Biarkan Anak Indonesia Menulis
Salah satu masalah yang paling sering menjadi kendala anak Indonesia ketika sekolah di luar negeri atau ketika harus berhadapan dalam kompetisi dalam karya adalah menulis. Bukan berarti kemudian kalah atau bodoh, tetapi karena tidak mampu menulis dengan baik dan benar, maka seringkali pada akhirnya tidak mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang sepatutnya. Apalagi jika kemudian harus presentasi dan mempertanggungjawabkan semua hasil karya, riset dan penilitian, untuk menjawab pertanyaan essay pun banyak yang kebingungan. Padahal, semuanya pintar, rajin membaca, dan memiliki karya serta pemikiran yang luar biasa. Sayang, kan?!
Setiap hari anak-anak saya dan teman-temannya boleh menulis dan menggambar di rumah. Mereka bermain dengan tulisan dan warna-warni sejak kecil, dan sekarang di usia belia, menulis dan gambar menjadi kebutuhan mereka seperti makan dan minum.
Banyak orang tua dan guru di Indonesia kurang menyadari betapa pentingnya mengajarkan anak menulis. Bukan kemudian mengajarkan mereka untuk menjadi seorang penulis yang hebat, tetapi cukup mengajarkan mereka untuk mampu mengeluarkan isi hati, pendapat, serta menuangkan imajinasi mereka ke dalam bentuk tulisan. Hal ini akan sangat membantu anak untuk bisa menjadi seimbang penggunaan otak kiri dan kanan, sekaligus mengasah hati dan kepekaan mereka. Apalagi jika anak yang bermasalah dan introvet, menulis akan sangat membantu mereka dapat menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri.
Bukan hanya itu saja, menulis juga sebenarnya mengajarkan anak untuk memiliki struktur dan pola dalam berpikir yang lebih teratur, sehingga kemudian tanpa disadari akan berpengaruh pada kehidupannya sehari-hari. Nampak jelas ketika pada usaha di dalam menyelesaikan masalah, biasanya anak yang sudah terbiasa menulis dengan baik akan bisa menelaan masalah dari awal dan dasarnya lalu kemudian mencari penyelesaiannya, bahkan bisa membayangkan bagaimana efek dari penyelesaian itu kemudian.
Tulisan memang jelas membeberkan fakta dan kenyataan tentang diri kita yang sebenarnya, mulai dari pemilihan kata hingga cara menulis itu sudah jelas. Tulisan semrawut menunjukkan bagaimana kesemrawutan penulisnya di dalam berpikir dan bertindah, tulisan yang penuh dengan marah, dengki, dan kebencian, juga menunjukkan bagaimana isi hati dna pemikiran orang tersebut sesungguhnya. Tulisan yang isinya menunjukkan diri sepertinya sangat baik dan malaikat banget juga justru menunjukkan bagaimana orang tersebut, belum tentu sama seperti yang dituliskannya itu, kebanyakan malah kebalikannya, tergantung dari kata dan cara menulisnya, ketahuan semua, kok!
Anak-anak di negeri Barat, sudah terbiasa menulis sejak kecil. Anak-anak di sekolah dasar hingga kuliah, terus diajarkan untuk menulis. Mereka dibiasakan menulis sejak kecil, bahkan di sekolah dasar, menulis dan menggambar adalah seperti harus dilakukan setiap hari di sekolah. Bukan hafalan ataupun dipaksakan untuk menjadi tahu segalanya, tetapi justru diupayakan untuk mengeluarkan dan mengembangkan apa yang dimiliki oleh setiap anak agar bisa benar maksimal digunakan dan dikembangkan. Tak heran bila mereka kemudian sangat terbiasa membaca, menulis, dan tidak takut untuk mengeluarkan pendapat dan berkembang, serta berani menjadi diri mereka sendiri. Inilah yang kemudian membuat mereka menang dalam banyak hal.
