Sebatang Sungai di Belakang Rumah

in #aceh7 years ago

Di belakang rumah masa kecil saya mengalir sebatang sungai. Kalian bisa membuka peta pulau Sumatera lalu mencari gambar sungai itu, bernama sungai Keureutoe. Ia adalah sebuah kanal alam mengalir jauh dari celah Gunung Geureudong dan Burni Telong berujung di bibir selat Malaka. Jarak antara Selat dengan kampong kami terpaut belasan kampung, jadi kami berada hampir dipenghujung hilir sungai. Setengah hari bersampan dari kampung saat air surut kami bisa sampai di muara sungai. Tapi jarang ada orang kampung yang mau bersampan sejauh itu. 

Puluhan tahun lalu kami masih menjadikan sungai tersebut sebagai pusat kehidupan kami. Airnya ketika itu masih bersih dan jernih dijadikan sumber air baku untuk memasak. Di tepiannya yang rimbun tempat kami mandi mensucikan badan dan juga pakaian. Dikedalaman arusnya yang tenang kami menangkap berjenis-jenis ikan, udang galah dan menyelam lokan hitam yang bersembunyi di gundukan pasir dasar sungai. Tersembunyi disela-sela rumput gelagah yang menjulur ke batang sungai kami biasa meletakan tumpukan hajat tubuh yang beraroma sengit tertimpa matahari. Semua romansa hidup kami sebagai orang kampung mengalir bersama aliran sungai. 

Sepanjang tahun sungai itu berkali-kali permukaanya berubah ukuran lebar dan warna. Saat kemarau ia berukuran sempit, airnya  jernih tenang membiaskan hijau daun dari pepohonan yang merimba ditepiannya. Pada puncak penghujan muka sungai melebar ukurannya tiga kali lipat lebih besar. Ia menjadi serupa selat kecil campuran susu bercampur kopi yang tawar dan dingin. Arusnya melesat kencang menghanyutkan gelondongan pohon sebesar bus malam yang tumbang dari hulu. Begitupun mengerikan keadaannya kami tetap mendatangi sungai untuk mandi, mencuci, buang hajat dan menangkap ikan. 

Sungai saat airnya keruh membanjir kami para bocah menjadikannya lapangan outbond. Disana kami berlatih banyak aksi paling ekstrim yang pernah dilakukan para bocah seusia kami. Kami balapan renang menyeberangi sungai saat air sedang keruh-keruhnya. Mengejar gelondongan kayu lalu ramai-ramai menariknya ketepian dan menjualnya sebagai kayu bakar. Menghanyutkan diri seharian dengan sampan pemancing yang kami pinjam tanpa izin pemiliknya. Itu semua kami lakukan sepulang sekolah, berjam-jam berendam di air keruh hingga telapak tangan kami berkerut seperti kulit jeruk purut dan telinga kami berair dan berbau busuk. Kami hanya bocah kampung ketika itu.

Ketika air keruh orang-orang kampung menjernihkan air sungai didalam tempayan menggunakan tawas. Semakin keruh airnya semakin banyak bongkahan tawas ditambahkan. Kelebihan campuran tawas dalam air minum terkadang membuat telinga menjadi berdengung dan setengah tuli. Ketika ada kematian warga kampung di musim penghujan, tuan rumah akan menyajikan air bertawas buat minum bersama. Akibatnya orang-orang akan mengobrol dengan suara setengah berteriak. Sedikit sekali yang menyadari bahwa mereka sedang dilanda wabah ketulian akibat menenggak kristal tawas. Ilmu orang kampung seperti kami cuma sampai pada paham bahwa fungsi tawas sebagai penjernih air keruh.

Lama sudah saya tidak pernah berenang di sungai itu. Menjenguknya di belakang rumah ke tepiannya pun sudah belasan tahun tidak pernah. Terakhir kalinya berenang disana mungkin sekitar dua puluh lima tahun yang lalu saat tepian sungai dikeruk untuk pembangunan tanggul banjir. Selama puluhan tahun ditanggul  banjir luapan sungai masih rutin meluber jauh hingga berkilometer jauhnya dari batang sungai. Perdu gelagah semakin menghutan disepanjang bantarannya menyulitkan langkah untuk mencapai sungai. Ikan dan udang pun kabarnya telah lama punah dari sana, pemancing yang kehilangan naungan rumpun bambu kini menebar racun serangga untuk menangkap satwa air. 

Dari perantauan saya membaca sebuah berita, kabarnya di pertengahan hulu sungai sedang dibangun sebuah bendungan. Kelak akan menjadi bendung penjinak amukan puluhan juta kubik air yang mengalir di Keureutoe. Kabarnya kelak air lumpur yang kini setiap tahun membanjiri dataran rendah Pasai akan ditahan di waduk besar itu sebelum dialirkan ke ribuan hektar persawahan padi melalui jaringan irigasi terbesar se pulau Sumatera. Alangkah indahnya rencana itu, membayangkan sawah-sawah dan lahan pertanian akan segera kembali menghijau dengan adanya waduk. Ketika sungai kami dijinakan maka akan selamatlah perkampungan dan pasar dari banjir tahunan yang merugikan harta benda. Kami orang kampung telah lama mengimpikan itu. 

Lupakan romansa kami dari puluhan tahun yang lalu, saat kami masih menjadi orang-orang kampung yang lugu. Masih memuja sungai itu sebagai inti kehidupan. Bahkan setahun sekali kami para bocah kerap menemukan sesajian dan kepala ayam dihanyutkan dari hulu dalam seludang pinang yang kami tidak tahu itu buat apa. Kini sungai itu masih menjadi sumber air kehidupan bagi seluruh wilayah Pasai, dari sungai itu air dipompa ke pengolahan air milik daerah. Disana para pekerja mengoperasikan mesin pengaduk air sungai keruh dengan tawas dan kaforit lalu disalurkan melalui pipa ke seluruh wilayah. Setiap kali kami menenggak air bertawas dari keran, kami seakan telah ditulikan dari suara sungai dibelakang rumah kami.

Meskipun sadar bahwa sungai itu masih menyokong segenap hidup kami, tetapi kami telah lama melupakannya.

Ilustrasi: Keureutoe dan Lhoksukon tempo dulu dari wikimedia. Pulas warna menggunakan colorize

Sort:  

Upvoted ☝ Have a great day!

Sungai yg terlupakan.. Sungguh sayang

Perubahan membuat kita seakan tidak lagi membutuhkan sesuatu yang dulu pernah menjadi tumpuan utama kehidupan kita @putrasp.. Terimakasih sudah mengunjungi blog saya..

Tulisan yg berkelas bg ayie.

Terimakasih @antonysteem apresiasinya.. Saya sedang mengenang tanah kelahiran lalu menuliskannya disini.. Terimakasih telah membacanya..

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63398.53
ETH 2660.51
USDT 1.00
SBD 2.77