PAMIT (Short story)

in #short-story7 years ago

Cerpen Ayi Jufridar

UNTUK kesekian kalinya, Irwan mengucapkan pamit. Kata “pamit” kedua dalam bulan ini, dan mungkin yang kesepuluh – atau lebih – dalam tahun ini. Sisi tidak mampu mengingatnya karena sudah terlalu sering Irwan mengatakannya. “Pamit” adalah kata terakhir yang ia katakan untuk menutup pertengkaran mereka yang memuncak. Kadang, kata “pamit” itu disertai dengan tindakan. Irwan menghidupkan mobil, melihat ke arah Sisi seolah-olah itulah tatapan terakhirnya, lalu melesat pergi. Kadang “pamit” hanya berhenti sebatas kata. Setelah kata lima huruf itu meluncur, Irwan masuk ke kamar untuk menghancurkan benda apa saja yang ada di hadapannya, sebelum kemudian tertidur saking lelahnya.

suami istri ilustrasi.jpg
Sumber: www.suara.co

Sisi mengerti, “pamit” diucapkan untuk menggantikan kata “cerai” yang sangat berbahaya bagi kelanjutan sebuah hubungan pernikahan. Kata “cerai” memang selalu dihindari Irwan karena dengan mengucapkan kata itu bisa menjatuhkan talak. Irwan sangat menyadari itu sehingga ia menahan diri untuk tidak menyebutkannya dalam ancaman-ancaman yang ia tebarkan kepada istrinya. Sisi kadang berpikir, sebenarnya yang menjatuhkan talak itu hanya kata atau substansi dari kata itu sendiri. Kalau hanya kata, maka Irwan tidak pernah menjatuhkan talak kepada dirinya. Namun, jika substansi, maka talak sudah jatuh puluhan kali, dan mereka masih tetap sebagai suami istri. Sisi berjanji pada diri sendiri untuk menanyakan masalah itu kepada ahli, atau mengirimkan surat elektronik kepada pengasuh masalah perkawinan di majalan perempuan yang sering ia baca. Tapi sampai berjalan tiga tahun perkawinannya dengan Irwan, dia tidak pernah menulis surat tersebut.

Secara umum, ada dua penyebab pertengkaran mereka. Pertama, penyebab internal. Dan yang kedua, eksternal. Penyebab internal datang dari mereka berdua, hampir tidak pernah dari Rara dan Dimas, anak-anak mereka. Penyebab internal menurut Sisi adalah hal-hal sepele yang lahir dari kepala Irwan. Tetapi menurut Irwan bukan masalah sepele. Misalnya saja, Irwan mencemburui komentar beberapa teman lelaki terhadap status yang ditulis Sisi di facebook. Komentar itu pun masih dalam katagori sopan, hanya sebaris pujian terhadap keindahan status yang ditulis Sisi. Namun, Irwan langsung menuduhnya ada hubungan khusus dengan lelaki tersebut. Padahal, berjumpa pun Sisi tidak pernah.

“Itu ‘kan hanya masalah sepele,” kata Sisi tanpa bermaksud membela diri.

“Perselingkuhan kamu anggap sepele?!”

“Aku tidak berselingkuh. Berjumpa dengan lelaki itu saja belum pernah.”

“Perselingkuhan tidak selalu harus dengan perjumpaan. Bahkan ketika dalam hatimu kamu memikirkan laki-laki lain, itu tandanya kamu sudah berselingkuh!”

Begitulah. Akhirnya pertengkaran merembes kepada definisi perselingkuhan. Dalam hal itu, Sisi sependapat dengan suaminya. Bahwa dengan menyimpan sebuah nama lain di dalam hati, kendati tidak pernah bertemu, tetapi itu sudah termasuk bagian dari perselingkuhan, meski pun hanya sebatas perselingkuhan hati. Sisi juga sependapat bahwa perselingkuhan hati lebih bahaya daripada fisik karena mengandung cinta di dalamnya. Sisi sangat setuju dengan pandangan suaminya itu.