Saya seringkali menemukan anak yang bahkan sudah kuliah di tingkat akhir pun masih kesulitan di dalam menulis. Herannya, ketika saya meminta hasil dari semua tulisan yang diwajibkan di kuliah, isinya adalah “copas” dari tulisan karya orang yang hebat dan terkenal. Bisa dikatakan, tulisan yang dibuat adalah hanyalah kumpulan dari pemikiran orang-orang yang kemudian dijadikan satu agar nampak hebat dan baik, herannya itu juga yang mendapatkan nilai dari guru mereka. Kalau saya yang menjadi dosen dan diberikan seperti itu, langsung saya berikan nilai yang sangat rendah. Yang dibutuhkan adalah pemikiran diri sendiri, bukan orang lain, pemikiran orang lain hanya sebagai latar belakang dan penguat saja, bukan kemudian itu yang dikedepankan. Terutama lagi dalam hal penemuan dan pemecahan masalah, kalau pakai pemikiran orang lain terus, untuk apa capek-capek dan buang uang untuk sekolah?! Jadi tukang copas dan plagiat saja cukup. Galak, ya?! Hehehe….
Banyak juga anak yang kemudian berhenti menulis dan berkarya, kehilangan motivasi karena tidak didukung dan diapresiasi oleh orang tua. Mereka biasa suka coret-coret dan menulis di mana-mana, kertas dirobek, lalu disimpan sembarangan sehingga nampaknya seperti sampah. Nah, orang tua lalu marah dan membuang apa yang sudah mereka buat itu, pakai terus lagi ngomel tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya sudah dilakukan anaknya dan betapa penting serta berartinya karya yang sudah dibuat itu bagi mereka. Pokoknya maunya bersih, beres, nggak suka kotor dan berantakan, mematikan imajinasi dan membuat anak takut serta rendah diri dalam berkaryanya tidak diperhatikan. Yah, kalau anaknya jadi masalah kemudian, tidak juga mau disalahkan, kan?! Anak terus yang salah! Soal berantakan, tinggal diajarkan saja bagaimana menyimpan karya mereka dengan baik di dalam map atau di dalam dus pribadi mereka. Capek, ya namanya orang tua, harus sabar dan konsisten jika ingin anaknya menjadi yang terbaik.
Saya sendiri sempat lama berhenti menggambar karena saya merasa tidak diapresiasi malah dimarahi melulu. Memang saya suka sekali menggambar di dinding dan lantai, menghiasi kamar saya sendiri dengan gambar-gambar yang saya buat. Lalu, terus saja dihapus lagi, dicat lagi, dianggap kotor dan jelek. Rasanya jengkel sekali! Pernah juga saya membakar semua tulisan dan buku harian saya, sebuah protes karena buku harian saya dibaca dan ditertawakan begitu saja. Sungguh membuat saya malu dan sekaligus sangat marah karena mereka langsung menuduh tanpa pernah bertanya apa isi tulisan saya sebenarnya. Untung saya keras pada keinginan dan terus fokus pada cita-cita sebagai penulis dan pendidik, apapun yang terjadi tidak mengubah pendirian, tetapi berapa banyak yang kemudian gagal melakukannya?!
Membaca itu penting tetapi menulis juga sangat penting. Orang bisa membaca tetapi sulit mengerti arti dan makna yang sesungguhnya dari tulisan, karena tidak terbiasa menulis. Hasilnya, tulisan apapun diterima “plek-plek” begitu saja tanpa diolah dan dipikirkan lebih lanjut, dan inilah yang kemudian digunakan sebagai cara paling mudah melakukan pembodohan di dunia ini. Sudah malas belajar, maunya instant, keras kepala, sombong, tidak juga mau belajar untuk mengerti arti dan makna kata dan tulisan dengan belajar menulis. Senang pula dengan intrik dan berintrik serta menghalalkan segala cara. Kacau sudah, kapan mau majunya negeri kita ini?! Baru tahu sedikit pun sudah seperti tahu segalanya, giliran menulis pun yang diprioritaskan uang dan eksistensinya melulu. Aduh, duh!!!
