali ke Banda Aceh. Masalah kesehatannya membuatnya tak berperan aktif dalam percaturan politik Aceh selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua pekan berikutnya. Setahun kemudian, ia kembali ke Aceh, dan bertahan di sana sampai kematiannya.[16] Pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara oleh pemerintah Indonesia.. Hari berikutnya, ia wafat di rumah sakit di Banda Aceh.
PRESIDEN ACEH-SUMATERA.
Masa jabatan 4 Desember 1976 – 15 Agustus 2015 Pendahulu Muaz Amin Tiro Pengganti tidak ada; jabatan dihapus [Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka] 1 Masa jabatan 4 Desember 1976 – 3 Juni 2002 Pendahulu tidak ada; jabatan baru Pengganti Malik Mahmud Informasi pribadi Lahir 25 Agustus 1925 Tiro, Pidie, Aceh Darussalam. Meninggal dunia 3 Juni 2010 (umur 84) Bendera Indonesia Banda Aceh, Aceh Kebangsaan Swedia Indonesia (Kehormatan)Pasangan Dora A. Tiro Anak Karim Michel Tiro Alma mater Universitas Islam Indonesia Universitas Columbia Universitas Fordham Universitas Plano Profesi Politikus Sejarawan Ideolog. Karim Tiro, Sosok yang Misterius. Taufik Al Mubarak Penulis Taufik Al Mubarak Artikel biografiBagi masyarakat Aceh, sosok Karim Michel Tiro (selanjutnya disebut Karim saja) kalah populer dibanding ayahnya, Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya disebut Tiro). Selama puluhan tahun, namanya hanya disebutkan secara terbatas, itu pun hanya di kalangan GAM saja. Pun begitu, Tiro, ayahnya, sering menyebut namanya, baik dalam pidato maupun dalam tulisan. Dalam The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, nama anak semata wayangnya disebut berkali-kali, bahkan dengan bangga. Iya, kini sepeninggalan Tiro, nama Karim mencuat ke permukaan: Setidaknya, ada dua sebab: karena orang-orang pada penasaran; juga karena mereka kecewa. Penasaran karena, selama puluhan tahun masyarakat tak pernah melihat sosoknya secara langsung dan nyata. Foto dirinya juga terbatas, termasuk arsip di internet. Kisah tentangnya begitu tertutup dan misterius, kecuali beberapa dokumen dari Universitas tempatnya mengabdikan diri sebagai asisten profesor ilmu sejarah di Xavier University. Hasan Tiro, Zaini Abdullah, dan Karim Tiro. Sementara yang kecewa, memiliki alasan bermacam-macam. Meski dalam sejumlah pemberitaan, ketidakpulangan Karim disebut-sebut karena alasan keluarga yaitu ibunya, Dora, sakit keras. Tapi, sebagai anak yang berpisah cukup lama dengan orang tuanya, seharusnya Karim bisa pulang ke Aceh, menjenguk bapaknya. Di satu sisi ini sebuah dilema bagi pria yang berwajah Timur tengah ini: memilih pulang ke Aceh, ibunya sedang sakit keras. Tidak pulang ke Aceh, ayahnya juga sakit keras, dan kini sudah meninggal dunia. Sebuah keputusan yang sulit untuk seorang anak seperti Karim ini. Asnawi Ali, warga Aceh yang lama bermukim di Swedia, bercerita jika Karim itu sosok yang paling pelit bicara. “Meuri that dijaga jarak,” ujarnya tanpa menjelaskan detailnya seperti apa. Menurut Asnawi, komentar-komentar yang dikirim melalui email, pernyataan Karim sangat normatif. “Meuri hati-hati that dipeuteubit narit,” lanjutnya sembari menambahkan pasca MoU Helsinki Karim hampir tak pernah berkomunikasi lagi dengan Tiro. Jika pun ada komunikasi dengan Karim, katanya, Tiro sering mewakilkan melalui orang dekatnya. Asnawi membenarkan jika sosok Karim memang sangat misterius.

