Pemekaran Daerah itu Hak Konstitusional

in #aceh6 years ago

Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

Pasca diundangkan UU No. 23 tahun 2014 dan tentang Pemerintahan Daerah sebagai buah dari reformasi memberikan ruang yang sangat besar bagi daerah untuk mengelola wilayah masing-masing. Pemerintah yang terpusat, dengan cakupan luas wilayah Indonesia yang berpulau-pulau semakin menjadi alasan kebutuhan pelimpahan kewenangan daerah tersebut. Di satu sisi, pelimpahan kewenangan dan hak merupakan hal yang ideal dan sangat potensial untuk memajukan daerah, namun sisi lain juga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Euforia ini akhirnya berujung dengan lahirnya ratusan wilayah DOB di Indonesia, Jumlah ini terus bertambah hingga saat ini dan tidak pernah ada satupun terjadi penggabungan wilayah sebagaimana diatur juga dalam UU ini. Sekalipun banyaknya persoalan yang dihadapi oleh DOB dan daerah induk pasca pemekaran, dan DPR beberapa waktu yang lalu sempat membuat moratorium untuk menghentikan sementara pembentukan DOB, namun toh moratorium ini tidak berumur lama, karena justru DPR mengesahkan kembali sejumlah DOB dengan memperhatikan kelengkapan usulan yang sebagian besar hanya bersifat administratif. Padahal persoalan DOB bukan saja menyangkut rekomendasi tetapi menyangkut fungsi pemerintahan yang paling substansial yakni pemenuhan hak-hak dasar warga sipil.

Bagaimana pemerintah bisa menjamin kebutuhan pelayanan publik bagi masyarakat menjadi lebih baik dengan DOB karena ketersediaan dan kedekatan akses pelayanan itu sendiri dengan adanya DOB, bukan hanya bersandar pada indikator peningkatan PAD karena pemerintah bisa saja mencari sumber-sumber PAD dari pajak, yang ujung-ujungnya memberatkan masyarakat atau eksplotasi SDA yang tidak memikirkan kelangsungan anak cucu. Peningkatan pelayanan dan PAD yang ‘sehat’lah yang semestinya menjadi tolak ukur. Jika tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan dan PAD ‘sehat’ maka seharusnya disinilah sangsi itu bisa diberlakukan oleh pemerintah, panggabungan wilayah.

Setidaknya, ada tiga aspek yang menjadi peta persoalan kesiapan menjadi daerah otonom baru (DOB). Pertama, keuangan daerah (kondisi fiskal). Daerah dengan potensi sumber PAD yang besar tentu akan lebih siap dibandingkan yang terbatas. Kaitan dengan studi yang pernah diadakan, ada beberapa daerah dimana pada suatu saat terjadi kemiskinan pada daerah induk atau malah pada DOBnya. Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan. Idealnya tentu kedua daerah baik DOB maupun induk sama sama memiliki sumber PAD yang memadai untuk menghidupi 'rumah tangganya' masing-masing, dan tidak mengandalkan dana yang bersumber dari pusat seperti DAU dan DAK. Dan dalam beberapa daerah terjadi degradasi di salah satu daerah tersebut entah induk atau DOB, sehingga banyak pemerintah memilih jalan pintas meminta ‘upeti’ dengan label pajak dan retribusi resmi lewat perda yang ujung-ujungnya justru membebankan masyarakat itu sendiri apalagi impikasi lebih jauhnya adalah ekonomi biaya tinggi. Yang menjadi catatan, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, level propinsi, kapasitas fiskal berada dalam kategori tinggi, sedangkan hanya Kota Banda Aceh dan Kodya Sabang yang memiliki kapasitas fiskal menengah dan tinggi. Jadi tidak ada satupun organisasi berbentuk Kabupaten yang memiliki kapasitas fiskal menengah maupun tinggi, semua berkategori rendah dan sangat rendah.