Kemarin malam saya berbincang dengan seorang dokter dari BNN, dan bertanya apakah benar anak dari kelurga “broken home” yang paling banyak menjadi pecandu narkoba? Jawabnya, tidak, justru dari keluarga yang terlalu ingin anaknya sempurna sesuai dengan keinginan orang tua, orang tua yang terlalu memaksakan kehendak, orang tua yang tidak membiarkan anak mandiri dan terlalu memanjakan anak, serta orang tua yang tidak konsisten antara ucapan dan perilakulah yang paling banyak menghasilkan anak pecandu narkoba. Anak-anak tersebut menjadi pengguna karena pelarian, pemberontakan, dan karena tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan masalah. Anak-anak ini kehilangan jati diri dan percaya dirinya, sehingga sangat mudah sekali terjerumus oleh lingkungan dan budaya yang menghancurkan. Nah, loh!!!
Yuk, ajarkanlah anak Indonesia menulis. Biarkanlah perputakaan rumah dan sekolah serta di mana-mana dipenuhi dengan karya mereka. Walaupun hanya di kertas dan coret-coret, bukan buku yang dicetak mahal di penerbit, tetapi akan sangat berarti sekali bagi mereka dan masa depan. Bantulah mereka untuk dapat berkembang, menemukan diri mereka sendiri, dan percaya diri. Latih mereka juga untuk sabar, konsisten, dan terus mau belajar sebab ini adalah kunci penting di dalam menulis. Biarkan mereka menikmati proses, hargai setiap langkah dalam proses itu. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada, bantulah mereka, bantulah anak Indonesia! Berikan mereka masa depan yang cerah dan gemilang!
Bandung, 4 Februari 2018
Salam hangat selalu,
Mariska Lubis
Sangat menginspirasi buk curator...😉
terima kasih...
Iya Kak. Hal ini banyak terjadi di Indonesia. Apalagi masalah baca dan tulis. Rasanya kita tak pernah ada kesempatan untuk mengatakan kepada guru kita misalnya, bahwa kita suka 'ini'bukan 'itu'. Seiring waktu, akhirnya bagi sebagian anak atau orang dewasa putus asa lantaran tidak mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.
Saya sendiri termasuk orang yang beruntung karena suka menulis dan membaca. Meskipun secara sadar saya mengatakan bahwa, dunia tulis menulis bagi saya tak sama dengan teman-teman lain yang sudah suka hal itu sejak dibangku SD malah. Saya suka dunia literasi baru-baru ini saja, sekitar 2009. Setelah saya pelajari, saya menemukan pencerahan bagi diri saya sendiri yakni, kira bisa jadi apa saja jika kita fokus. Terbukti, dari 2009 itu saya merasakan banyak sekali dampak perubahan dari cara penulisan saya.
Salam hangat.
Perubahan besar pasti terjadi ketika kita masuk ke dalam dunia tulis menulis dan membaca, kan?! Itulah gunanya menulis dan membaca ya...
Iya benar kak Masriska. Asal jangan pantang menyerah!!!
Iya kak mariska , memang dari sejak dini anak anak perlu dilatih dalam bidang tulis menulis, membaca bahkan saya sejak anak kelas satu sekolah dasar sudah saya latih menghafal alquran. @mariska.lubis
ajarkan anak untuk terus berkembang ya... biarkan anak bukan hanya menghafal Al Quran tetapi benar mengerti dan mempraktekkannya...
Insyaallah mtq tingkat peopinsi juara 1 untuk 5jus @Mariska.lubis
Sedikit tambahan mbak @mariska.lubis
Sebenar nya sekarang dengan adanya UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, semakin memperluas kesempatan anak2 untuk membaca dan menulis, dapat dilihat juga dari program prioritas desa utk tahun 2018, salah satu nya membuat taman baca setiap desa. Jadi seluruh anak2 desa juga dapat berpartisipasi aktif di dalamnya. Dan harapan kita semua bahwa semua elemen masyarakat terutama orang tua anak sendiri yang lebih giat untuk mendorong anak2 nya. Salam...