Karim dikenal pakar dalam bidang sejarah, terutama sejarah Amerika. Pun demikian, Karim tak memilih Aceh sebagai objek kajian akademisnya seperti halnya sang ayah. Karim memilih meneliti soal sejarah Amerika abad 16 hingga 18. Jangan heran, jika kita tak pernah temukan tulisan-tulisan dia mengenai sejarah Aceh. Dalam biografi singkat seperti dimuat di website Xavier University, Karim mengakui tertarik meneliti soal sejarah perang Amerika yang jarang dikenal dan jadi perhatian akademisi, khususnya Perang 1812, Perang Meksiko dan Perang Spanyol-Amerika. “Sengaja jih dijaga jarak dan dueh don’t care about Aceh (tidak peduli tentang Aceh),” kata Asnawi dalam bahasa Aceh bercampur Inggris. Keterangan Asnawi ini hampir sama dengan keterangan yang disampaikan Budiman, orang Aceh yang tinggal di Washington, Amerika. Menurut Budiman, 6 bulan lalu Karim pernah datang ke Harrisburg, dan bertemu dengan Tgk Musanna Abdul Wahab, Tgk Zahizi, Mahfudh Usman Lampoh Awe, dan lain-lain. “Lon deungo terakhir jih hana galak meusangkot paot politek di Aceh,” kata Budiman. Karim Tiro diskusi dengan mahasiswa Xavier University. Pun begitu, katanya, cerita soal Karim M Tiro sering didengarnya. Budiman mengaku, dua hari lalu, Kamis (/6), Mahfud Usman Lampoh Awe pernah menghubungi Karim dan mengabarkan meninggalnya Wali. Mahfud ini adalah putra Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, mentari keuangan GAM dalam kabinet Hasan Tiro. Kini sudah almarhum. Saat berbicara melalui telepon dengan Mahfud, cerita Budiman, Karim mengaku sangat berduka. Namun, saat itu Karim tak bisa menjanjikan apakah bisa pulang ke Aceh atau tidak. Ketika ditanya bagaimana perasaan orang Aceh di Amerika mendengar Tiro meninggal, Budiman mengatakan, orang Aceh sangat berduka dan merasa kehilangan. Rencananya, lanjut Budiman, orang Aceh di sana akan menggelar tahlilan untuk Wali, sebutan Tiro di kalangan anak buahnya. Budiman mengaku akan berangkat ke tempat tahlilan bersama Mahfud. Asnawi juga mendapat kabar jika Karim sangat berduka dengan berita meninggalnya Wali Nanggroe yang juga orang tuanya itu. “Memang berduka tapi hana meujan diwo,” jawabnya yang mengaku sudah mengirim email kepada Karim. “Lon tanyong bak email pajan diwoe, hana dijaweub. Tatanyong laen dijaweub laen,” lanjutnya. Asnawi kemudian mengirimkan alamat lengkap Karim yaitu di Xavier University 3800 Victory Parkway Cincinnati, OH 45207-4444 USA, plus email:[email protected]. Asnawi sengaja meminta Harian Aceh menghubungi Karim langsung via email, siapa tahu mau menjawab. “Aci tes kirém email dari sinan....peuë keuh ditém jaweub meunyo neutanyong pajan diwoe atawa pue na rencana woe?” saran Asnawi pada Harian Aceh melalui layanan chatting Facebook, Sabtu (5/6). Sebelumnya, Harian Aceh sudah beberapa kali mengirim email untuk Karim, pertama menggunakan bahasan Indonesia, tak ada balasan. Menurut Asnawi, Karim tidak bisa berbahasa Indonesia. Harian Aceh kemudian mengirim email dengan menggunakan bahasa Inggris menanyakan keadaannya termasuk rencana kepulangannya ke Aceh. Tapi ditunggu beberapa hari tak ada balasan. Malah, email yang dikirim sepertinya ditolak oleh sistem. “Oo...sang ka ditop email, di teupeuë ramé yg mita jih,” kata Asnawi saat diberi tahu bahwa email yang dikirim Harian Aceh tidak terkirim, meski alamat emailnya sudah benar seperti yang tercatat di Xavier University. Memang, sejak kondisi kesehatan Wali memburuk, sosok Karim jadi begitu penting. Orang-orang ingin tahu bagaimana sikapnya, apakah akan pulang ke Aceh atau tidak. Selain itu, orang-orang bertanya-tanya bagaimana kelanjutan dinasti Tiro sepeninggalan Wali. Namun, dalam sejumlah pernyataan seperti dikutip koran lokal, Karim sepertinya enggan menggantikan posisi Wali. Asnawi juga bercerita, jika Karim sebelumnnya pernah berkunjung ke Swedia, tempat dimana Wali menetap. “Lôn deungo-deungo na, tapi katrép, seugolom lôn teuka u Sweden nyoe,” katanya. “Awak awai mungkén leubèh teupeuë,”sambungnya. Wali sendiri, punya cerita soal anak semata wayangnya. Dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, Wali menulis jika anak semata wayangnya, Karim, seorang yang cukup ganteng dan cerdas. Sementara istrinya, Dora, disebutnya sangat cantik.

