Jangan Tertawakan Tulisan Saya

in #writing6 years ago (edited)

18518053_1104074013032221_6583310540423429163_o.jpg

Setiap orang pasti mengalami proses. Ada kalanya proses itu cepat, adakalanya lambat. Ada kalanya lancar, ada kalanya tersendat-sendat. Ada kalanya manis, namun ada kalanya pahit bukan main. Tapi, semua itu adalah obat. Sepahit-pahitnya obat, ia sangat berguna untuk menyembuhkan.

Saya, dalam menjalani proses menulis, termasuk menulis puisi, telah menikmati berbagai romantika. Tak dimuat berkali-kali itu biasa. Tak dikirim honor karya yang dimuat juga banyak. Dapat honor besar juga pernah. Pada 1990-an saya sangat rajin menulis apa saja: mulai puisi, cerpen, esai budaya, opini sosial-politik, hingga berita kebudayaan.

Saya mengirim tulisan ke banyak media, mulai media di Aceh, Medan, hingga Jakarta. Setelah tamat kuliah pada 1995 (saya kuliah di STIEI Banda Aceh jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan angkatan 1989), praktis saya hidup di Banda Aceh dari pendapatan menulis. Sebab, pasokan dari orang tua di kampung sudah dihentikan begitu selesai kuliah dan dianggap bisa mandiri.

IMG_20180108_115552.jpg

Saya menulis sambil bergiat di kesenian dan NGO. Saya anggota Teater Bola (pimpinan Junaidi Yacob dan Pungi Arianto Towernya). Saya terlibat di NGO dan aktivisme mahasiswa bersama kawan-kawan kala itu, seperti J Kamal, Iqbal Farabi, Asep (Sepriady Utama), Ramadhana Lubis, Soraya Kamaruzzaman, Nursiti, Afrizal Tjoetra, Zulfikar Yapda, dan banyak lagi. Saya bersama Kamal Farza, Iqbal dan Asep punya basecamp tetap yakni di Yayasan Anak Bangsa (YAB) di Tungkop, Darussalam, Banda Aceh.

Bersama J Kamal Farza, kami juga menggerakkan Forum Kajian Sosial dan Demokrasi (FKSD). Kami secara rutin mengadakan diskusi tentang isu-isu sosial politik dan demokrasi di kantor Senat Fakultas Hukum Unsyiah. Kami juga aktif di Kompok Diskusi Transformasi Aceh yang digerakkan oleh Prof Bahrein T Sugihen, Otto Syamsuddin Ishak, Yarmen Dinamika, dan kawan-kawan.

Kala itu, kami juga asyik menikmati masa-masa booming diskusi dan maraknya tradisi pemikiran di Aceh itu. Banyak kelompok diskusi tumbuh. Banyak tulisan opini yang bernas muncul di Harian Serambi Indonesia, yang kala itu digawangi Yarmen Dinamika dan kemudian Teuku Ahmad Dadek (kini pejabat penting di Aceh Barat).

IMG_20180108_115410.jpg

Saat senggang kuliah, juga selesai kuliah, selain ragam kegiatan itu, saya kerap menghabiskan waktu pagi hingga lepas siang di Perpustakaan Wilayah Aceh di Lamnyong, Banda Aceh. Sorenya biasanya saya bergerak ke Taman Budaya di Jalan Teuku Umar Banda Aceh, ke Darussalam (kampus Unsyiah), atau sekedar nongkrong di warung kopi.

Selesai kuliah, bersama Ayi Jufridar @ayijufridar, Nurdin Supi, Irnawati dan Ita Idrus, kami mendirikan NGO di Lhokseumawe pada 1995. Namanya Center for Development and Indenpendence Studies (CDIS). Namun setahun kemudian, lembaga itu digerakkan oleh Ayi Jufridar dan kawan-kawan karena saya telah hijrah ke Jakarta. Saya dengar dari @ayijufridar NGO itu hingga sekarang masih aktif.

332228_2832092393881_196492135_o.jpg

Semua aktivitas itu bukan hanya membentuk karakter personal saya, juga membentuk karakter dan cara berpikir saya dalam menulis. Saya menulis isu-isu sosial politik dan demokrasi karena keterlibatan di NGO, berbagai kelompok diskusi, aneka workshop dan lokakarya (mulai dari isu gender hingga HAM), serta aneka bacaan yang saya kunyah.