Sedikit sebaiknya ditambahkan juga, bukan hanya disediakan tempat untuk membaca tetapi juga tempat untuk belajar menulis agar perpustakaan itu terisi tulisan orang-orang desa itu sendiri terutama anak-anak. Salam hangat selalu.
Masukan nya menarik mbak @mariska.lubis
Saya juga bagian orang yang terlibat dalam program pendampingan desa, masukan ini dapat saya sampaikan kepada elemen berpengaruh di desa terkait masukan ini. Terimakasih mbak.
Salam yang selalu hangat.
saya sudah lama terlibat dan awalnya karena sedih juga anak diberikan bacaan tetapi tidak paham apa yang mereka baca dan tak ada pendampingan yang membantu mereka mengerti, itu bisa menjadi kesalahan besar, karena salah membaca maka bisa salah juga dalam berpikir. Lagipula, menunggu buku kiriman dan sumbangan itu sangat membuat kesal, jadi kenapa tidak membuat mereka belajar menulis? Menulis juga membuat perbedaan "status sosial" itu hilang dan menumbuhkan rasa percaya diri, dan bagusnya lagi mendidik semua untuk berkarya tanpa berharap bantuan terlebih dahulu. Memanusiakan manusia dengan mengajarkan mereka menulis, hasilnya akan sangat dahsyat.... selamat mencoba!
Betul itu mbak... Hari ini masalah terbesar dunia anak adalah tak ada para pembimbing secara merata yang membuat mereka antusias dalam belajar menulis...
Semoga dengan adanya UU Nomor 6 tahun 2014 itu dapat menyadarkan desa (perangkat) utk hal yang mendukung anak dalam membaca dan menulis, serta mendatangkan para pembimbing yang menarik.
Terimakasih untuk saran dan masukannya mbak..
Pasti saya coba aplikasikan ke desa2..
Salam yang selalu hangat...
Semoga anak indonesia dari sabang sampai meroke bisa menulis dan berkarya untuk negeri kita tercinta..
Amin yra.
Saudari @Mariska.lubis benar adanya bahwa dengan sering kita menulis maka mudah bagikita untuk mengutarakan imajinasi lewat tulisan.
Setuju....
Suatu pekerjaan apapun pada awalnya sangat sulit dilakukan, tetapi kalau dibiasakan pekerjaan apapun yang akan kita lakukan akan terasa sangat mudah.
Setuju banget!
Ulasan yang menarik Bu @mariska.lubis. Memang dalam kenyataannya lembaga pendidikan kita belum maksimal menciptakan kondisi guna melahirkan penulis-penilis handal. Dalam beberapa kasus, para siswa cenderung dipaksa menghafal teori begana begini. Sebab standar kecerdasan anak masih diukur dari penguasan teori-teori tertentu, sementara kemampuan mereka untuk menulis sebagai salah satu saluran bagi mereka untuk berbagi pengetahuan justru terabaikan. Jadi sudah saatnya menciptakan kondisi baik di rumah maupun di sekolah agar menulis tidak hanya menjadi keahlian, tetapi juga kegemaran.
malah lembaga pendidikanlah yang saat ini paling merusak anak dan masa depan... sudah waktunya berubah...
Mau dong jadi anak nya hehe..
sudah kebanyakan ah hahaha....
Tulisan Nyak (sejenis wawak-wawak) the best, menginspirasi sekali...
Semoga suatu saat nanti, ketika aku punya anak satu, dua, atau bahkan lebih, mudah-mudahan aku masih ingat sama tulisan Nyak yang ini.
Salam...
ingat-ingat teruslah... hehehe... salam hangat...