Tiro bercerita, bahwa dirinya cukup berat meninggalkan keduanya di tengah keramaian Kota New York yang tak henti berdenyut. Namun, Tiro harus menunaikan nazarnya yang diucapkan saat melakukan perjalanan meneliti satu kawasan di Oregon, Amerika. Saat itu, Tiro bernazar kepada Allah jika ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah, dirinya akan pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, atau bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Dalam buku catatan hariannya yang tak selesai itu, Hasan Tiro menulis, dia dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Malah, tulisnya, akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle. Seperti kita tahu kemudian, Tiro memilih pulang ke Aceh. Tiro memilih meninggalkan bocah laki-lakinya, Karim, yang saat itu berusia 6 tahun dan juga istrinya, Dora. Dalam buku yang awalnya berbentuk stensilan itu, Tiro menulis, sepanjang perjalanan dari Amerika ke Aceh, wajah anak dan sang istri selalu membayang dan tak hilang dari pandangan. Tiro membayangkan bagaimana sepinya hidup Dora, gadis Amerika keturunan Timur Tengah yang sudah memberinya seorang anak laki-laki.

Tiro menulis, saat pesawat yang membawanya semakin dekat dengan Aceh, perasaannya galau, sedih dan juga dibalut emosional. Untuk menghapus wajah anak dan istrinya, Tiro mencoba melihat keluar jendela pesawat. Ia pun teringat mati. Diakuinya, Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa dan terpisah dengan Karim dan Dora, tapi yang lebih ditakutkan, ia belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.

Karim cukup terkesan bagi Tiro. Ketika Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim. Tiro menulis, bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun.

Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim. Di lain kesempatan, cerita Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pusat perhatian orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Tiro, dalam diarynya. Hanya kisah-kisah itu yang diketahui secara luas di Aceh, selebihnya gelap. Satu-satunya informasi soal Karim kini bisa diakses melalui website Xavier University, itu pun berisi biografi singkat, termasuk karyanya. Sosoknya benar-benar misterius, semisterius kisahnya. Mungkin ceritanya akan beda, jika Karim Tiro memilih pulang ke Aceh. Tapi, entah kapan...!

Sosok pendiri GAM, Hasan Tiro Hasan Tiro lebih dari 25 tahun menetap di luar negeri.Tengku Hasan di Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di tahun 1976, dengan tujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia. Motivasi yang paling mengemuka di balik gerakan ini adalah kecewa terhadap sikap Jakarta yang sentralistis, utamanya persoalan porsi ekonomi, selain peninggalan masalah politik kesejarahan Aceh. Melalui jalan diplomasi dan militer yang panjang, Hasan Tiro kemudian menggalang ide kemerdekaan itu, tetapi mendapat jawaban militer oleh rezim Suharto. Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara kepada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979. Dari negara itulah, Hasan Tiro yang dilahirkan di Pidie, 25 September 1925 ini melanjutkan gagasan awalnya -- kali ini dengan bobot tekanan pada perjuangan diplomatik. Meskipun demikian, di pertengahan tahun 80-an, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer, dengan mengirimkan ratusan pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran di Libya.