Tapi masalahnya, dia tidak pernah menyimpan nama lelaki teman facebook-nya di dalam hati. Setelah mengucapkan terima kasih atas komentar lelaki tersebut, Sisi langsung melupakannya. Setelah ia keluar dari laman facebook, dia bahkan tidak ingat lagi dengan nama lelaki itu.

Dia sudah menjelaskan hal itu kepada Irwan, tapi suaminya tidak mau mengerti. Masalah seperti itu selalu muncul hingga kemudian Sisi terpaksa menyingkirkan beberapa nama yang sering memberikan pujian atau sekadar berbasa-basi kepadanya.
Pertengakaran paling panas soal facebook datang ketika Irwan mencuri baca surat-surat dari Aldi, seorang sahabat jauh. Aldi yang suka bicara blak-blakan, secara terang-terangan mengaku kangen kepada Sisi. Mengaku selalu mengingat Sisi, dan ingin berjumpa lagi. Mereka memang sudah pernah berjumpa dua kali. Dan keduanya ditemani Irwan. Artinya, sahabat Sisi itu juga sudah menjadi sahabat Irwan. Bahkan dalam dua kali perjumpaan itu, Aldi lebih banyak bicara dengan Irwan daripada Sisi.
Menurut Sisi, kelakuan Aldi hanya masalah standar pergaulan saja. Dia merasa bebas mengaku kangen dan ingin berjumpa lagi karena menganggap Sisi dan Irwan sebagai sabahat dekat. Sementara, Irwan menganggap sebagai sebuah perselingkuhan yang terkuak setelah dia membobol kata kunci facebook Sisi. Pesan-pesan itu memang dikirimkan Aldi di inboks sehingga Irwan baru bisa membaca setelah mengetahui kata kunci facebook Sisi.

Irwan tidak hanya melampiaskan kemarahannya kepada Sisi, tetapi juga kepada Aldi. Dia memaki-maki Aldi melalui pesan singkat. Dia bukan saja menghina Aldi dengan kata-kata yang paling menyakitkan, bahkan pesannya kemudian menjurus rasis. Inilah yang membangkitkan amarah Aldi hingga dia nyaris memilih jalan kekerasan untuk mengingatkan Irwan. Aldi ternyata memiliki sebuah perkumpulan persaudaraan suku di Jakarta. Dan mereka ikut tersinggung dengan penghinaan Irwan. Mereka tidak peduli dengan makian terhadap Aldi karena itu urusan antara dua lelaki. Tapi kalau sudah menjurus SARA, maka sudah masuk wilayah hukum. Karena Aldi belum percaya kepada hukum karena beberapa pengalaman buruknya di masa silam, maka ia lebih memilih jalannya sendiri untuk memberi pelajaran kepada Irwan.

Hanya karena permintaan Sisi, Aldi kemudian membatalkan rencana tersebut. Sisi juga meminta maaf kepada Aldi atas sikap kasar Irwan yang dikuasai api cemburu. Dia juga meminta Aldi tidak memperpanjang masalah itu, juga tidak mengangkat telepon-telepon Irwan. “Aku akan bereaksi sesuai permintaan,” balas Aldi melalui pesan singkatnya.
Setelah meneriman pesan tersebut yang juga dikirimkan kepada Irwan, Aldi tidak pernah menerima makian dari Irwan. “Tapi kalau dia masih memancing, aku akan melakukan serangan umum. Dia tidak saja akan menyesali penghinaannya terhadapku, tapi juga akan menyesali hidupnya!”

“Tolonglah, Al. Jangan perpanjang lagi. Irwan tidak menyadari apa yang dilakukannya. Sabarlah sedikit demi aku dan anak-anak,” pinta Sisi memelas.

Awalnya Aldi tidak mengerti. Namun, permintaan itu kemudian mengungkap sebuah rahasia yang selama ini belum disimpan Sisi dan Irwan. Ternyata, pasangan itu baru menikah dua tahun. Rara yang sudah berusia 10 tahun dan Dimas yang dua tahun lebih muda, bukan anak kandung Irwan. Lelaki itu menikahi Sisi dalam status janda dua anak setelah bercerai dengan suami pertamanya. Sisi juga mengaku Irwan dua tahun lebih muda dibandingkan dirinya.

