Removing Aceh's Economic Dependence From Medan |
Pembuatan kanot dari tanah liat yang bisa menjadi kegiatan ekonomi masyarakat, tetapi pemasarannya masih terbatas di daerah sendiri.
By @ayijufridar
The problem of the dependence of Aceh's economy on Medan is indeed not a new problem because for a long time there has been a question of the unbalanced economic relationship between the two neighboring provinces. In many ways, Aceh's position is very weak because it plays more of a role as a consumer than a producer. Aceh is only seen as a market, while Medan takes a lot of advantages. The problem of the Sabang free port, as well as the low loading and unloading activities at the Krueng Geukueh port, are often linked to Medan's economic interests. Whether or not the accusations are true still needs to be studied, but in fact, the busyness of the two ports in Aceh when combined has not reached half of those in Belawan.
Medan always seems to benefit from every existing momentum, both local momentum such as elections to Ramadan like a few months ago. During the Pilkada, almost all candidate pairs chose to order campaign attributes in Medan compared to Aceh, especially those outside Banda Aceh and Sabang. Approaching Eid al-Fitr or Eid al-Adha, the consumptive behavior of the middle class in Aceh has a fertile place in Medan. It can be seen that every weekend the number of vehicles from Aceh to Medan increases rapidly. The suggestion of many figures for officials and the public to vacation in Aceh seems populist but is difficult to implement in the field.
Check four the reasons
My research found four reasons why Medan is still chosen as a place to shop by some people/businessmen on the east coast of Aceh. First, is the problem of prices in Medan for many products which are relatively cheaper. Imagine if a branded t-shirt sold at a mall in Medan for Rp. 85,000 after being discounted, at a shop in Lhokseumawe with the same brand and model, sold for Rp. 150,000 per piece.
This wide disparity also applies to products outside of garments. Although ordering in Medan is subject to shipping costs, for bulk products after calculating it is still more affordable in Medan. In several cases, when ordering in Aceh with the consideration that money from Aceh remains in Aceh, it turns out that businessmen in Aceh end up bringing it to Medan and they only enjoy the fee. Practices like this do not have a multiplier effect on the environment, especially with regard to the creation of new jobs to reduce the number of unemployed.
Second, the quality in Medan is better, especially for products that require a touch of technology. It is logical if consumers prioritize quality even though they have to be bothered with a love for products in their own area.
Third, better services, including complaints of dissatisfaction, which are actually minimal in Aceh. The Chinese proverb says, don't open a shop if you can't smile. The entrepreneurial spirit possessed by a number of Acehnese becomes useless when they do not have the spirit to serve. We tend to want to be served rather than to serve. Take a look at franchise businesses that should have standardized services, compare the quality of franchise services in Aceh with outside Aceh and we will find the difference.
The last reason is often hidden but secretly acknowledged, namely entertainment. Entrepreneurs enter into business contracts in Medan while getting entertainment that they cannot find in Aceh, or cannot be enjoyed comfortably in their own area. This view does not necessarily have to be accepted, but it is often used as an excuse and sometimes even becomes the main reason for going to Medan.
This cannot be considered negative because sometimes what is meant by entertainment in their frame is the facilities of fantasy games, watching movies, and even the opportunity to enjoy modern culinary arts that do not conflict with Islamic norms. For these four reasons, shopping in Medan often gets multiple benefits; relatively cheap prices, better quality, more satisfying service, and all can enjoy entertainment.
Zero-sum game
Regardless of the pros and cons of the reasons above, these are the facts that must be corrected when reducing the degree of economic dependence on Medan. In today's increasingly globalized economic relations, it is indeed impossible to let go of the dependence of one region on another, as well as on one country on another. But if Aceh's "imports" are more than "exports" to Medan, of course, what is created is an unfair relationship for Aceh which in economics is called the zero-sum game; one party's gain is the other's loss.
