The Angel of The Blue Sky | Bidadari Langit Biru | Short Story

in #short-story7 years ago (edited)

Cerpen @ayijufridar |

KESUNYIAN terasa mengurungku begitu memasuki Terminal-3 bandara Soekarno-Hatta untuk check in. Tak manusia satu orang pun kecuali para petugas yang berdiri dengan wajah bosan. Dalam ruangan yang panjang dan luas itu, aku tidak menemukan satu penumpang pun. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak pernah kusaksikan sama sekali. Aku tak mampu mengingat dengan pasti, tetapi tanpa sedikit pun keraguan bisa kukatakan bahwa lebih dari 100 kali aku terbang melalui bandara Soekarno-Hatta. Tapi baru kali ini suasananya begitu sunyi seperti di kuburan!

Meskipun sudah melihat jam beberapa kali sepanjang perjalanan dari hotel ke bandara, aku mengangkat tangan kiri dan melihat sekali lagi jarum-jarum yang bergerak dalam arloji Expedition Adventure hitamku. Memang masih ada hampir dua jam lagi sebelum waktu keberangkatan. Tetapi, jarum arlojiku sudah kusetel melebihi 20 menit dari waktu normal. Jadi, saat ini seharusnya sedang ramai-ramainya penumpang check in atau berjalan penuh kesibukan menuju gerbang keberangkatan atau antre di depan loket pembayaran pajak bandara.

Aku memastikan untuk kesekian kalinya tanggal hari ini. Tak cukup dengan tanggal di dalam arloji yang bisa saja keliru jika aku lupa memperbaharuinya saat pergantian bulan, aku juga melirik tanggal di dalam dua telepon selular yang berada di genggaman setelah melewati sinar X-ray tadi. Ketika aku tidak menemukan ada yang salah, sambil mengambil kembali koper aku berkata kepada petugas bandara; “Sepi sekali, Pak…”

Petugas berpakaian biru adalah seorang lelaki dengan perut buncit dan kepala sedikit botak. Dia hanya menoleh sepintas seolah baru sadar aku bicara dengannya. Padahal, tidak ada penumpang lain selain aku. Dan temannya yang sedang duduk di belakang layar komputer itu sedang menatap serius ke arah layar seolah sedang meneliti barang mencurigakan yang terdeteksi. Padahal tidak ada satu barang pun yang memasuki lorong pemindai. Aku adalah penumpang yang terakhir, barangkali….

Tadinya aku berharap mendapatkan sebuah keterangan yang menjawab keherananku ini. Mengapa bandara sebegitu sunyinya. Namun karena lelaki tidak tidak menunjukkan sikap ramah, aku kehilangan selera untuk berbicara lebih jauh. Segera setelah gagang koper kutarik keluar, aku bergegas menuju counter Garuda. Seorang gadis berkulit pucat dan rambut panjang duduk di belakang meja. Seorang lelaki muda yang mengurus barang bagasi penumpang, berada di sebelahnya. Mereka hanya diam saja. Tidak bercakap-cakap meskipun tidak ada orang lain di tempat itu.

Mengapa mereka tidak membunuh kesunyian dengan bercakap-cakap?

“Medan…” kataku sembari menunjukkan tiket elektronik di layar telepon selular. Sebenarnya tidak perlu menyebutkan daerah tujuan karena dari kode penerbangan pun ia sudah tahu. Counter yang buka pun hanya satu itu, selebihnya hanya meja kosong yang dingin, dengan satu dua petugas yang juga berwajah dingin.

“Kok sepi, Mbak?”

Gadis berpakaian serba biru itu hanya mengangguk sambil terus memproses tiketku. Matanya tak lepas dari layar komputer seolah ia tidak ingin membuat kesalahan satu huruf pun. Setelah ia mengembalikan tiket dan menyerahkan boarding pass, aku kembali berharap ia bisa memberikan penjelasan panjang lebar. Kalau petugas bandara di bagian keamanan punya alasan bersikap tak ramah untuk memberi kesan berwibawa (kendati sesungguhnya terlihat menyebalkan), aku tak bisa memaafkan cewek ini jika ia juga bersikap sama. Dia harus selalu penuh senyum agar penumpang betah sehingga maskapai tempatnya bekerja selalu menjadi pilihan penumpang. Dia tidak boleh dingin seperti itu, kendati udara di luar dingin akibat hujan turun sejak subuh tadi dan ditambah pendingin udara dalam ruangan ini yang membuat tubuh menggigil.