Saya menulis isu-isu kebudayaan karena saya terlibat dalam aktivitas kesenian dan mengamati aktivitas kebudayaan di Aceh. Saya menulis puisi dan cerpen karena saya senang pada sastra. Saya mulai menulis puisi ketika SMP untuk sekedar hobi atau karena dorongan cinta monyet. Dalam perjalanan, setelah sekolah (di SMEA Negeri Banda Aceh di Lampineung) saya disadarkan oleh seseorang bahwa puisi tak hanya sebagai medium ekspresi juga bisa memberi tambahan pendapatan.

206780_1068479744667_2158_n.jpg

Saya pertama kali mengirim puisi ke salah satu koran di Banda Aceh pada 1990. Dan dimuat! Tapi, saya amati, puisi yang dimuat itu menjadi lebih bagus dari puisi asli saya. Ada bagian-bagian di puisi itu yang "dihilangkan" (diedit) sehingga tampak lebih padat dan kuat. Saya senang sekali tentu. Semangat menulis puisi makin menyala. Setelah itu, saya terus belajar, berlatih, membaca buku-buku sastra termasuk buku-buku teori puisi dan proses kreatif penulis lain.

Selanjutnya, puisi saya makin sering muncul di koran Aceh (terutama Serambi Indonesia) dan Medan (terutama Waspada). Saya juga mengirim ke koran Jakarta, yakni Media Indonesia dan Swadesi (editor sastranya penyair Diah Hadaning). Di kedua media itu puisi saya pun dimuat. Pergaulan saya di kalangan seniman pun makin intens. Kebetulan saya sering latihan teater di Taman Budaya. Saya mulai mengenal Maskirbi, Din Saja, AA Manggeng Putra, Saiful Bahri, Doel CP Allisah, M Yusuf Bombang, Wina SW1, Helmi Hass, D Kemalawati, Hasbi Burman, Hasyim KS (sastrawan yang juga redaktur budaya Serambi Indonesia), Fikar W Eda, Wiratmadinata, Nurgani Asyik, Nurdin F Joes, A Rivai Nasution, Ihwan Manggeng, Rahmad Sanjaya, Nab Bahanya AS, Nani HS, dan sejumlah seniman bidang lain seperti tari, seni rupa, dan musik.

310834_10150303344799735_545283691_n.jpg

Tiap sore, kami suka duduk lesehan di rumput di bagian samping kantin Seniman di Taman Budaya. ASaya juga sering main ke Kampus Universitas Syiah Kuala. Di sana ada Soel J Said Oesy (Sulaiman Juned), Jarwansah, Ansor Tambunan, Deny Pasla, J Kamal Farza, Zulfikar Sawang, Sadri Ondang Jaya, Anhar Sabar (Naharuddin), Suhaita Abdurrahman, Win Gemade, Zab Bransah, dan kawan-kawan. Sesekali mereka juga mampir ke Taman Budaya. Kala itu, ada sedikit ketegangan antara seniman (yang sering di Taman Budaya) dengan seniman kampus.

Karya-karya seniman kampus dianggap kurang matang. Sementara seniman-seniman kampus menganggap seniman yang "bercokol" di Taman Budaya itu terlalu berkutat pada egonya sendiri. Saya sendiri masuk ke dalam dua friksi itu dan menjadi bagian dari mereka. Namun, karena seringnya forum-forum yang mempertemukan kedua "kelompok" itu membuat ketegangan mencair. Jadinya kemudian ya sering nongkrong dan ngopi bareng.

14449835_10211438398982212_539182508309623623_n.jpg

Sebagian seniman sastra lainnya tinggal di Meulaboh seperti Rosni Idham, Isnu Kembara, Mustiar Ar, Syarifuddin Aliza, Siti Aisyah. Ada pula yang di Pidie seperti Musmarwan Abdullah, Ayi Jufridar dan Nasir Age di Aceh Utara, serta Agam Fawirsa di Kuala Simpang. Adapun di Jakarta ada LK Ara. Meskipun tak jumpa atau jarang bertemu, kami seperti merasa sebagai sebuah keluarga. Di luar nama-nama tersebut, ada satu nama lain yang begitu mewarnai koran Aceh pada waktu itu yakni Mohd Adid Hj Abdurahman. Ia penyair muda asal Malaysia yang kala itu kuliah di IAIN (kini UIN) Ar-Raniry.

