Keinginan Terakhir Hajjah Nur

in #fiction6 years ago

Angin terus berlalu membawa kisah berbeda, sejuk udara terus berganti merekam suasana. Daun kelapa yang melambai-lambai di sudut rumah besar bercat putih itu, kresek-kresek menyentuh gentengnya ketika di tiup sepoi angin, selalu mengisi kesepian hati wanita tua di rumah itu.

Berhari-hari Hajjah Nur menghabiskan sisa akhir hidupnya dalam sebuah rumah besar yang begitu sepi. Memang ia melahirkan enam buah hati, lima gadis dan satu laki-laki tuloet (bungsu) yang begitu diharapkan kelahirannya. Tapi apa mau dikata? tetap saja sepi sekali rumah dan hati Hajjah Nur. Empat gadis kesayangannya telah pergi dijemput oleh kepala penghidupan baru. Sedang si tuloet yang begitu diharapkan kelahirannya, sekarang tak butuh lagi pengharapan itu.

Rasa sayangnya pada semata wayang itu begitu besar memang. Tapi bisa apa dia? Kelayapan saja kerjanya. Untuk menamatkan sekolah menengah saja, di sepak sana sini dari sekolahnya. Jika dipikir lagi pada si tuloet itu, yang ada bikin sakit kepala, hingga terasa semakin pedih luka di kaki Hajjah Nur, yang kian hari semakin membusuk. Untung ada Piah, gadis ke-limanya yang baru saja menamatkan kuliah. Piah senantiasa merawatnya. Ya, walaupun Piah sering tak hadir di rumah karena kesibukan di mana-mana.

Penyakit diabetes yang katanya turunan dari silsilah keluarga, lengkap sudah mengutuk kesepian Hajjah Nur yang malang itu. Sudah sering ia sakit-sakitan, sebelum menginjak sebuah paku payung yang lengket di sandal jepit, ketika hendak bersih-bersih belakang rumah. Nasi sudah menjadi bubur, paku itu pun menggesek-gesek telapak kaki yang sudah kebas. Kini luka dan rasa nyeri di kaki akibat paku payung itu pun, semakin menjadi-jadi. Walaupun sudah berobat sana sini. Hingga ke Penang sana, tapi tak kunjung sembuh juga penyakitnya. Tubuhnya terus mengurus, pipi tumbunnya tampak semakin kempot karena pantang segala macam makanan yang dilarang oleh Dokter. Sang suami hanya bisa menasihati “Jangan kau keluar-keluar dulu, bisa celaka nanti. Diam saja di rumah! Bila kau kenapa-kenapa nanti, siapa yang hendak melihat?” begitu kata suaminya.

Tetap saja Hajjah Nur mencari-cari cara. Apa yang bisa ia lakukan lagi selanjutnya. Manabisa peduli ia pada suaminya, yang hanya memberi kasih melalui kata-kata, tanpa aksi nyata pula. Dalam sehari, kadang pun bisa jadi tak pernah ia menatap wajah suaminya itu. Maklum saja, karier begitu penting bagi sang suami. Padahal, ketika sesekali tahu suaminya pulang, walau tak bisa berjalan, Hajjah Nur merangkak sana sini, hanya untuk menyambut pangerannya secara istimewa. Sungguh lah ia berbakti pada suaminya.

Hampir setiap hari, Hajjah Nur mengenakan daster orange kesukaannya, daster itu pemberian dari suaminya. Dengan daster yang sudah kusam warnanya itu, dan badannya yang masih sedikit tumbun, Hajjah Nur merangkak-rangkak ke sumur, untuk mengambil wudhu’ agar syah bisa menjalankan shalat lima waktu. Tak patah semangatnya, mengesot tanpa bantuan pun jadi. “Urusan agama lebih penting, bekal ku di akhirat nanti,” ingatnya. Luka di kaki itu semakin lama semakin terkikis di makan penyakit, semakin terasa nyut-nyutnya. Menangis ia jika rasa nyeri datang, bukan menangis karena cengeng sebab itu sakit. Tak lain karena mengingat kakak dan adiknya, mereka menghadap pada Yang Maha Kuasa dua tahun yang lalu, akibat sakit yang serupa. Menangislah hingga terisak Hajjah Nur, ia memikirkan bagaimana peruntungannya kedepan. “Semua terjadi karena kuasaMu ya Allah. Hidup dan mautku, kuserahkan segalanya padaMu,” lagi-lagi ingat Hajjah Nur.