“Mana penumpang lain, Mbak?”

Aku sudah siap dengan semprotanku bila dia tidak menjawab. Aku akan mengingatkannya untuk lebih ramah terhadap penumpang jika tidak ingin kulaporkan kepada manajernya atau menuliskan pelayanannya yang buruk di surat pembaca koran nasional. Entah karena bisa membaca isi hatiku, dia akhirnya menjawab dengan ramah.

“Penumpang lain sudah masuk. Di ruang D-14, ya…?” kali ini ada senyum tipis di bibirnya. Kendati sebegitu tipisnya sehingga nyaris tak terlihat, aku menilainya sudah cukup daripada ia harus berpura-pura tersenyum lebar. Barangkali ia memang karakter manusia selalu tersenyum tipis tetapi tulus. Bagiku, karakter seperti ini lebih menarik daripada kepura-puraan.


Gadis itu memang tidak bohong. Aku melihat banyak penumpang lain sudah menunggu dalam ruang D-14. Mereka duduk di kursi warna merah. Mendengarkan musik dari earphone, membaca, atau sekadar melamun. Biasanya, yang sering kujumpai adalah penumpang yang berbincang dengan teman di sebelahnya. Tetapi kali ini hampir tak yang yang bersuara. Mungkin penumpang pesawat di Indonesia sudah terpengaruh penumpang Shinkanzen di Jepang yang hanya diam atau membaca sepanjang perjalanan.

Aku mengambil tempat duduk di sebelah seorang gadis cantik. Bukan sengaja aku mengambil kursi di samping cewek, tetapi hanya di tempat itulah yang kosong. Kalau bidadari itu duduk di sebelahku saat pesawat mengangkasa di langit biru nanti, tentu sebuah keberuntungan bagiku. Dia memiliki hidung yang indah, alis yang melengkung tajam dan bibir kemerahan kendati tanpa sentuhan lipstik. Jangankan dua jam, dua abad berada di angkasa dengan gadis seperti takkan membuatku bosan. Aku ingin berbasa-basi, tetapi melihat ia begitu tenggelam dalam lamunannya, aku tidak berani mengganggu.

Aku membuka ransel dan mengambil sebuah surat kabar yang tadi kuambil di lobi hotel. Sebuah berita pesawat hilang kontak jadi berita utama di halaman depan. Di berita kaki, ada sebuah feature tentang keluarga seorang penumpang. Aku tidak membaca kedua berita tersebut karena takut akan memberi pengaruh psikologis. Bahkan judulnya saja hanya kulirik sepintas. Aku lebih senang membaca berita olahraga, terutama sepakbola.

Tak berapa lama menunggu, kami sudah mendapat panggilan untuk segera memasuki pesawat melalui garbarata.
Pramugari pesawat Garuda yang kutumpangi adalah para perempuan muda dengan seragam serba biru dan oranye. Mereka sangat ramah dan aku tahu itu bagian dari pelayanan. Kabarnya mereka beberapa kali mendapatkan penghargaan sebagai awak kabin terbaik dunia.

Di sebelahku duduk seorang perempuan. Setelah duduk di sebelahnya, aku mencoba berbasa-basi dengan menanyakan tujuannya. Pertanyaan itu kusesali detik berikutnya ketika ia tidak menjawab. Hanya melirikku sepintas sebelum duduk dengan dingin di sebelahku. Aku tak tersinggung dengan responnya karena ini memang salahku sendiri melontarkan pertanyaan bodoh. Jelaslah tujuannya ke Medan karena pesawat ini memang menuju ke sana. Tak mungkin ia turun di Aceh, Riau, atau Palembang.

Ketika pesawat mulai take off, aku mulai sadar ternyata pramugarinya tidak menjelaskan prosedur keselamatan seperti biasanya. Layar monitor di depanku tidak menayangkan apa pun, bahkan tidak menyala sama sekali. Kendati aku sendiri sudah paham, dan mungkin seluruh penumpang pesawat ini paham, tapi penjelasan kepada penumpang merupakan standar penerbangan komersial yang wajib dipatuhi.

Maskapai ini sudah melanggar. Tapi kulihat tak ada satu penumpang pun yang protes atau menunjukkan sikap tak setuju. Kulihat cewek di sampingku tetap duduk menatap ke depan dengan sikap dingin. Beberapa penumpang di sebelahnya lagi juga memperlihat air muka yang sama. Aku tersadar kembali bahwa sejak dari ruang tunggu sampai pesawat sudah mengudara, tak ada penumpang yang saling bercakap.

