Kita Ini Siapa?
Adakah ketika kita melihat lebah madu sama seperti Alien melihat kita dari dunia mereka? Kita dan lebah madu, sama-sama dilihat sebagai makhluk pekerja. Lantas, mengapa kita belum juga menghasilkan "madu" dari hasil kerja selama ini?
Satu pertanyaan, jika Alien ada kenapa mereka belum mau tinggal bersama kita? Sedangkan kita manusia bersedia berbagi tempat dengan lebah madu?
Jangan-jangan, itu karena kita manusia belum menjadi pekerja yang membawa hasil, seperti lebah yang menghasilkan madu.
Manusia sebagai pekerja baru mampu mengambil manfaat dari apa yang sudah dihasilkan makluk lain di alam raya. Tanpa hasil karya makluk lain sebelummya, manusia bisa jadi hanya seperti kera yang tinggal di hutan, tidur tanpa penerangan, dan belum mengenal pesawat terbang untuk berpergian.
Tapi itu tadi, manusia baru sebatas makluk pekerja yang bisa mengambil dari apa yang sudah dihasilkan, bahkan hingga menimbulkan kerusakan dimana-mana. Beruntung alam memiliki sistem daur ulang atas miliknya sendiri, sehingga apa yang sudah diambil oleh manusia akan kembali lagi kepada alam.
Barangkali hal ini kita baru memahami satu sisi bahwa alam semesta dibuat untuk manusia. Alam adalah tempat singgah sementara bagi manusia sebelum kembali lagi bersatu dengan alam untuk menuju ke kehidupan abadi.
Mumpung singgah sementara maka segenap yang ada diambil untuk mewujudkan kesenangan selama berada di dunia. Pandangan kepemilikan ini cenderung mengabaikan sudut pandang amanah, manusia sebagai penerima amanah untuk mengelola alam semesta untuk menjadi sebab kita beribadah kepadaNya.
Sudut pandang amanah inilah yang dapat menghantar manusia sebagai pekerja yang menghasilkan madu, sebagaimana lebah yang berhasil menghadirkan madu dari bersebab pekerjaan yang mereka lakukan secara bersama-sama.
Manusia, meski hidup terpisah-pisah, namun memiliki saraf cermin yang memungkinkan satu dengan lainnya terhubung oleh rasa empati. Tidak harus menjadi warga Amerika dahulu untuk bisa menerima bantuan kala tsunami melanda. Tidak harus menjadi kristen dulu untuk menerima bantuan mediasi dari Marti Ahtisaari yang tinggal di Finland.
Jadi, yang membuat kita terhubung bukan facebook, twitter, dan juga bukan Steemit tapi karena memang kita semua makhluk pada dasarnya satu yang oleh satu sebab terpisah dan dari waktu ke waktu akan kembali terhubung, bisa jadi lewat temuan teknologi, atau lewat sesuatu yang kita belum tahu. Jika kini satu transaksi dengan transaksi lainnya sudah bisa terhubung dalam satu rantai data, yang kini kita sebut blockchain, sehingga membuat kita saling terhubung dengan Steem di dalam ekosistem Steem maka dengan hadirnya Smart Media Tokens (SMTs) akan membuat kita seperti kerumunan lebah madu untuk saling menghasilkan.
Jika selama ini Alien belum mau hidup bersama kita karena kita baru bisa mengambil maka nanti Alien akan hadir bersama kita karena bersebab SMTs kita akan menghasilkan sesuatu yang baru. Apa itu? Jawabannya tergantung jawaban atas pertanyaan: Kita ini siapa?!
Sebuah pertanyaaan lebih lanjut dari siapakah saya?
Sumber free photos
https://unsplash.com
Saya komentar 1. Lebah madu sambil kerja sama membutuhkan waktu dan proses. Begitu pun dengan kita manusia. Benar kan bang rahman
Bisa jadi iya, bisa juga tidak
Abang sudah lupa diri ya? Haha
Paliss
Haha.. gak apa gak tau siapa diri. Yang penting tahu jalan pulang..
Bacalah setiap post yang dibuat sebab untuk membuatnya butuh energi dan pemikiran yang dalam.
Sudah waktunya hilangin komentar asal.
Macam mana kita komen?😁
Kita ini cuma manusia aja bang... Yang bagus kalau kita sadar bahwa kita bisa bukan hanya sekedar manusia yg seperti hewan... Tapi mau berusaha menjadi insan kamil... Yg benar membedakan kita dengan makluk Allah lainnya, sebagai makhluk ciptaan tersempurna. Kalau nggak pun ya nggak apa, semua pilihan... Bebas saja...