“Tapi wajahnya 20 tahun lebih tua dari kamu!”

Sisi tertawa. Dengan tubuh gendut dan perut buncit serta setumpuk janggut, Irwan memang kelihatan lebih tua beberapa tahun dari usianya. Bahkan Irwan juga mengira Aldi lebih muda dari dirinya. Padahal, Aldi seusia dengan Sisi.
Persoalan itu juga membuat Sisi terpaksa mengungkapkan keburukan Irwan. Setiap mereka bertengkar, suaminya selalu mengungkit pengorbanan yang telah dia berikan. Dia sudah menyekolahkan anak-anak Sisi di saat ayah biologis anak itu tidak mau peduli sama sekali. “Aku terjebak di sini!” teriak lelaki itu.

Sisi tidak terima. Dialah yang sesungguhnya terjebak dengan perkawinan tersebut. Irwan-lah yang ngotot dengan pernikahan mereka setelah Sisi menolak puluhan kali. Benar. Sisi tidak menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam hal ini. Dia menolak lamaran Irwan puluhan kali, dan lelaki itu tidak pernah menyerah. Berbagai cara digunakan untuk memikat Sisi dan selalu gagal. Kalau pun kemudian Sisi menerima Irwan, itu lebih karena kedekatan Irwan dengan kedua anak-anaknya, bukan berlandaskan cinta. Mereka juga membuat sejumlah kesepakatan. Di antaranya, mereka tidak akan punya anak dulu sampai Sisi benar-benar siap. Dia masih trauma ketika mengandung Rara dan Dimas selalu mendapat kekerasan dari suaminya dulu. Selain itu, Irwan tidak boleh melakukan main pukul.

Tahun pertama semua kesepakatan tak tertulis itu berjalan lancar. Tahun kedua mulai ada pelanggaran. Tangan Irwan memang belum pernah mendarat keras di tubuh Sisi, tetapi sebagai gantinya lelaki itu melempari Sisi dengan remote TV dan mengenai wajah Sisi hingga meninggalkan bekas memar di sana. Itu terjadi ketika mereka bertengkar hebat.

Soal anak, mulanya tidak datang dari Irwan, melainkan ibunya, suatu hal yang tidak pernah dipertimbangkan Sisi sebelumnya dan itu menjadi sumber pertengakaran eksternal. Setiap datang ke rumah di akhir pekan, masalah anak selalu disinggung ibu mertuanya. Sangat menyakitkan karena dia menyindir Sisi dengan kedua anaknya, menjadi beban bagi Irwan.

Sisi juga tidak bisa terima dikatakan sebagai beban. Sebelum menikah dengan Irwan, bahkan sampai tahun pertama pernikahan mereka, Sisi mempunyai penghasilan lebih banyak dari lelaki itu yang hanya mendapat pekerjaan layout berdasarkan order. Setiap menerima gaji, Sisi menyisihkan sedikit kepada Irwan, dan membeli berbagai hadiah kepada ibu mertuanya. Tapi setelah Sisi tidak bekerja lagi atas desakan Irwan setelah ia mendapatkan penghasilan lumayan, Sisi malah dianggap sebagai beban. Sisi sungguh merasa terhina.

