Ba'da Subuh

in #aceh7 years ago

Pergi dan kembali, ada dan hilang. Bagai angin yang terabai jiwa manusia yang tengah sibuk merangkai kata kepada sang pujangga. Rembulan menyapa cakrawala, malam gersang diterangi sinarnya. Gema Azan berkumandang menandai azan subuh telah tiba. Jarak yang sangat dekat dengan Musolla desa, aku terbelalak dan buru-buru untuk bangun. Berharap kali ini aku mampu berdamai dengan perasaan yang selalu menodai iman. Setelah melaksanakan kewajiban, aku mencoba untuk mengintip keluar jendela. Entah firasat apa, tak biasanya aku penasaran kepada suara langkah kaki yang ku dengar kali ini. Kuputuskan untuk mengintip dari balik tirai. Seketika saja, mata kami bertemu. Buru-buru kututup kembali tirai, walau hanya bola mataku yang terlihat. Jantungku kembali berdetak. Jiwaku berontak untuk bungkam.
Hatiku kali ini berbisik untuk melepas semua rasa yang menganggu. Meringkuk dibalik wajah kepolosan seolah tak merasa apa-apa, seolah tak mencintai siapa-siapa. Semuanya dusta, aku berdusta. Aku merasa lemah, ditambah hari ini aku harus melihatnya untuk solat subuh di Musolla yang berada di depan rumah ku. Mudah saja aku memperhatikannya lalu lalang di depan jendela kamarku. Walau kadang tanpa sengaja mata kami saling bertemu dan kemudian berpura-pura seolah tidak tahu.
***
1 Tahun yang lalu..
Ramadhan kali ini lebih indah, seolah tuhan sudah memberiku tanda untuk menemui seorang yang menemani hari-hariku. Tepat di hari 1 ramadhan aku memutuskan untuk istiqomah melaksanan shalat terawih di Musholla dan subuh berjama’ah dengan beberapa orang nenek-nenek yang menjadi teman baikku. Aku wanita berumur 20 tahun dan beberapa kali ibuku selalu menertawakanku saat aku berjejer langkah bersama seorang nenek-nenek dikampung ini. Ini menjadi alasan, kenapa aku enggan untuk berpisah dengan bulan suci, bulan yang penuh dengan ampunan dan kejutan.
Hari ini setelah sahur, buru-buru aku bersiap-siap dan ke Musholla, hari ini terasa beda. Setelah imam mengucap salam dan bershalawat, aku memutuskan untuk keluar cepat dari Musholla, karena perutku sakit. Setelah melangkah tanpa menghitung langkah, kepalaku mendongak ku dapati bulan masih melengkung rapi, seolah ingin menemui pagi. Ku tarik nafas dalam-dalam. Cakralawala mulai memerah, kudengar bunyi langkah kaki dari belakang. Kemudian semakin cepat, ku tolehkan kepalaku. Kulihat ada Dimas, ya. Aku mengenalinya. Dia anak dari salah seorang imam di desa ini. Tanpa menoleh ke arahku, ia berlalu hingga punggung nya saja yang terlihat. Aku tidak peduli apakah ini dinamakan pertemuan atau hanya sekedar figuran didalam hidupku. Aku kira ia hanya sekedar menumpang lewat di garis hidupku. Beberapa kali ia sempat kerumahku untuk memperbaiki gamisnya yang terlalu besar, kebetulan abahku adalah seorang penjahit.
Abah memperhatikan kemudian mengukur badan nya, aku hanya sekedar lalu lalang tak jelas di ruang tamu. Mencoba untuk menghindar darinya tapi abah berkali-kali menyuruhku ini itu.
“Oh, ini sepuluh menit juga selesai. Kapan perlunya” Tanya abah
“Hari ini bah, soalnya nanti mau balik ke pesantren” ucapnya pelan, yang sedang duduk rapi di kursi tamu.
“Yasudah kamu tunggu disini aja. Biar abah lihat dulu” Jelas abah kemudian berderap kembali bertempur dengan mesin jahitnya.
“Wulannn…!” Panggil abah dari kejauhan.
Aku buru-buru memasang kerudung seadanya kemudian datang menemui Abah. “Tolong pasang kancing di baju itu, kamu disini aja. Nemenin abah sama Dimas!” seraya memasang kancing abah mengajakku dan dimas berbincang ringan seputar pembahasan hukum-hukum yang ia pelajari di pesantren, begitu menarik bagiku. Topik yang membuat aku hanya bisa mengucap “MasyaAllah” karena keterbatasan ilmu yang kumiliki. Kemudian perbincangan itu berlanjut ketika Dimas sering kerumahku untuk membuat seragam nya, walau hanya sekadar bertukar senyum.
Setiap subuh pada bulan Ramadhan, kami tidak pernah janjian untuk saling menunggu, aku juga tidak mengerti. Begitu aku membuka pintu untuk ke Musholla, nenek-nenek dan beberapa ibu-ibu lainnya, dengan langkah beriringan selalu ku lihat dimas, bahkan setiap subuh maupun terawih.
Hal yang sama juga terjadi, ketika aku memutuskan untuk keluar telat berniat menunggu awan yang memerah menyambut mentari dan bulan enggan meninggalkan langit pagi. Belum selesai aku memperbaiki langkah kaki, kulihat diseberang jalan yang jaraknya tidak sejauh jalan raya. Kami saling melempar senyum dan ia kembali menundukkan kepalanya. Berbanding terbalik dengan diriku, yang sukanya mendongak menatap bayang-bayang rembulan ba’da subuh. Semua orang mengenaliku, bukan perempuan pemalu tapi masih mempunyai malu, perempuan yang begitu penasaran, dan buru-buru ingin menemukan jawaban. “Dimas, coba lihat kelangit, sudah mau pagi bulannya masih keliatan kan?” dia mendongak menuruti. Kemudian hanya tersenyum. “Wulan, kamu tahu nggak? Apa yang lebih terang dari cahaya rembulan? “ Tanya nya disela-sela suara sepeda motor yang lalu lalang. “Memang apa?” Aku buntu jika harus menjawab pertanyaan seperti ini. “Wajah Rasulullah, Keringat nya saja bercahaya. Kamu sering dengar syair yang judulnya Qomarrun nggak?”
Aku hanya mengangguk. “Coba cari artinya” ujarnya seraya tersenyum “aku pulang ya” kata itu yang terdengar ketika aku sudah sampai didepan rumahku. Entah berapa jumlah langkah kaki yang diiring perbincangan lima menit itu, dan terus berlanjut hingga akhir bulan Ramadhan. Dua puluh Sembilan hari aku menemukan sesuatu yang tidak pernah kutahu, berkali-kali aku berdecak kagum ketika ia mengajarkanku beberapa syair shalawat atau bahkan beberapa pelajaran di kitab yang ia pelajari, dan menjawab beberapa pertanyaan yang belum pernah kutemukan jawabannya. Semua itu hanya berjalan dua puluh Sembilan hari saja. Setelah itu? Semua hanya menjadi memori saja.