Not only for technological needs such as electricity that must be supplied from Medan, sadly for needs that can be produced themselves such as vegetables must also be imported from Berastagi. Are the vegetables from Takengon no better so you have to eat vegetables from outside the region? It doesn't matter so far we still depend on Medan for electricity so it can be turned off at will, but the power plant at PT Arun, which has been granted to the Aceh government, must be used in stages because its capacity is able to meet half Aceh's electricity needs.
Reducing the level of dependence cannot be fully borne by the Aceh government because it involves many variables in society, including tastes and lifestyles.
However, the Aceh government can start with a limited policy that adapts to existing conditions and remains effective and efficient when implemented. Don't let that level of dependence come down to small things that we can do on our own so that regional economic independence is not built.[]
Kegiatan bisnis di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Banyak pedagang dari Aceh yang berbelanja di sini.
one of the culinary souvenirs in Surabaya, East Java, can be developed by SMEs in Aceh.
Melepas Ketergantungan Ekonomi Aceh Dari Medan
Oleh Ayi Jufridar
MASALAH ketergantungan perekonomian Aceh kepada Medan memang bukan masalah baru karena sejak lama sudah dipersoalkan hubungan ekonomi tak seimbang antara dua provinsi tetangga tersebut. Dalam banyak hal, posisi Aceh sangat lemah karena lebih banyak berperan sebagai konsumen dibandingkan produsen. Aceh hanya dilihat sebagai pasar, sementara Medan mengambil banyak keuntungan. Masalah pelabuhan bebas Sabang, juga rendahnya kegiatan bongkar-muat di pelabuhan Krueng Geukueh, sering dikaitkan dengan kepentingan ekonomi Medan. Benar tidaknya tuduhan tersebut masih membutuhkan kajian, tetapi faktanya, kesibukan kedua pelabuhan di Aceh itu bila digabung belum mencapai setengahnya kesibukan di Belawan.
Medan sepertinya selalu mendulang keuntungan dari setiap momentum yang ada, baik momentum lokal seperti pemilu sampai Ramadan seperti beberapa bulan lalu. Saat pilkada, hampir semua pasangan calon memilih mengorder atribut kampanye di Medan dibandingkan di Aceh, terutama yang di luar Banda Aceh dan Sabang. Mendekati Idul Fitri atau Idul Adha, perilaku konsumtif kelas menengah di Aceh mendapat tempat yang subur di Medan. Secara kasat mata bisa dilihat, setiap akhir pekan jumlah kendaraan dari Aceh menuju Medan meningkat pesat. Anjuran banyak tokoh agar pejabat dan masyarakat liburan di Aceh sepertinya populis tetapi sulit dieksekusi di lapangan.
Empat Alasan
Penelitian yang saya lakukan menemukan empat alasan mengapa Medan masih dipilih sebagai tempat berbelanja oleh sebagian masyarakat/pengusaha di pesisir timur Aceh. Pertama, masalah harga di Medan untuk banyak produk yang relatif lebih murah. Bayangkan bila sepotong kaos bermerek yang dijual di mal di Medan seharga Rp85.000 setelah didiskon, di sebuah toko di Lhokseumawe dengan merek dan model sama, dijual Rp150.000 per potong.
Disparitas yang begitu jauh ini juga berlaku untuk produk di luar garmen. Kendati memesan di Medan dikenai ongkos kirim, untuk produk bersifat massal setelah dihitung-hitung tetap saja masih lebih murah di Medan atau daerah lainnya di Indonesia. Dalam beberapa kasus, kami sering mengorder di Aceh dengan pertimbangan agar uang dari Aceh tetap di Aceh. Ternyata pengusaha di Aceh ujung-ujungnya membawa ke Medan dan mereka hanya menikmati fee semata. Praktik seperti ini tidak memberikan multiplier effect terhadap lingkungan, terutama berkaitan dengan pembukaan lapangan kerja baru untuk mengurangi jumlah pengangguran.
Kedua, kualitas di Medan yang lebih bagus khususnya untuk produk yang membutuhkan sentuhan teknologi. Adalah logis bila konsumen lebih mengutamakan kualitas kendati harus direcoki dengan kecintaan terhadap produk di daerah sendiri.