Anak-anak muda didikan militer Libya inilah yang belakangan tampil sebagai Tentara Neugara Aceh, TNA, yang kemudian disegani. Tidak sedikit warga Aceh menyambut penuh gagasan Hasan Tiro. Tetapi perubahan politik Indonesia di tahun 1998, yang ditandai jatuhnya rezim Suharto, membuat ide kemerdekaan -- yang masih bersemayam di masyarakat Aceh mendapatkan momentum dan hidup kembali. Semula bersifat tertutup, bentuk perlawanan memerdekakan Aceh itu kemudian menjadi terbuka. Media-media di Indonesia saat itu bahkan secara gampang dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan militer. Keberhasilan kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia di tahun 1999, memunculkan pula tuntutan referendum di seluruh wilayah Aceh. Tuntutan ini ditolak, tetapi perlahan secara pasti sosok Hasan Tiro yang sempat "tenggelam", kemudian hidup kembali. Pada pertengahan 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di pengasingan melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi. Perlawanan militer pun dihidupkan kembali, walaupun tidak berarti upaya damai mereka tolak.

Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal di antara pimpinan kedua pihak dilakukan, tetapi gagal. Dilanjutkan oleh pemerintahan Megawati, upaya itu juga mengalami jalan buntu. Di masa Megawati ini pula, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap. Sejarah mencatat, dalam setiap perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu. Efek TsunamiTetapi konflik berkepanjangan antara Indonesia dan GAM itu "berubah" setelah gempa berskala besar dan disusul tsunami meluluh-lantakkan pesisir pantai barat Aceh, di sebuah pagi, 26 Desember 2004. Lebih dari 150 ribu orang tewas akibat bencana alam ini. Dan, bencana ini rupanya mampu melunakkan para pemimpin Indonesia dan pimpinan GAM, tidak terkecuali pimpinan tertingginya Hasan Tiro. Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak pun mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah. Dan ketika Hasan Tiro "membuka tangan", semuanya sepertinya menjadi berjalan tidak sesulit yang dibayangkan. Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM, kesepakatan damai itu akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Poin penting dari kesepakatan itu, antara lain Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM. Empat bulan kemudian, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan dibentuk komite peralihan untuk membubarkan mantan tentara itu dengan warga sipil. Pulang ke AcehPerubahan politik di atas, termasuk digelarnya pemilihan kepala daerah di Aceh, membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu. Warga Aceh menyambut pemimpin mereka yang disebut sebagai "Paduka yang Mulia Wali". Ratusan ribu orang dari berbagai wilayah Aceh menjemputnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di pusat kota Banda Aceh. Semenjak saat itulah, Hasan Tiro menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun berstatus sebagai pelarian politik. Dan hari rabu kemarin, 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan terbaring di salah-satu ruangan rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Tiro memperoleh kembali status sebagai Warga Negara Indonesia, setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya. Di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dipakai Bersama. SELEMBAR bendera berlatar merah dengan logo bintang bulan plus strip hitam diikat di seutas benang oleh beberapa pemuda. Di ujung benang tersebut terdapat beberapa balon oksigen warna-warni. Setelah selesai, beberapa pemuda tersebut melepas balon ini ke udara. Teriakan Aceh Merdeka pun menggema.