Makanya ketika Irwan mengancam akan pamit setelah mereka bertengkar soal anak untuk kesekian kalinya, Sisi diam saja. Dia tidak berusaha menghalangi Irwan, kendati ancaman kali ini disertai tindakan yang baru pertama kali dilakukan Irwan. Dia melepaskan semua kabel komputer macintosh-nya dan mengangkut komputer itu ke dalam mobil. Di dalam kamar, Sisi hanya melihat saja sembari memeluk Rara dan Dimas. Kedua anak itu sudah terlalu sering melihat ibunya disakiti, termasuk oleh papa pertama mereka kendati saat itu keduanya masih kecil. Sisi selalu berusaha menghindari dampak negatif yang bisa muncul dari setiap pertengkaran. Syukurlah selama ini kedua anaknya itu sangat memahami. Mereka tumbuh menjadi anak baik, bahkan sangat baik jika mengingat bahwa keduanya lahir dan besar dari keluarga brokenhome. Sungguh, Rara dan Dimas-lah yang menjadi sumber kekuatan Sisi dalam menghadapi berbagai persoalan.

Sisi tidak beranjak dari kamar ketika mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Dia masih tetap diam ketika Irwan seperti sengaja mengencangkan suara mobilnya. Mungkin untuk memancing Sisi keluar, atau Irwan sekadar melampiaskan kemarahannya. Dalam beberapa pertengkaran sebelumnya, terkadang Sisi memanggil Irwan kembali. Meminta maaf kendati dia merasa tidak memiliki kesalahan apa pun. Kadang ia memeluk Irwan dari belakang sebelum suaminya mencapai mobil.

“Jangan pergi, Pa. sayangi aku dan anak-anak…”
Sekarang Sisi malah membenci kalimat memelas itu. Irwan seakan sangat menyadari posisinya. Dia merasa dibutuhkan setelah Sisi tidak mempunyai penghasilan lagi. Ekonomi, itulah yang menjadi kekuatan Irwan untuk menaklukkan Sisi. Sekarang Sisi baru menyesali keputusannya keluar dari pekerjaannya di sebuah bank swasta. Padahal, posisinya saat itu sedang bagus dan mendapat otoritas dari manajemen. Jika ia terus bekerja, dalam beberapa tahun mendatang berbagai promosi sudah menantinya. Saat ini sudah sulit untuk kembali. Sisi sudah berkomunikasi dengan beberapa mantan teman sekantornya melalui facebook. Perubahan terjadi dengan cepat. Begitu ia keluar, gadis-gadis muda yang cakap – dan cantik – segera menggantikan.


Satu hari berlalu. Belum ada kabar dari Irwan. Biasanya, dia tidak pernah “pamit” melewati hari. paling hanya pulang pagi dengan mata memerah dan mulut bau alkohol. Sisi menahan diri untuk tidak mengirim pesan, apalagi menelepon. Dia tidak ingin membuat Irwan semakin besar kepala. Dia pamit atas kehendak dirinya, dan Sisi ingin Irwan pulang juga atas kesadaran dirinya. Bukan atas permohonan Sisi yang memelas.

Namun ketika sampai seminggu kemudian Irwan belum juga kembali, Sisi menjadi cemas. Ia khawatir telah terjadi sesuatu terhadap Irwan. Dia juga mengkhawatirkan dirinya sendiri dan keluarga. Uang yang ada di tangannya kian menipis, dan ia tidak punya apa pun untuk dijual. Pesangon dan tabungan bertahun-tahun yang ia simpan ketika masih bekerja, sudah habis. Bukan untuk dirinya dan anak-anak. Justru untuk keluarga Irwan. Membiayai kuliah adik Irwan, membiayai pesta perkawinan adik perempuannya. Hanya sebagian kecil yang sempat digunakan Sisi untuk membeli perhiasan emas. Ia sadar akan besarnya inflasi. Menyimpan uang dalam bentuk dollar sekali pun akan membuatnya rugi karena inflasi. Jadi, ia memilih simpanan berupa emas. Tapi, apakah sekarang perhiasan tersebut harus dijual untuk makan sehari-hari? Sampai berapa lama ia mampu bertahan?

Setiap pulang sekolah, Rara yang memang dekat dengan Irwan sering bertanya. “Papa mana?”
Sisi tidak memberikan jawaban apa pun selain gelengan. Dia benar-benar tidak tahu di mana Irwan berada. Dia juga tidak tahu apakah suaminya benar-benar “pamit” kali ini. Irwan akan kembali ke rumah ini hanya untuk menyelesaikan masalah mereka secara resmi.