Ketiga, pelayanan yang lebih baik, termasuk terhadap komplain ketidakpuasan yang justru minim di Aceh. Pepatah China mengatakan, jangan membuka toko bila tidak bisa tersenyum. Jiwa kewirausahaan yang dimiliki sejumlah warga Aceh, menjadi tidak berguna ketika tidak memiliki semangat melayani. Kita cenderung ingin dilayani dibandingkan melayani. Coba lihat di usaha waralaba yang seharusnya memiliki pelayanan berstandar, bandingkan kualitas pelayanan waralaba di Aceh dengan luar Aceh dan kita akan menemukan perbedaannya.
Alasan terakhir sering ditutupi tetapi diam-diam diakui, yaitu entertainment. Para pengusaha melakukan kontrak bisnis di Medan sekalian mendapatkan hiburan yang tidak bisa mereka temukan di Aceh, atau tidak bisa dinikmati dengan nyaman di daerah sendiri. Pandangan tersebut bukan serta-merta harus diterima, tetapi seringkali hal ini dijadikan alasan bahkan terkadang menjadi alasan utama untuk ke Medan.
Ini tidak bisa dianggap negatif sebab ada kalanya yang dimaksud dengan hiburan dalam frame mereka adalah fasilitas permainan fantasi, menonton bioskop, bahkan kesempatan menikmati kuliner moderen yang tidak bertentang dengan norma Islam. Dengan keempat alasan itu, berbelanja di Medan seringkali mendapatkan keuntungan berlipat; harga relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan lebih memuaskan, serta sekalian bisa menikmati hiburan.
Zero-sum game
Terlepas pro kontra alasan di atas, demikian fakta yang harus diperbaiki bila mengurangi derajat ketergantungan ekonomi dengan Medan. Dalam hubungan ekonomi yang kian mengglobal seperti sekarang, memang tidak bisa melepaskan ketergantungan satu daerah dengan daerah lain, juga satu negara dengan negara lain. Tetapi bila “impor” Aceh lebih banyak dibandingkan “ekspor” ke Medan, tentu yang tercipta adalah hubungan yang tidak adil bagi Aceh yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai zero sum game; keuntungan satu pihak merupakan kerugian di pihak lain.
Bukan hanya untuk kebutuhan berteknologi seperti listrik yang harus dipasok dari Medan, mirisnya untuk kebutuhan yang bisa diproduksi sendiri seperti sayuran pun harus didatangkan dari Brastagi. Apakah sayuran dari Takengon tidak lebih baik sehingga harus mengonsumsi sayuran luar daerah? Tidak masalah sejauh ini kita masih bergantung listrik kepada Medan sehingga bisa dipadamkan sesuka hati, tetapi pembangkit di PT Arun yang sudah dihibahkan kepada pemerintah Aceh, harus dimanfaatkan secara bertahap karena kapasitasnya mampu memenuhi kebutuhan listrik separuh Aceh.
Pengurangan tingkat ketergantungan memang tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke pundak pemerintahan Aceh sebab menyangkut dengan banyak variabel di masyarakat, termasuk soal selera dan gaya hidup.
Namun, pemerintah Aceh bisa memulainya dengan kebijakan terbatas yang menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan tetap efektif serta efisien ketika diterapkan. Jangan dibiarkan tingkat ketergantungan itu sampai kepada hal-hal kecil yang mampu kita lakukan sendiri sehingga tidak terbangun kemandirian ekonomi daerah.[]
Suvenir yang sebenarnya bisa diproduksi di Aceh.
@tipu curate 2
Upvoted 👌 (Mana: 4/7) Get profit votes with @tipU :)
Thank you very much @joslud and @tipu.
Nice work !!
Thank you @ayijufridar for consistently contributing and sharing quality posts with us on the Steem Entrepreneurs Community - Steem On !
Team verification results :
Keep up your good work, best regards and good luck !
Let's support #burnsteem25 to increase the growth of the steem ecosystem.
Thank you so much @f2i5.