Demikian sekilas peristiwa dalam peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilaksanakan di Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Jumat, 4 Desember 2015 lalu. Para pemuda tersebut mengatakan jika bendera tidak bisa berkibar di darat maka mereka akan megibarkannya di langit Aceh. Seperti diketahui, GAM merupakan gerakan perjuangan Aceh melawan ketidakadilan Jakarta. Gerakan ini dideklarasikan oleh Dr. Hasan Muhammad di Tiro pada 1976 lalu. Hasan Tiro merupakan deklarator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 4 September 1930 di Kampung Tiro, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman di Tiro. Hasan Tiro pernah terlibat aktif dalam berbagai organisasi ke-Indonesiaan sebelum berangkat ke Amerika pada 1950. Ia, bersama abangnya, Zainal Abidin, aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945. Hasan Tiro juga pernah menjadi staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. “Malah sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB,” kata Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala seperti ditulis Majalah Tempo. Artinya, pada suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia. Sikap Hasan Tiro mencintai Indonesia berubah saat kemelut politik menyambangi Aceh. Saat itu, Teungku Daud Beureueh, salah satu ulama Aceh memproklamirkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM Kartosoewiryo. Hasan Tiro yang mencintai Aceh lantas mengingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata di tanah leluhurnya. Dari Amerika Serikat dia turut mengultimatum pemerintahan Soekarno agar tidak memerangi DI/TII pimpinan Daud Beureueuh. Dia mengancam akan membahas hal ini dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu. Ada beberapa poin tuntutan Hasan Tiro yang ditujukan untuk pemerintah Indonesia jika tidak menggubris permintaannya. Di antaranya membuka perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam. Selain itu, Hasan Tiro juga mengancam akan mengajukan rejim komunis-fasis Ali Sastroamidjojo kepada General Assembly PBB dan Human Right terkait pembunuhan, pelanggaran dan penganiayaan yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh. “Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi,” ujar Hasan Tiro seperti dikutip dari The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984

Peringatan yang dikeluarkan Hasan Tiro tersebut disambut dengan penarikan paspor oleh Ali Sastroamidjojo. Akibatnya pada 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Namun berkat bantuan beberapa senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Pertarungan Hasan Tiro dengan pemerintah Indonesia kemudian mengantarkannya ke kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Dari pergulatannya sebagai warga negara Amerika, dirinya telah berhasil menerbitkan beberapa buku termasuk buku berjudul Atjeh Bak Mata Donja. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Aceh yang menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik. Hasan Tiro turut mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat. Ada dua dokumen penting yang didapatkan Hasan Tiro di Markas PBB, yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain. Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh. Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagas ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Ide Aceh Sumatera diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.

SABTU, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeum. “Itu adalah malam pertama di tanah airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro.

Kunjungan Hasan Tiro bersifat rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh. “Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro. “Aku sudah lama memutuskan bahwa deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.” Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan. “Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai negara yang berdaulat sejak dunia diciptakan…”

Sejak itu, Pemerintah Indonesia mengirim hampir 50 ribu tentara dikirim ke Aceh. Jakarta juga menganggarkan Rp 1,23 triliun untuk pelaksanaan operasi keamanan di propinsi paling ujung Sumatera tersebut. Beberapa operasi yang konon merenggut banyak nyawa warga sipil yaitu Operasi Jaring Merah, Darurat Militer, Darurat Operasi Militer dan Darurat Sipil. Ribuan nyawa melayang dan tidak sedikit pula warga Aceh yang dinyatakan hilang. Konflik yang berlangsung hampir 30 tahun ini membuat ekonomi Aceh terpuruk. Hingga akhirnya tsunami meluluhlantakkan daratan Aceh pada 26 Desember 2014. Kedua belah pihak akhirnya sepakat cease-fire (gencatan senjata). Saat itu, pemerintahan SBY-JK juga menawarkan perdamaian. Tiga tahun setelah perdamaian, akhirnya Hasan Tiro pulang kampung. Dia menumpangi pesawat sewaan dari Malaysia bersama sejumlah pimpinan GAM lainnya. Pesawat yang mengangkut Hasan Tiro mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda pada 11 Oktober 2008 lalu.

