Opini pilkada 2017

in #aceh6 years ago

KANDIDAT-KANDIDAT POHON
Oleh : Riski Juanda
images (3).jpeg
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 15 Februari 2017. Pilkada ini akan memilih tujuh pemerintah provinsi, 18 pemerintah kota, dan 76 pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia. Sementara itu di Aceh kita akan memilih satu orang Gubernur/Wakil Gubernur dan 20 pemerintah Kabupaten/Kota. Pidie Jaya, Aceh Selatan dan Subussalam akan mengadakan pilkada susulan.
Salah satu tahapan Pilkada adalah kampanye. Kampanye merupakan kesempatan bagi setiap Pasangan Calon (Paslon) untuk mensosialisasikan visi-misi politiknya kepada publik, dan juga ajang untuk memobilisasi publik agar memilih dirinya. Komisi Independen Pemilihan (KIP) telah menetapkan masa kampanye yaitu mulai tanggal 26 Oktober 2016 hingga tanggal 11 Februari 2017 (Kep. KIP No. 1/2016). Dalam rentang waktu itulah Paslon mensosialisasikan agenda politiknya menggunakan semua instrumen seperti baliho, spanduk, poster, dan iklan di media cetak maupun media elektronik.
Dalam hal sosialisasi, penyelenggara pemilu –KIP dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih)—telah membuat serangkaian peraturan mengenai penggunaan alat peraga atau media kampanye. Misalnya, alat peraga kampanye yang diperbolehkan hanya alat peraga yang diproduksi oleh KIP saja, dan lokasi pemasangannya pun telah ditentukan di tempat-tempat khusus sesuai dengan Keputusan KIP No. 35/2016. Beberapa tempat yang tidak diperbolehkan itu adalah rumah ibadah, kantor pemerintah, sekolah, asrama militer dan polisi, dan pohon. Panwaslih juga telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, partai politik, dan tim sukses setiap kandidat agar benar-benar memperhatikan peraturan tersebut.
Namun sebagian kandidat dan timses-nya tidak mengindahkannya. Dari hasil pemantauan pribadi, terdapat beberapa ruas jalan di kota Banda Aceh seperti di Jalan Sultan Iskandar Muda, terlihat beberapa alat peraga kampanye yang terpaku di pohon miliki kedua paslon Wali Kota Banda Aceh. Juga di seputaran Jalan Malahayati, Aceh Besar, terlihat alat peraga kampanye dari salah satu paslon Gubernur Aceh, dan salah satu paslon Bupati Aceh Besar. Tidak terkecuali di jalan lingkar luar kampus UIN Ar-Raniry, dan di sepanjang jalan Miruek Taman, Tanjung Selamat, Aceh Besar.
Hal ini tidak hanya milik Banda Aceh dan Aceh Besar saja. Namun juga terjadi di Kabupaten lainnya seperti Sigli (SI 21/11/16), dan beberapa kabupaten lainnya.
Selain di pohon, para kandidat juga memasang alat peraga di tiang listrik yang mengganggu estetika kota, yang dengan mudah kita jumpai di sepanjang jalan-jalan protokol di Banda aceh. Semua hal tersebut memperlihatkan betapa buruknya perilaku politik para kandidat yang menghalalkan segara cara dalam mensosialisasikan visi-misi politiknya.
Hal seperti ini harus segera dituntaskan khususnya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkoordinasi dengan Panwaslih. Panwaslih juga harus berani mengaplikasikan kewenangannya untuk menindak tegas, termasuk membatalkan pencalonan kandidat yang nyata-nyata terbukti melanggar peraturan. Regulasi terkini menyebutkan dan memberi kewenangan yang lebih luas kepada Panwaslih untuk mendiskualifikasi calon yang terbukti melanggar peraturan (UU 10/2016). Namun kenapa Satpol PP dan Panwaslih berdiam diri? Ini sungguh sebuah misteri bagi rakyat awam, termasuk bagi saya sendiri.
Tesis sederhana saya, Panwaslih tidak cukup berani menindak kandidat karena keberadaan mereka memang tidak sepenuhnya independen (acehtren 24/12/16), sehingga mereka mengalami dilema bila harus bersikap tegas pada sosok atau partai yang telah berjasa mengantarkan mereka pada posisi tersebut. Selain faktor independensi itu, juga adalah faktor profesionalitas, dimana komisioner panwas tidak menghayati tugas dan wewenang mereka yang otoritatif. Artinya boleh jadi mereka tahu apa yang dilakukan tetapi mereka tidak mau melakukannya.
Tesis lainnya, akan halnya Satpol PP, mereka juga mengalami disonansi yang lebih besar lagi. Berdiam diri, mereka merasa bersalah pada diri dan publik, namun bila menindak tegas, karena yang akan ditindak adalah para incumbent yang sedang cuti, maka mereka berpotensi untuk menjadi tumbal kekuasaan, pada saat pejabat yang sedang cuti itu kembali ke meja kerjanya. Incumbent yang balihonya diturunkan oleh Satpol PP tentu akan mendapat sanksi berupa hilangnya posisi yang sedang dijabatnya.
Kedua tesis boleh jadi benar, dan boleh jadi salah, namun alur logikanya mendekati kebenaran. Berbicara profesionalitas dan cita-cita besar untuk pemilu damai dan berkualitas memang membutuhkan martir yang menyediakan diri sebagai lokomotif perubahan. Katakan yang benar walau pahit; lakukan yang benar walau akan pailit. Wallaahu ‘alam.
images (3).jpeg

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 63718.61
ETH 3390.60
USDT 1.00
SBD 2.62