“Oh Allah... Tuhan nyang poe Rabbana, Ampunilah dosa-dosa hamba selama ini. Sungguh rasa sakit ini begitu menyedihkan, tapi hamba percaya bahwa ini hanya sementara. Hamba terima segala ini dengan lapang dada. Oh Allah... Bila sampai sudah ajal menjemputku, hamba memohon kepadaMu wahai Tuhan sekalian alam, panjangkanlah umur para buah hati ku. Selamatkanlah mereka dari segala cubaan di dunia yang fana ini. Serta pangeranku, oh Allah... Capaikanlah ia pada tujuannya, tak lain yang dilakukannya itu ada manfaat bagi orang banyak. Tuntunlah mereka, aku memohon kepadaMu ya Allah. Biarkan saja dosa-dosa mereka Kau bebani pada hamba seorang, tak usah mereka merasakan hal yang sama seperti ini, kasihan mereka oh Allah... Engkau maha tahu, pastilah angan-angannya begitu besar. Selamatkan lah mereka, Engkaulah Tuhan segala-galanya, Engkaulah yang maha tahu. Ampunilah kami, oh Allah...”


Suatu ketika, saat Hajjah Nur menunggu waktu ashr tiba dengan setelan mukena. Dipandangi lama-lama ke luar jendela dari atas tempat tidurnya, sambil mengusap-usap cincin pernikahan yang dipakai pada jari manisnya. Teringat oleh Hajjah Nur akan tanah suci sana. Ya, Makkah al-Mukarramah. Kota di mana menjadi tujuan utama kaum muslimin, dalam menunaikan ibadah haji. Sebuah kota yang merupakan kota suci umat Islam di seluruh dunia, dan tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW. Teringat oleh Hajjah Nur sebuah Masjidil Haram, yang merupakan bangunan utama dari kota itu. Di bayang-bayangkannya di tengah Masjidil Haram itu berdiri Ka’bah dengan gagah, dan terselimut kiswah hitam yang begitu mempesona. Ingin sekali rasanya Hajjah Nur bisa hadir kembali di sana. Rindu sekali ia pada masa ketika bisa bertatapan langsung dengan Ka’bah. Ka’bah yang menjadi patokan arah kiblat setiap kali ia shalat dari atas tempat tidurnya.

Dengan semua ingatan itu, sudah basah saja pipi Hajjah Nur bermandikan air mata. Terisak-isak ia menangis, betapa ingin ia menginjakkan kembali kaki di tanah suci. Terpikir nanti akan diadukan hal itu ketika suaminya pulang. Mudah-mudahan saja, suaminya menuruti keinginan Hajjah Nur. Apalagi, dulu ketika di tanah suci bersama-sama waktu muda, mereka mempunyai keinginan akan kembali lagi ke tempat mulia tersebut. Tak sabar Hajjah Nur menyambut sang suami pulang. Sudah dirangkai kata-kata rayuannya yang tak seberapa bagus, tapi cukup manis di dengar. Tak lupa juga ia akan sertakan Piah dan tuloetnya supaya ikut. Kali ini umroh saja, pastilah mereka mau. Hitung-hitung, biar sadar juga si laki tuloetnya itu. Sungguh bahagianya Hajjah Nur, sudah hilang semua sedihnya.


Aduhai, ceria sekali Hajjah Nur malam itu. Tak henti-hentinya ia terus senyam-senyum sendiri, ketika suaminya berkata: “kita akan berangkat di bulan penghabisan tahun ini.” Berbunga-bunga hati Hajjah Nur. Ingin sekali dipeluk erat suaminya, tapi merasa malu pula Hajjah Nur itu. Tinggal buah hatinya saja yang harus dipastikan lagi. Sudah pastilah mereka senang, pikirnya. Kini rasanya seperti tumbuh bunga mawar saja di dalam hati Hajjah Nur.