Kedatangan Hasan Tiro mendapat pengawalan yang ketat oleh satuan tugas di bawah komando Komite Peralihan Aceh—lembaga yang dibentuk untuk menampung mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Nampak kegembiraan dari dirinya saat menginjakkan kaki pertama kali setelah puluhan tahun meninggalkan Aceh. Dia bersujud dan mencium tanah sebagai wujud syukur telah berhasil kembali ke tanah leluhurnya. Hasan Tiro saat itu belum memutuskan untuk menetap di Aceh. Dirinya kembali ke Swedia setelah mengunjungi tanah kelahirannya di Tiro, Pidie dan mengunjungi makam Teungku Chik Di Tiro di Meureu, Indrapuri. Baru pada 2010 dirinya kembali ke Aceh.

Memasuki bulan Juni 2010, sang deklarator GAM tersebut kemudian menderita sakit. Dia divonis komplikasi organ dalam dan sakit jantung oleh tim medis. Dia dibawa ke RSUDZA Banda Aceh untuk mendapatkan perawatan intensif. Saat itu, dokter yang merawatnya mengatakan tekanan darah Hasan Tiro mencapai 70-40. Hasan Tiro yang terbaring di RSUDZA kemudian mendapat kejutan dari Pemerintah Aceh. Dirinya yang telah lama mengantongi kewarganegaraan Swedia telah beralih status menjadi Warga Negara Indonesia pada 2 Juni 2010. Namun 26 jam setelah mendapatkan kewarganegaraan tersebut, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) H Muzakir Manaf mengaku sangat mengagumi dan menghormati sosok Hasan Tiro. Bagi pria yang akrab disapa Mualem ini, Hasan Tiro adalah sosok guru dan pemimpin kharismatik yang disegani. “Menyoe hana gob nyan, uroe nyoe hana Milad GAM,” kata Muzakir Manaf saat memberikan sambutan dalam peringatan Milad ke 39 GAM di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Jumat, 4 Desember 2015. Muzakir Manaf mengatakan Hasan Tiro bukan hanya tokoh ispiratif dalam perjuangan. Namun juga tokoh intelektual dalam Islam yang menguasai beberapa ilmu. “Almarhum wali adalah ulama, dengan latar belakang ilmu beliau seperti mantiq, tafsir, bahasa Arab, dan lainnya,” kata Mualem. Mualem juga mengatakan pendidikan yang diberikan oleh Hasan Tiro sangat bermanfaat baginya. dari berbagai sumber/bna Karim Tiro Tolak Gantikan Posisi Karim Tiro, anak semata wayang deklarator Aceh Merdeka, menolak menggantikan posisi ayahnya di tubuh Gerakan Aceh Merdeka. Di kalangan GAM, Hasan Muhammad di Tiro dikenal sebagai wali nanggroe. Karim yang bermukim di Amerika Serikat lebih memilih menjadi dosen di Jurusan Sejarah Universitas Xavier Cincinnati, Ohio. Karim Tiro tengah berdiskusi dengan mahasiswa di Universitas Xavier Cincinnati “Karim tidak sanggup meneruskan cita-cita ayahnya. Semua diserahkan pada keluarga ayah di sini tentang siapa yang lebih sesuai akan menggantikan wali,” kata Fauzi Zainal Abidin, keponakan Hasan Tiro, kepada wartawan usai menerima berkas kewarganegaraan Hasan Tiro yang kembali diakui sebagai Warga Negara Indonesia, Rabu (2/6). Karim Tiro kini merupakan asisten profesor sejarah di Universitas Xavier Cincinnati, Ohio, Amerika. Ia merupakan anak tunggal Hasan Tiro dari istrinya yang berkebangsaan Amerika, Dora. Belum ada kabar apakah Karim akan ke Aceh untuk menjenguk ayahnya yang tengah mendapat perawatan intensif di ruang ICCU Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin sejak sepekan lalu. Fauzi Zainal Arifin yang bermukim di Desa Tanjong Bungong, Kecamatan Sakti, Pidie, ini mengaku sudah beberapa kali berhubungan dengan Karim Tiro via saluran telepon internasional dan surat elektronik. Fauzi selalu berpesan agar Karim meluangkan waktu berkunjung ke Aceh, menjenguk sang ayah. ”Saat pertama ayahnya kritis, saya menghubunginya dan meminta dia pulang, untuk memberi penghormatan pada ayahnya. Dia bilang akan berkonsultasi dengan keluarganya yang ada di Amerika dahulu, sebelum mengiyakan. Dia berjanji akan mengabarkan pada saya, kalo jadi pulang,” ujar Fauzi.