Seperti yang pernah terjadi di Bungo Propinsi Jambi, sebagai wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama batu bara, disamping perkebunan. Dengan adanya cadangan batu bara dan perkebunan yang ada maka secara signifikan bisa menopang PAD. Namun PAD pun harus ‘sehat’ tidak tentu tidak bisa bisa mengandalkan eksploitasi batu bara dan barang tambang, atau pajak/pungutan, serta DAU dan DAK pusat. Cadangan tambang batu bara dan sejenisnya suatu saat akan habis, pungutan pada akhirnya justru membebankan masyarakat sedangkan DAU dan DAK justru menunjukkan ketidakmandirian daerah. Maka disinilah pentingnya kajian terhadap sumber PAD ‘sehat’ yang memungkinkan diharapkan namun tetap memperhatikan kesinambungan pebangunan dan tidak membebankan masyarakat dan pemerintah pusat. PAD ‘sehat’ tidak hanya bagi DOB tapi juga daerah induk, apalagi daerah induk diberi kewajiban membiayai DOB setidaknya dua tahun sejak dimekarkan.

Kedua, kesiapan DOB juga menyangkut tentang SDM dan kualitas pelayanan sebagai bagian dari tujuan idealnya DOB. Bagaimanapun besarnya PAD yang dikelola tetapi dibawah pengelolaan SDM yang terbatas rendah kuantitas dan kualitas serta komitmen, akan menjadi persoalan dalam mengelolaan pemerintahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbangda bekerjasama dengan LSI per September 2013 justru menunjukkan bahwa kualitas pelayanan masyarakat hampir di semua Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh masih di bawah standar. Dalam skala 1-10 yang diterapkan, maka kualitas ini masih di bawah 5.5.

Ketiga, persoalan batas wilayah dan aset. Sekalipun DOB secara de jure sudah terbentuk, namun persoalan terkait dengan batas geografis wilayah serta penyerahan sebagian aset kepada daerah kepada DOB tetap menyisakan persoalan. Lihat saja berapa lama persoalan aset Aceh Utara dan Lhokseumawe hingga sekarang belum kunjung selesai. Jika hanya menyangkut teknis pembagian administrasi tentu akan mudah diselesaikan namun jika terkait dengan kepentingan ekonomi politik dimana terdapat potensi SDA, maka akan tetap melahirkan persoalan baru dan berlarut-larut. Daerah induk akan berat melepaskan wilayah yang menjadi aset dan SDA sebagai sumber PADnya sama halnya dengan DOB yang memiliki kepentingan yang sama. Maka tidak heran menjadi konflik batas territorial melibatkan masyarakat sehingga berkembang menjadi konflik horizontal dimana masyarakat acapkali terbagi menjadi faksi-faksi kepentingan penguasa.

Bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mengatur secara jelas tentang mekanisme Pengajuan Pemekaran Daerah, bahkan UU tersebut secara tegas memerintahkan Presiden RI untuk menetapkan dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penataan Daerah (DETADA) dan RPP tentang Desain Besar Penataan Daerah (DESERTADA). Kedua RPP ini merupakan landasan dasar untuk melahirkan Daerah Otonomi Baru. Kita hidup di negara hukum dan masyarakat sadar hukum, memahami bahwa Indonesia ini Negara Hukum, maka kita berjuang untuk pemekaran daerah sesuai dengan Konstitusi, jadi jika ada yang mengatakan bahwa Pemekaran daerah semata-mata untuk kepentingan elit dan segelintir orang, maka orang tersebut harus baca dan pahami isi UU 23 2014.

Peningkatan Kesejahteraan
Pemekaran wilayah adalah strategi pemerintahan untuk optimalisasi fungsi pemerintahan yang pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indikator awal menuju peningkatan kesejahteraan adalah kepuasan masyarakat terhadap layanan publik yang mudah dan murah. Pemekaran wilayah sangat memungkinkan diwujudkan pemenuhan kualitas karena semakin dekatnya pusat layanan dibandingkan dengan sebelumnya dan semakin kecilnya rasio antara aparat dan masyarakat yang dilayani.