Ada sesuatu yang hilang ketika kudengar suara takbir bertalu-talu. Anak-anak berlalu lalang didepan rumahku. Namun tak kulihat dia di sana yang berlalu lalang didepan rumahku. Setelah Idul fitri berakhir, semuanya seolah hilang. Dimas harus kembali ke pesantren, dan ada yang berubah, rasaku pun begitu. Ku nanti malam, kemudian ku diskusikan namanya disepertiga malam, tak hanya itu. Hari-hariku pun dipenuhi dengan nama nya.
Malam ini hanya kenangan dan harapan yang ku punya. Secuil kenangan yang berbuah harapan. Sedikit pun tak ada jeda untuk berhenti mengharapkannya. Aku tidak mengerti apakah ini salah, yang pasti tak ada objek apapun kecuali aku hanya bisa menatap ke luar jendela dan berharap ada langkah kaki disana. Langkah kaki kami yang terpisah beberapa langkah kemudian menatap bayang rembulan yang ingin menghilang. Ku hela nafas panjangku. Semoga Tuhan mempertemukan kita di ba’da subuh yang tepat, Dimas.
Aku menari-narikan jari di atas buku notes kecilku, perasaan sesak yang tak mampu kutahan tertuang pelan dengan tinta hitam itu. Tak mampu ku abaikan hati yang terus mengharapkannya, berharap dialah yang menjadi teman halalku. Berharap Tuhan setuju, dan mempertemukanku dengannya.
“Assalamu’alaikum subuh, tahukah kau? Kujatuh hati pada sinarmu yang akan menemui pagi. Subuh, bisakah kau kembali pada saat ba’da subuh lalu? Aku rindu pada Hamba-Nya yang merasakan betapa hangatnya sentuhan kata-kata yang mendamaikan jiwa. Tatapan dalam tundukan wajahnya yang ia jaga. Menjaga agar tak bertatap langsung. Subuh, kau tahu? Dia telah mengajariku banyak hal, hal yang tidak kuketahui sama sekali. Ilmu yang dia berikan setiap ba’da subuh itu begitu membekas. Subuh, katakan padaku, jika kau ingin membawaku kembali pada masa itu, saat dimana bulan dan bintang samar-samar terlihat dan langkah kaki mengiringi degupan jantung yang kujaga. Subuh, bisakah kau kembali? Aku menantimu disini, dipersimpangan hidupku. Semoga ada waktu yang bersedia berdamai dan menemukan kita. Pada subuh yang tepat”