Ini tak lazim. Ada yang aneh!

Huh! Biar pun seluruh penumpang pesawat ini bidadari dan aku sendiri yang cowok, tetap tak ada nyamannya bila seluruhnya adalah patung yang tak bersuara seperti yang ada di sekitarku.

Aku membuka surat kabar itu dan kali ini membaca lebih teliti berita di halaman satu. Saat itulah aku baru sadar bahwa pesawat yang dinyatakan hilang tersebut sama persis dengan maskapai yang kutumpangi sekarang. Aku membaca lead berita tersebut; Pesawat dengan nomor penerbangan GA-182 kehilangan kontak dalam penerbangan dari Jakarta menuju Medan. Hingga tadi malam belum ada kabar tentang keberadaan pesawat itu dan kondisi 320 penumpangnya.

GA-182?

Aku buru-buru mengambil tiket di saku kemeja dan kaget melihat nomor penerbangan itulah yang tertera di sana. Aku buru-buru melihat cewek di sampingku untuk mengabarkan masalah ini. Kulihat wajah cewek itu pucat dengan air muka yang tetap dingin. Saat itulah aku tersadar bahwa foto cewek itu ada dalam feature tentang keluarga korban di bagian bawah koran. Foto setengah badan itu merupakan dokumen keluarga yang diambil jurnalis. Begitulah kredit titel foto yang kubaca di sudut kanan bawah. Mama dari cewek itu mengatakan baru kali ini anaknya terbang sendiri ke Medan karena diterima di Fakultas Kedokteran USU Medan. “Kami berharap anak saya dan seluruh penumpang lain selamat. Kami masih menunggu kabar dari maskapai penerbangan…” kata ibu itu kepada wartawan.***


The Angel of The Blue Sky
Short story by @ayijufridar

GUNNY felt like locking me up as I entered Terminal-3 of Soekarno-Hatta Jakarta airport to check in. No human person except the officers standing with bored faces. In that long and spacious room, I did not find a single passenger. What a sight I never witnessed at all. I can not remember with certainty, but without a shadow of a doubt I can say that more than 100 times I flew through the Soekarno-Hatta airport. But this was the first time it was so quiet as in a grave!

Though I'd seen the clock several times all the way from the hotel to the airport, I raised my left hand and saw once more the needles moving in my black Expedition Adventure watch. It's still almost two hours before the time of departure. However, my watch needle has been set more than 20 minutes from normal time. So, nowadays it should be busy passengers check in or walk full of busy to the gate of departure or line up in front of the airport tax payment booth.

I made sure for the umpteenth time today's date. Not enough with a date inside a watch that could be wrong if I forgot to update it during the turn of the month, I also glanced at the date inside the two mobile phones that were in hand after passing through the X-ray beam. When I did not find anything wrong, while retrieving my suitcase I told the airport officer; "Very quiet, sir ..."

The clerk dressed in blue was a man with a bulging belly and a slightly bald head. She just glanced at me as if realizing I was talking to her. In fact, there are no passengers other than me. And his friend sitting behind the computer screen was staring intently at the screen as if he were researching a suspicious item that was detected. Though there is not a single item that enters the scanner aisle. I am the last passenger, perhaps ....

I was hoping to get an explanation that answered my astonishment. Why the airport is so quiet. But because the man does not show no friendly attitude, I lose my appetite to talk further. As soon as the suitcase I pulled out, I hurried to the Garuda counter. A pale-skinned girl and long hair sat behind a desk. A young man taking care of the luggage of passengers, was next to him. They just keep quiet. No conversation even though there was no one else in the place.

Why do not they kill the silence by talking?

"Medan ..." I said while showing the electronic ticket on the mobile phone screen. Actually no need to mention the destination because of the flight code he already knew. The counters are open only one, the rest is just a cold empty table, with one two officers who are also cold-faced.

"How quiet, Ma'am?"

The dressed-in blue girl just nodded as she proceeded to process my ticket. Her eyes did not come off the computer screen as if she did not want to make a single letter error. After he returned the ticket and handed over the boarding pass, I again wished he could provide a lengthy explanation. If the airport officer in the security department has a reason to be unfriendly to give the impression of authoritative (though actually looks annoying), I can not forgive this girl if she also behaves the same. He must always be full of smile for the passengers to feel comfortable so that the airline he works in is always a passenger's choice. He should not be cold like that, although the cold outside air from the rain since dawn and plus the air conditioner in this room that makes the body shiver.