referensi;

  1. a b "Hasan Tiro visits Aceh's hero graves". The Jakarta Post. Sun, 10/12/2008 11:16 AM. Diakses tanggal 2008-10-12. Sunday schedule was a visit to the grave of Tiro's ancestor Tengku Cik Di Tiro, a national hero Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  2. a b Marianne Heiberg, Brendan O'Leary, and John Tirman, Editors. Terror, Insurgency, and State: Ending Protracted Conflicts (edisi ke-2007). hlm. 512. ISBN 978-0-8122-2029-2.
  3. Williamson, Lucy (07:08 GMT, Sunday, 12 October 2008 08:08 UK). "What role for returning Aceh rebel?". BBC News. Diakses tanggal 2008-10-12. Hasan di Tiro has it all - nationalist credentials, 30 years of exile that have kept him apart from the new party politics. Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  4. a b c d Kenneth Conboy. Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (edisi ke-November 16, 2002). Equinox Publishing. hlm. 352. ISBN 979-95898-8-6.
  5. Cornelius van Dijk (Author). Rebellion under the Banner of Islam, the Darul Islam in Indonesia (edisi ke-1981). Martinus Nijhoff.
  6. Michael L.Ross (2007). "Resources and Rebellion in Aceh , Indonesia" (PDF). The World Bank. Diakses tanggal 2008-10-11.
  7. "Hasan di Tiro: Acehnese Terrorist". www.library.ohiou.edu. Wed Dec 19 1990 - 14:17:00 EST. Diakses tanggal 2008-10-12. An American worker was reportedly killed and another one wounded by stray bullets in the fighting between our forces and the Indonesian colonialist forces. This was the sort of thing that we have been trying to avoid for months Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
    8."Aceh's Gam separatists". BBC News. Monday, 24 January 2005, 14:46 GMT. Diakses tanggal 2008-10-11. Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
    9."HEAD OF STATE OF ACHEH-SUMATRA". asnlf. 2007. Diakses tanggal 2008-10-12.
    10 "Exiled Aceh leader returns". aljazeera. Saturday, October 11, 2008. Diakses tanggal 2008-10- 11. Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  8. Nessen, William, “Aceh’s National Liberation Movement,” in Veranda of Violence ed. Anthony Reid (Singapore: Singapore University Press, 2006), p. 184
    12 "Aceh guerrilla leader flies home". BBC News. 04:46 GMT, Saturday, 11 October 2008 05:46 UK. Diakses tanggal 2008-10-12. Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
    13 Indonesia: Hasan Tiro returns to Sweden
    14 Hasan Tiro arrives in Aceh (Indonesia)
    15 Hasan Tiro hospitalized
    16 Hasan Tiro an Indonesian citizen again (Indonesia)
  9. Aubrey Belford (June 3, 2010). "Hasan di Tiro, Who Led Indonesia Rebels, Dies at 84". The New York Times.
  10. Salinan Deklarasi Kemerdekaan Aceh di Acehnet

NB: Bila ada kekeliruan atau tidak sesuai dengan sejarah sang Wali maka kritik dan saran di perbolehkan tinggalkan pesan yang lebih berguna bagi sejarah Wali hasan Tiro

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 62264.03
ETH 2431.11
USDT 1.00
SBD 2.50