Namun tentu pelayanan yang diharapkan hanya bisa diperoleh dari aparat yang berkualitas (punya integritas, komitmen dan etos kerja) serta sistem pelayanan yang punya SPM dan SOP sesuai standar. Jika benar DOB Aceh Malaka adalah untuk kepentingan masyarakat, maka pemerintah harus bersungguh-sungguh memperhatikan aspek pelayanan ini. Buruknya kinerja pelayanan publik di Aceh adalah ‘PR’ yang harus diselesaikan.

Puncaknya adalah Senin, 24 September 2018 di Jakarta adanya audiensi dengan DPD dan DPR RI di Senayan dan aksi nasional di depan Istana Kepresdenan, Dalam aksi tersebut di Jakarta, dihadiri dan datang dari daerah masing-masing CDOB mulai dari Aceh sampai Papua, dari Miangas hingga Pulau Rote ingin meminta pada Pemerintah agar moratorium segera di cabut agar ada pemekaran lagi kedepan untuk kepentingan orang banyak. Mereka meminta presiden segera mungkin menanda tangani PP Desertada dan Detada agar kita bisa mengacu pada persyaratan yang berlaku.

Lalu perwakilan pejuang CDOB yang tergabung dalam FORKONAS PDOB Seluruh Indonesia diterima audiensi dengan Pihak Istana Presiden RI, menyikapi tuntutan ribuan Pejuang Pemekaran dari 173 CDOB Se Indonesia yang melancarkan aksi yang diterima oleh Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jend (Purn) Moeldoko. Tuntutan masih sama, yaitu cabut moratorium pemekaran, sahkan 2 RPP menjadi PP yaitu PP Detada & Desertada yang merupakan amanah UU 23/2014.

Perlu dipertegas kembali, perjuangan pemekaran daerah bukan digulirkan menjelang tahun pemilu. Akan tetapi isu ini sudah ada sejak lama, bahkan ada CDOB yang berjuang belasan tahun untuk mekar. Bedanya, sejak tahun 2016 perjuangan mendobrak kebijakan pemerintah terkait moratorium pemekaran dilakukan secara bersma-sama lewat FORKONAS. Dimana 173 CDOB sepakat berjuang bersama, bukan sendiri-sendiri. Namun demikian masing-masing CDOB diingatkan untuk segera melengkapi persyaratan sebagaimana yang termuat dalam UU tersebut, sehingga sewaktu-waktu kran pemekaran dibuka, semua CDOB lolos dan ditetapkan sebagai DOB.

Kemudian Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menerima dengan baik maksud dan tujuan rapat konsultasi antara DPD RI dan Forkonas Calon DOB. Beliau mengatakan langkah pertama akan segera menindaklanjuti aspirasi ini dan menjanjikan Oktober 2018 untuk mengadakan rapat lanjutan dengan mengundang kementerian dan Lembaga terkait membahas dua PP yang menjadi tuntutan dari daerah Calon DOB. Pemerintah mencoba melihat dan mengevaluasi serta mengkaji. Nanti akan dibentuk tim kecil dengan pemerintah/DPD/Forkonas untuk pembahasan terbatas sehingga ada proses dan progres yang harus akan dihasilkan.

Sebagai informasi, tugas dari Kedeputian V dari Kantor Kepala Staf Presiden adalah memberikan bantuan kepada Presiden dan Wakil Presiden di bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan Hak Asasi Manusia.

Selain ratusan CDOB yang ada di Indonesia, khusus untuk daerah Aceh terdapat 7 CDOB antara lain Aceh Raya, Kota Meulaboh, Aceh Selatan Jaya, Selaut Besar, Aceh Malaka, Kota Panton Labu dan Pidie Sakti. Pemekaran tersebut akan mempercepat pembangunan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat serta mendesak Presiden untuk segera menandatangani pemekaran Aceh khususnya. Tentu saja Keberhasilan itu tidak terletak pada hasil, akan tetapi pada bagaimana proses untuk mencapai hasil itu. Mari !

Sort:  

Congratulations @danilcotseurani! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 68523.63
ETH 3260.51
USDT 1.00
SBD 2.66