sepenggal kisah yang ku baca dari tulisan notes kecilku, entah pertanda apa setelah melihat nya ba’da subuh tadi, setelah setahun aku hanya menatap kekosongan di jalan hampa itu. Kemudian, semesta seolah membawanya kembali. Langkah kaki yang kunanti kemudian terdengar lagi.

Pukul 08.00, aku menyapu halaman dan memebereskan beberapa hal yang juga di lakukan oleh remaja seusiaku. Tanpa memberi pemberitahuan apapun. Dimas datang dengan Ayahnya, sontak saja sapu lidiku terjatuh, buru-buru aku berderap menuju kekamar. Abah menyambut kedatangan mereka, ibuku menyuguhkan minuman dan ikut berbicara diruang tamu. Kurasa ini pertemuan yang serius, entah berapa menit terhabiskan. Ibu datang menemuiku.
“Wulan, Abi nya Dimas mau bertemu dengan kamu” ucap ibu. Aku hanya menuruti. Dengan langkah pelan, tanpa firasat apapun aku duduk di samping ibuku, mereka menyambutku, tak kuberanikan diriku untuk menatapnya.
“Jadi begini, Abah sudah panjang lebar berbicara dengan Abi. Sekarang biar Abi aja yang langsung sampaikan sama wulan” Jelas abah.
“Wulan, sebenarnya sudah lama Dimas sampaikan ini sama Abi, Cuma Allah baru merestuinya sekarang. Sudah setahun dia ingin kerumah nak wulan. Semoga hari ini kedatangan kami kesini, berbuah manis. InsyaAllah, Apa nak wulan bersedia menjadi menantu Abi?” Tak butuh ber jam-jam perkataan Abi yang merosot halus kedalam telingaku membuat seolah denyut nadi ku terhenti. Asa yang terbungkus cinta akhirnya melebur pasti merekah bersamanya. Alampun akhirnya ikut berseri, tak ada kata yang mampu kurangkai saat ini. Penantianku, Akhirnya berujung menemukan dermaga. Aku mengangguk, tersenyum.
“Abah, Abi. Saya mau bilang. Kalau akadnya diadakan Ba’da subuh saja” ucapnya pelan. Aku tertunduk kaku. Kukira hanya aku saja yang menanti ba’da subuh itu. Ternyata dia juga.
Setelah mempersiapkan semua berkas-berkas. Akad Nikah di adakan Ba’da subuh, ia begitu tampan mengenakan jas putih dan songket yang dilengkapi pernak-pernik adat aceh. Aku pun begitu, tak perlu kujelaskan. Tak hanya pernak-pernik itu yang menghias kami berdua. Kebahgiaan pun ikut serta. Ba’da subuh itu kembali. Namun kali ini tampak beda, kami tak lagi dipisah jarak. Setelah saksi mengucapkan kata sah. Kali pertama aku menyentuh tangannya, dan mencium tangannya. Ia pun menyentuh kepalaku dan membaca do’a. Yah, Ba’da subuh kali ini tampak beda. Ba’da subuh ini kembali. Bersama keberaniannya bersama cintanya.
Tamat

26224312_200243033887019_7658926402535686144_n.jpg

Sort:  

Wulan dan Dimas. asa yang terbungkus cinta yang melebur.

Ariff kok😂😂

Berkarya menjadi steemian wkwkw

Berkarya menjadi steemian wkwkw

arif kok hahaha

Postingan yg menarik.
Segitu banyak referensi dari mana @riazuljnnah ?

dari bukuu lain. dan idee

Congratulations @riazuljnnah! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.029
BTC 75263.74
ETH 2718.66
USDT 1.00
SBD 2.46