Jika kita insan kamil, sudahkah tercapai? Siapa lebih bahagia nenek moyang kita yang berburu dengan tombaknya, menukar dengan hasil jerihnya atau kita saat ini dengan segenap kecanggihannya? Siapa lebih bahagia?
Untuk menjadi insan kamil tentunya tidak terbatas dulu atau sekarang, bang, dan untuk tahu tercapai atau tidaknya, silahkan bertanya pada diri kita sendiri. Jika soal kebahagiaan, maka ini patut dipertanyakan karena bahagia itu tidak bisa diukur oleh uang ataupun segala kecanggihan teknologi. Percuma segala pendidikan dan kecanggihan teknologi jika tidak bisa bahagia, dan lebih baik jadi orang indigenous saja seperti masyarakat Baduy di Banten yang tak sekolah, belajar dari alam, hidup ala kadarnya dan tak mau tersentuh teknologi masa kini, mereka jauh lebih bahagia, tanpa stress, bisa hidup rukun damai, makanan terus tersedia karena teknologi primitiff mereka yang menjaga lingkungan dan pola manajemen komunitasnya, di mana ladang sawah itu milik bersama, diatur siapa yang gantian kelola dan semua bgai-bagi hasil. Uang tidak penting bagi mereka, mereka sadar penuh hidup dan bahagia bukan karena uang. Nah sementara kita yang sudah mengecap pendidikan dan menggunakan teknologi, malah seperti orang miskin banget dan tidak bahagia, karena jangankan untuk berbagi dan memberi, untuk mau saja bahagia karena kesuksesan orang lain susahnya minta ampun. Anyway, paling senang kalau abang sudah mulai berdiskusi seperti ini... ada kawan... wkwkwkwk...
Ini karena kita terjebak dalam apa yang disebut "Tragedy of the Commons". Inilah bencana kerjasama yang membuat hilangnya kebahagian.
Untuk itulah kita belajar kepada alam yang telah mengevolusi metode mereka yang kini disebut Swarm Intelligence.
Ini sangat bermanfaat kanda. Itulah dinamakan kehidupan lika liku perjalanan mendaki dan turun. Susah dan senang semua nya bersamaan.
Semoga dengan artikel ini semua kita stwwmian indonesia lebih berpikir masa depan untuk menghisap madu asli. Haha
Sudah saya upvote dan resteem sebagai witne sesama steemian indonesia.
Intinya apa sih?
Jawaban atas pertanyaan ini, secara teori yang paling ideal adalah:
Kita adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, diberkahi akal pikiran dan hawa nafsu. Sehingga menjadi makhluk paling dinamis, dengan berbagai pola pikir,yang bisa saja berbeda antara satu dgn lainnya.
Kita adalah makhluk paling mulia, khalifah di bumi.
Etapi... Pada prakteknya?
Sudahkah khalifah di bumi ini telah menjalankan perannya dengan baik? Sudahkah dia bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya? Sdhkah dia menjadi pekerja yang menghasilkan 'madu'?
Jawabannya?
Terpulang lagi ke masing-masing jawaban dari siapa kita.
Gimana donk ini, Bang? Malah jadi diakhiri dengan tanya dan ga menjawab pertanyaan abang donk? 😊
Inilah bahayanya, keputusan pada diri sendiri, padahal alam mengajarkan ke kita pentingnya keputusan bersama berdasarkan informasi yang dibawa oleh individu.
Belajar pada lebah madu dalam menghasilkan keputusan.
Hivemind!
Yes, jawabannya adalah pendekatan hivemind. Pikiran (informasi) yang satu dengan informasi yang lain harus menghasilkan keputusan bersama.
Bayangkan, lebah madu untuk menghasilkan keputusan memerlukan 300 hingga 500 informasi dari pencari data kredibel.
Jadi sudah saatnya kita mendayagunakan pengetahuan, opini dan minat individu untuk kepentingan bersama.
Intinya, sudah saatnya komunitas online mendayagunakan kekuatan pintar bersamanya untuk meraih kebahagiaan.
Dari awal memang harus sudah berjalan, Bang. Karena kepentingan bersama lebih indah ketimbang hanya bergerak seorang diri. Tak salah memang sendirian, tapi lebih berwarna pabila ramai dan bersatu.
Dimulai dri detik ini, semua harus bersatu dan harus memikirkan secra bersama!
Kita ini jelmaan lebah madu😄