"Where's another passenger?"

I was ready with my spray if he did not answer. I would remind her to be more passionate about the passengers if I did not want to report to her manager or write her bad service in the national newspaper reader. Whether I can read my heart's content, he finally responds kindly.

"Another passenger has entered. In room D-14, please ...? "This time there was a thin smile on her lips. Though so slim that it was barely visible, I judged it was enough than he had to pretend to smile broadly. Perhaps he is a human character always smile thin but sincere. To me, this kind of character is more interesting than pretense.


The girl was not lying. I saw many other passengers already waiting in the D-14 room. They sat in red chairs. Listening to music from earphones, reading, or just daydreaming. Usually, what I often encounter is a passenger who is talking to a friend next to him. But this time it was hardly the voices. Perhaps the passengers of the aircraft in Indonesia have been affected by Shinkanzen passengers in Japan who are just silent or read along the way.

I took a seat next to a beautiful girl. I accidentally took a chair next to a girl, but only where that was empty. If the angel sat next to me as the plane was in the blue sky, it would be a lucky thing for me. He has a beautiful nose, sharply curved eyebrows and reddish lips despite a touch of lipstick. Let not two hours, two centuries in the sky with girls like will not bore me. I wanted to make small talk, but to see him so engrossed in his daydream, I did not dare to interrupt.

I opened my backpack and picked up a newspaper I had picked up in the hotel lobby. A news plane lost contact so headlines on the front page. In the foot news, there is a feature about the family of a passenger. I did not read the two stories for fear of psychological influences. Even the title just glanced at me. I prefer to read sports news, especially football.

Not long wait, we have got a call to immediately enter the plane through garbarata.

My flight attendant Garuda is a young woman in blue and orange uniform. They are very friendly and I know that's part of the ministry. Reportedly they are several times awarded as the world's best cabin crew.

Beside me sat a woman. After sitting next to her, I tried to make small talk by asking her purpose. The question I regretted the next second when he did not answer. Just glance at me before sitting coolly next to me. I'm not offended by the response because it's my own fault of asking stupid questions. Obviously his destination to Medan because the plane is indeed headed there. He could not have come down in Aceh, Riau, or Palembang.

As the plane began to take off, I began to realize that the pramanas did not explain the usual safety procedures. The monitor screen in front of me was not showing anything, not even lighting up at all. Although I myself have understood, and probably all passengers of this plane understand, but the explanation to the passenger is a standard commercial flight that must be obeyed.

The airline is already in violation. But I noticed there was not a single passenger who protested or showed disagreement. I saw the girl next to me still sitting staring forward coldly. Some of the passengers beside him again also saw the same expression. I realized again that from the waiting room until the plane was on air, no passengers were talking to each other.
This is unusual. There is something strange!

Huh! Even though all the passengers of this plane nymph and I own a guy, still no comfort if the whole is a silent statue like the one around me.

I opened the newspaper and this time read more thoroughly on page one. It was then that I realized that the missing aircraft was exactly the same as the airline I was traveling to. I read the leads of the news; Aircraft with flight number GA-182 lost contact in flight from Jakarta to Medan. Until last night there was no word about the existence of the plane and the condition 320 passengers.

GA-182?

I hurriedly picked up the ticket in my shirt pocket and was surprised to see the flight number listed there. I hurriedly saw the girl next to me to share the matter. I noticed that the girl's face was pale with an expression that remained cold. That's when I realized that the girl's photo was in a feature about the victim's family at the bottom of the paper. The half-body photo is a family document taken by journalists. That's the credit of the photo title I read in the bottom right corner. Mama from the girl said that this time his son flew alone to Medan because he was accepted at the Faculty of Medicine USU Medan. "We hope my son and all other passengers survived. We are still waiting for news from the airlines ... " the mother told to the reporters. ***

BLB@ayijufridar.jpg

Sort:  

Sangat indah bg, sungguh sangat luar biasa, bisa menceritakan dan menulis tiap detilnya, dan tidak semua penulis dapat menggambarkan nya dengan hidup. Tapi cerita ini, biarpun singkat. Ceritanya sangat hidup, dengan mudah kita bisa membayangkan alurnya.

Terima kasih, @husaini. Keep spirit to writing.

postingan bagus teman, teruslah berkarya

Terima kasih. Happy weekend.

It's nice short story, thumbs up!

Thanks a lot for support @brondon.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 62416.00
ETH 2447.19
USDT 1.00
SBD 2.62