Kadang muncul keinginan untuk menyisihkan gengsinya dan menelepon Irwan. Pertimbangannya adalah masa depan anak-anak. Kalau seorang ibu lain berani menjual harga dirinya untuk masa depan anak-anaknya, mengapa dia tidak bisa berkorban sedikit saja untuk mengikis harga dirinya demi alasan sama. Tetapi pada waktu lain, dia merasa sudah cukup mengorbankan harga dirinya selama ini. Kalau kali ini pun dia mengalah, maka kasus sama akan terulang kembali di masa mendatang. Masalah tersebut tidak akan pernah selesai.

Di tengah kebimbangan itulah, Irwan pulang pada hari kedelapan. Berbeda dengan biasanya, kali ini wajahnya lebih rapi. Janggut sudah bersih diterabas. Dia terlihat lebih segar hingga membuat Sisi heran.

Irwan menyerahkan sejumlah uang kepada Sisi. “Untuk sekolah anak-anak,” katanya sembari meletakkan uang tersebut di atas meja makan. Tanpa mengitung pun, Sisi tahu jumlah uang tersebut lebih sedikit dari biasanya.

“Memang lebih sedikit dari biasanya. Aku harus menanggung dua keluarga sekarang,” kata Irwan lagi seolah bisa membaca pikiran istrinya.

Sisi masih diam. Dalam hati ia ingin mengatakan bahwa sejak dulu pun, Irwan sudah menanggung dua keluarga karena sebagai anak tertua dia ikut membiayai keluarganya, ibu dan adik-adiknya. Bahkan, Sisi pun ikut membiayai keluarga tersebut.

Pagi itu mereka lewatkan dengan dingin. Tidak ada kehangatan seperti yang sering terjadi terhadap pasangan yang baru saja bertengkar. “Aku pamit,” ujar Irwan tenang dalam intonasi datar. Tanpa emosi seperti biasanya.

Semarah apa pun terhadap suaminya, Sisi tetap mengantar sampai pintu dan baru masuk setelah mobil suaminya lenyap dari pandangan. Dia tetap mempertahankan ritual itu untuk menjaga kehormatannya sebagai seorang istrinya. Bagaimana pun sakitnya, Sisi selalu berusaha memilah antara kewajibannya sebagai seorang istri dengan perasaannya sebagai seorang perempuan.


Dari rumahnya, Irwan tidak langsung menuju kantor. Dia singgah di sebuah rumah yang tidak terlalu jauh dari kantor. Seorang perempuan muda, sudah menunggunya di depan pintu. Ia mendaratkan dua ulas kecupan di pipi kiri dan kanan perempuan itu, dan satu ciuman di bibir. Lalu mereka masuk dengan tangan yang saling melingkari di pinggang. Di dalam sebuah kamar, muncul seorang perempun tua ketika mendengar suara Irwan. Ibunya Irwan. Ketika melihat kemesraan itu, dia kembali ke dalam kamarnya.

“Malam ini tidur di sini, kan?” tanya perempuan muda itu kemudian.

“Tentu Sayang. Aku sudah pamit tadi di rumah. Sisi hanya diam, dan itu artinya dia setuju,” sahut Irwan tersenyum. Mereka menghabiskan beberapa menit bersama dengan penuh kemesraan sebelum kemudian Irwan pamit ke kantor.

“Tapi beneran pamit ke kantor, kan?”

Irwan mengangguk sambil tertawa. Tentu saja. Dia tidak akan “pamit” menikah untuk ketiga kalinya. Cukup dua kali saja. Yang pertama atas keinginannya sendiri, dan yang kedua untuk memenuhi keinginan ibunya.***

Sort:  

thanks for sharing

Sama-sama, riostar

cerpenya menarik , terima ksih telah berbagi tulisan cerpen @ayijufridar :D

Terima kasih untuk komentar dan vote-nya, @Levycore.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 67710.07
ETH 2614.05
USDT 1.00
SBD 2.67