Bila orang sudah jauh dari agama, maka di ajak untuk berbuat kebaikan pun, tak akan sudi dia. Hanya duduk di kalangan ulama, menjadi resah hatinya. Bagai di sambar petir itu hati Hajjah Nur. Besar tujuan ia mengajak laki tuloetnya agar tobat anak itu. Tapi, bertubi-tubi pula alasan yang diberikan. Di tolaknya mentah-mentah, semua rencana yang sudah di atur dengan mantap oleh Hajjah Nur. Tak punya keinginan anak itu pergi ke tanah suci sana, aneh-aneh saja! Tak punya keinginan ia mengerjakan amal ibadah kepada Allah, yang sungguh begitu besar pahalanya. Tidak bersyukur lagi ia kepada Allah? Apa yang difikirnya si tuloet itu?

Pantang sekali Hajjah Nur pasrah begitu saja. Walau ia tahu sudah gelap sekali hati laki tuloetnya itu. Pastilah semua ada obat penawar, pikirnya. Karena Allah Maha Pemurah. Tak henti-henti pula Hajjah Nur berdo’a siang malam, agar di terangkan hati laki tuloetnya. Semantara akhir tahun semakin dekat saja. Mulai lagi Hajjah Nur menangis. Mengapa buah hatinya itu terlalu santai dan terlena dengan kehidupan dunia? Enggan ia bertaubat kepada Allah. Teringat ia seperti apa nanti nasib buah hatinya di akhirat kelak. Sedih sekali Hajjah Nur, yang tengah diganti perban kakinya oleh Piah.
“Tak mengapa bunda, Piah akan menemani bunda disana. Biar saja si adik, masih ada Piah.”
“Oh Piahku... sungguh mulia engkau, Piah...”


Sore itu, langit begitu gelap. Burung cakrawala yang berterbangan turut menjatuhkan air mata, karena pertanda hujan akan turun. Si bungsu yang baru tiba di rumah sepulang kuliah, sudah sangat terkejut ketika melihat bunda di gendong oleh ayahnya dengan begitu panik. tergopoh-gopoh sang ayah yang berbadan kurus menggendong ibunda. Dengan cepat si bungsu ikut menangkap, dan ikut menggendong bunda naik kedalam mobil. Di tatapnya muka ibunda dengan penuh harapan dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kerongkongan Hajjah Nur seronggokan dari tadinya. Ia ada, tapi bagai tak hidup. Detak jantungnya sesekali berhenti, lalu berdenyut lagi. “Ya Tuhan, jangan... jangan dulu kau ambil nyawa ibundaku. Kami mempunyai keinginan yang besar untuk melaksanakan umroh di tanah suci.” Begitu lirih si tuloet.

Setelah adzan maghrib. Penanganan sempurna yang telah dilakukan oleh pihak rumah sakit, tak membuahkan hasil. Para malaikat pencabut nyawa hanya melakukan tugas yang telah di utus oleh Allah. Tertunduk para malaikat, dan dengan perlahan memisahkan ruh Hajjah Nur dari jasadnya. Hajjah Nur yang sedari tadi tak sadar diri. Hajjah Nur... Hajjah Nur yang begitu mulia itu. Hajjah Nur yang mempunyai keinginan terakhir untuk kembali ke tanah suci. Kini luput sudah semua keinginan itu.

Hajjah Nur telah berpulang ke alam yang kekal nan abadi. Tak henti-hentinya piah menangis seorang diri. Sedang suami mondar mandir sana sini tak karuan. Ia menatap dengan kosong sekelilingnya. Sungguh terpaku sunyi dalam kesedihan keluarga yang tak lengkap itu. Si tuloet? Ikut menangis juga dia. Apa yang kau tangisi tuloet? Betapa malang kau tuloet. Biarlah kau sesal seribu sesal.

Terima Kasih

photo : google

Sort:  

Curahan hati yang memberi pelajaran begitu berharga 😊.
Izin reblog

Si Tuloet sedang menyampaikan Doa,..
Berharap Pencipta Dunia mendengarnya..

Allahummagfirlaha warhamha waj'alil jannata matswaaha.. Amin

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 61521.43
ETH 3387.82
USDT 1.00
SBD 2.49