The Diary Game (20 Mei 2024): Tentang si Pemikir

Saya dikejutkan oleh suara alarm yang meraung dari handphone di samping tempat tidur. Nice, sudah berbunyi sejak 20 menit lalu. Dengan mata masih setengah terpejam, saya bangkit dan segera menanak nasi karena semalam saya tidak sempat melakukannya. Teman serumah saya, yang kebetulan sangat rajin, sudah mencucikan piring sebelum saya terbangun. Jadi, dengan penuh inisiatif, saya sekaligus menggantikan tugasnya membuang sampah dan mengepel lantai dapur yang mulai kotor. Saya bersyukur punya partner serumah yang pengertian dan inisiatif sehingga beban pekerjaan rumah jadi ditanggung bersama.

Rasa sakit di sekitaran pinggang ke bawah akibat kejadian dua hari lalu perlahan mulai memudar. Setelah mandi dan berpakaian rapi, saya mulai bersiap untuk berangkat ke kampus. Jam di dinding menunjukkan pukul 10.50 saat saya keluar rumah. Jalanan cukup lengang, hanya butuh 10 menit bagi saya untuk tiba di kampus dengan kecepatan 40km/h.

Setiba di kampus, saya langsung menuju ruang kelas di mana perkuliahan sudah dimulai. Hari ini ada presentasi monev (monitoring dan evaluasi) project kampanye sosial dari kelompok lain. Untungnya kelompok kami sudah melakukan presentasi dan menyerahkan laporan akhir minggu lalu, jadi hari ini kami hanya perlu duduk manis dan menonton saja.

_{Saat dosen menutup perkuliahan, ia mengumumkan bahwa hari ini adalah hari terakhir mata kuliah tersebut. Entah kebetulan atau apa, saat menyebut kalimat “pertemuan terakhir”, si dosen menatap lekat tepat ke bola mata saya. Saya pura-pura pasang muka datar meski di dalam hati senangnya minta ampun. Hmm… apakah yang bersangkutan selama menyadari kalau saya cinta dengan hari libur? Masih misteri.}

Kelas baru berakhir sekitar pukul satu. Saya langsung pulang ke rumah untuk isi perut sekaligus ambil helm sebelum keluar lagi. Hari ini saya harus menyambangi warung kopi langganan untuk menyelesaikan beberapa hal, jadi saya perlu mengambil helm terlebih dahulu di rumah. Selain untuk melindungi kulit wajah, saya perlu memakai helm fullface karena belakangan sering ada razia kendaraan bermotor di jalan yang biasa saya lewati menuju warkop.

Di warkop, suasana sudah ramai oleh kehadiran sobat filsuf. Saya merasa kurang nyaman karena ada beberapa orang yang tidak terlalu akrab dengan saya, jadi saya lebih memilih duduk di meja lain. Sambil melakukan verifikasi postingan komunitas, si Mija, sahabat saya yang paling pintar dalam hal berfilsafat menghampiri saya. Dia minta diajari dasar-dasar Microsoft Word bermodal sebuah notebook berdebu yang sedang dipegangnya.

Ya, anda tidak salah dengar, Ms Word, bukan Ms Excel apa lagi SPSS. Saya tidak terkejut lagi, sebab selama empat semester saya kuliah dan jadi temannya, saya tak pernah sekalipun melihat dia menjinjing laptop meskipun semua tugasnya selalu selesai tepat waktu. Ya, Mija yang terkenal pandai dalam berfilsafat ternyata awam dalam menggunakan komputer. Dia bercerita bahwa laptop yang dibawanya adalah milik ibunya yang sudah tidak dipakai bertahun-tahun lalu, dan hanya dipakai untuk mencetak dokumen sesekali. Yang membuat saya salut adalah ternyata selama ini dia mengerjakan semuanya di HP-nya. Hebat juga, pikir saya.

_{Betapa ironisnya si pemikir besar yang selalu bicara tentang stoik dan eksistensialisme malah ketinggalan zaman dalam urusan teknologi dasar *tepokjidat}

Mengajari Mija tidak butuh waktu lama, karena dia memang dianugerahi daya ingat di atas kemampuan rata-rata temannya. Dari cara merapikan layout, penombolan shortcut, sampai dengan membuat sitasi dan referensi, dia dapat menguasainya hanya dalam waktu 15 menit saja. Cukup mengesankan.

Dua hari lalu, saya sudah membuat janji dengan seorang seller sabak elektronik a.k.a tablet untuk bertemu di warung kopi yang sama. Setelah melakukan pengecekan fisik secara tipis-tipis, kami menyelesaikan transaksi di situ juga, tidak lupa dengan menutupnya dengan lafaz ijab qabul. Akhirnya, iPad mini 6 yang saya incar semenjak dua tahun lalu ada di tangan, meski saya baru mampu membelinya dalam kondisi secondhand. Cukup membahagiakan dan membuat saya senyum-senyum sendiri sampai beberapa jam kemudian.

_{Saya mengambil selfie pertama dengan device baru ini bersama sahabat-sahabat saya. Tidak disangka ternyata kameranya cukup jernih. Ini merupakan sesuatu yang tidak saya ekspektasikan sebelumnya karena tujuan utama saya membeli tablet adalah untuk mencari device yang mampu multitasking dengan ukuran yang compact.}

Selesai transaksi, saya terus mengulik fitur-fitur di tablet ini sambil sesekali nimbrung dalam diskusi bersama teman-teman filsuf. Entah apa asupan yang mereka makan, yang jelas teman-teman diskusi saya tidak pernah kehabisan energi dan selalu antusias membahas topik-topik filsafat Nietzsche sampai Derrida. Berada di sekitar mereka memang memberi banyak wawasan baru dan sering kali membuka perspektif yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Lucunya, mereka bisa berdebat sengit soal teori-teori berat sekalipun dengan dosennya, namun tetap akrab ketika berbicara tentang hal-hal sepele seperti rasa kopi atau jenis martabak favorit.

Kami sepakat bubar sebelum azan magrib berkumandang. Malamnya saya melanjutkan tugas verifikasi postingan sekaligus memilih postingan terbaik di komunitas untuk diajukan kepada Booming.