Jakarta dan Balada di Ujung Senja.

in #indonesia6 years ago (edited)

Kau, serupa puisi kegaduhan yang mampir pada sepenggal pagi yang tidak ku sebut lagi harinya.
Terkadang kau tak menjelma serupa apapun,
Namun seringkali, kau menjelma menjadi nyanyian pilu diujung senja.

Dulu, waktu kecil, aku pernah punya cita-cita bisa mencicipi hidup di kota (yang katanya) metropolitan. Penasaran dengan gedung-gedung bagus nan tinggi yang seringkali muncul di layar televisi. Aku penasaran, sekaligus heran; mengapa (dulu, waktu saya masih kecil) banyak orang dewasa di desa saya yang sangat tergila-gila dengan kota itu? Ada apa disana? Benarkah kata orang-orang selama ini, yang menyebutnya sebagai; ladang emas?

image

Sumber: www.tribunnews.com

Benarkah Jakarta adalah magnet yang mampu menarik orang-orang dari desa-desa? Dari kota-kota kecil, yang memiliki pendapatan masih pas-pas~an? Hanya itukah alasannya?

Atau, mereka hanya tertarik dengan iming-iming kekayaan duniawi yang tiba-tiba, ketika tetangganya pulang dengan tampilan yang berbeda dari atas sampai bawah?

Atau karna iming-iming mobil mewah yang dibawa oleh tetangganya, belum lagi soal renovasi rumah yang langsung dilakukan ketika pulang ke kampung halaman, yang membuat tetangga kanan kirinya iri dengan hal-hal serba baru dari tetangganya.

Lalu, muncul-lah keinginan dari orang-orang yang menginginkan hal yang serupa. Padahal bisa jadi, mobil barunya adalah mobil yang baru saja masuk pada cicilan pertama dari belasan bahkan puluhan kali cicilan. Rumah barunya, mungkin juga pinjaman uang dari bank yang bunganya seabrek. Memang, tampilan bisa mengelabui siapa saja. Oh Tuhan!

Dan disinilah aku, sekarang. Pada sebuah tempat yang dulunya sangat aku inginkan; Jakarta.

Satu minggu di Jakarta aku serupa bagian dari kawanan robot, yang sudah tersistem sedemikian rupa dan terjadwal, sehingga pada jam-jam tertentu; seperti pagi hari, aku harus ikut berbaur dengan puluhan bahkan ratusan orang yang menunggu kereta dengan jadwal yang sama. Pun dengan pulangnya. Lalu begitu seterusnya setiap hari. Ah, tapi sebentar; mungkinkah ini cuma perasaanku saja?

Perasaan seorang anak, yang selama ini hidup bebas tak terikat suatu sistem yang mengharuskan aku datang dan pulang pada jam-jam yang sudah ditentukan. Maksudnya, dulu aku pengangguran, gitu. Hehe

Namun, semakin kesini, setelah aku menikmati dan seringkali menertawakan diri pada banyak kejadian, ada yang membuatku nyaman dengan Jakarta. Tentu saja bukan pada macet dan pengapnya Jakarta, yang setiap hari harus aku terobos.

Aku menemukan banyak hal-hal baru disini. Itu yang membuat ada ruang untuk rasa nyaman tersebut.

Kota yang kata sebagian orang penuh dengan atmosfer kekerasan, kejahatan, kegaduhan, sekaligus ia juga berperan sebagai pusat perekonomian. Begitu kata beberapa orang setelah aku beranjak dewasa. Bahkan sebagian dari mereka melepas dengan berat hati keputusanku.

Tapi semakin mereka melepas dengan berat hati dan tidak sedikit pula yang melarang, semakin kuat juga keinginan untuk harus ke Jakarta. Semakin penasaran kan kalau dibegitukan? 😄

Nah, sampailah pada kehidupan di kota yang suhu udaranya lebih panas dibanding dengan kota asalku yang notabene tidak jauh dari dataran tinggi. Sumpek, padat, cuek. Itu gambaran Jakarta versiku, pertama kali sampai.

image

Salah satu kemacetan di Jakarta.

Tak ada yang spesial dari hidup disini, selain kebebasan dan jauh dari mendengar gunjingan tetangga yang hampir setiap pagi menjadi aktifitas rutin para ibu-ibu rumah tangga, disela-sela aktifitas rumahnya. Biasanya sore hari. Tak jarang juga siang hari setelah semua aktifitas rumah tangganya selesai.

Tapi ada yang menarik bagiku, mataku seperti menangkap lukisan kesedihan, telingaku seperti berdengung saat nyanyian-nyanyian kepiluan seperti terdengar begitu nyata. Ketika aku mendapati sudut-sudut Jakarta yang dihuni bangunan-bangunan tak layak huni, dengan papan-papan seadanya, beratap seng, bahkan beberapa ada yang beratap bekas spanduk dan plastik. Inikah yang disebut kekerasan itu? Jakarta sekeras inikah, hingga gedung-gedung yang menjulang tinggi terkesan sangat angkuh berdiri ditengah-tengah kehidupan yang seperti itu? Lalu, pada setiap senja yang menyapa, aku selalu mendapati nyanyian-nyanyian serupa ditempat-tempat yang berbeda.

PhotoGridLite_1542323530290.jpg

Sumber: www.okezone.com

Jakarta itu keras, iya, sekeras perjuangan orang-orang yang berdiri dibawah teriknya matahari, ditengah-tengah kemacetan yang kadang membuatku merasa pusing, dan mereka tetap dengan senyum manisnya menjajakan dagangan tanpa lelah. Itu hanya salah satu, belum yang lain.

Aku kurang paham, ini bentuk dari romantisme Tuhan akan kehidupan yang warna-warni, atau nyanyian pilu atas ketimpangan yang sangat terasa, ketika lamat pernah saya dengar ada sebuah kalimat yang berbunyi begini; yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Oh, entahlah. Aku yakin ini hanya romantisme Tuhan. Yang membuat aku bisa bersyukur atas keadaanku sekarang. Atas kemudahan-kemudahan Tuhan saat ia mempermudah segala jalan yang kutempuh. Semoga begitupun dengan steemians semua, selalu dipermudah untuk segala urusan dan selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan kepada kita.

Salam hangat,

@yul14stuti

Sort:  

Hallo Kak @fityan, terimakasih sudah mampir. 😊

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.33
TRX 0.11
JST 0.031
BTC 67633.45
ETH 3775.76
USDT 1.00
SBD 3.70