Sifat Keji seseorang Berprasangka Buruk Terhadap Orang Lain dan Mendengarkan Ucapan Orang Lain Dalam Keadaan Mereka Tidak Suka
Tgk R Budi Bias
Sifat Keji seseorang Berprasangka Buruk Terhadap Orang Lain dan Mendengarkan Ucapan Orang Lain Dalam Keadaan Mereka Tidak Suka
berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Seh ingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya. Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut suu zhan mungkin biasa atau bahkan se ring hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pi kiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D dem ik ian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mat -a sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang la -in, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kep ada orang lain. Padahal su
u zhan kepada sesama kaum mu slimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang ter larang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(Al-Hujurat: 12);
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Artinya;
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.”
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memer intahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang nam any qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pem bicaraan yang paling dusta.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
(HR. ِAl-Bukhari Muslim );
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Artinya;
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela or ang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai se suatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan sal ing membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah ya -ng bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang mu slim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka jangan lah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan per tolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan meren dahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengis -yaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah sese ora ng dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesa -ma muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram da rahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tid ak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.”
(HR. Bukhari dan Muslim);
إنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
Artinya;
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” — bersama Waled Blang Jruen.