Satu hal yang saya petik dari pergaulan itu: saling melecut. Saling mendorong. Saling berkompetisi. Kami punya satu hari raya bersama tiap pekan yakni hari Minggu. Malam Minggu adalah waktu harap-harap cemas apakah puisi, cerpen atau esai kami dimuat di koran-koran yang kami kirimi. Pagi-pagi Minggu, ketika langit belum begitu terang, saya biasanya sudah keluar untuk menunggu loper koran lewat untuk membeli koran. Dimuat di koran bukan saja kebanggaan, tapi pembuktian bahwa kami belajar dengan baik. Kami berkompetisi dengan benar.

Bukan hanya itu, kami juga berpolemik di media. Saling membalas. Saling berargumentasi. Ada banyak topik polemik kala itu. Saya termasuk yang -- entah mengapa -- suka memancing "debat" di media. Beberapa topik yang saya tulis akhirnya menjadi polemik untuk beberapa Minggu. Tapi, seperti saya sebutkan di atas, saya tidak hanya menulis di halaman budaya, juga di halaman opini. Sehingga wilayah berpikir saya menjadi sangat luas.

12743800_1708662759418172_5532870101314623703_n.jpg

Terkadang, di kala senggang, saya suka membuka-buka kliping lama. Ada kenangan yang mengental. Ada jejak perjalanan yang tak mudah. Ada upaya yang tak pernah lelah. Kliping-kliping koran itu menyadarkan saya bahwa kita memang harus punya tujuan untuk melangkah. Beberapa kawan telah surut. Namanya menghilang. Tapi saya tetap di jalan yang dulu saya pilih. Saya tidak kecewa meskipun dulu gagal masuk Fakultas Sastra karena sekolah saya bukan SMA, tapi SMEA. Tapi, kemudian, saya bisa juga kuliah di bidang seni di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan salah satu pembimbing tesisnya adalah sastrawan yang puisinya suka saya baca di buku sekolah yakni Sapardi Djoko Damono. Pembimbing lain adalah seorang Abang yang sudah lama saya kenal di dunia seni yakni Merwan Yusuf, salah seorang kurator seni rupa terkemuka Indonesia.

Tapi adakalanya, ketika membaca-baca kliping itu, saya senyum sendiri. Puisi-puisi saya waktu itu begitu "mengharukan", begitu culun dan apa adanya. Lihatlah puisi-puisi saya di bawah tulisan ini nanti. Tap mohon jangan tertawa. Satu hal yang pasti: karena puisi-puisi, yang pada awalnya begitu apa adanya, saya menjelajah Indonesia hingga ke luar negeri. Puisilah yang membawa saya ke Jakarta. Pada 1996, saya bersama sejumlah penyair muda Aceh lainnya, diundang mengikuti forum penyair muda Indonesia "Forum Mimbar Penyair Abad 21" di Taman Ismail Marzuki. Forum itu mempertemukan 62 penyair muda Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Dari Aceh kami berangkat berempat: saya, Wiratmadinata, Nurdin Supi dan Rahmat Sanjaya. Dua penyair Aceh lainnya yang juga diundang, Nurdin F Joes dan Nurgani Asyik, tidak bisa hadir.

22789001_10212306650113830_4154755423057307913_n (1).jpg

Itulah awal pengembaraan saya. Itulah momentum yang membuat saya tinggal dan bekerja di Jakarta. Puisi (dan tulisan) -- saya tetap percaya --- bisa membawa kita ke mana-mana. Bisa membuat kita menjadi "sesuatu" yang tak kita sangka-sangka. Sungguh, mimpi pun saya tidak berani untuk pergi ke Jakarta. Apalagi tinggal dan menetap di sana.

                     * * *

333017_2315239156534_2283252_o.jpg

INILAH puisi-puisi saya di awal-awal kepenulisan saya. Puisi itu semua saya tulis pada 1990.

KERETAKAN

Musim murka menelungkup meja persahabatan
kertas tugas berserakan ke mana mana
bergelinding bulu roma senja bercahaya
Di laut, ombak dan badai satukan tenaga
menggulung kehidupan para nelayan dan nahkoda

Di darat, duri menebar di kulit bumi
menusuk dada bocah bocah lugu
Di udara, pelor pelor racun terbang
menembus hati dunia

Tiada terlihat jabat waktu yang melaju
senyum yang terbias terkesan pahit, susah dicerna
cermin di dinding kian lebar retaknya
dibanting garang emosi dunia

Trienggadeng, September 1990

IMG_20180108_112556.jpg

BAYANG KEBAGIAAN

Kidung manis mengusik sepi pekat
berkobaran api di desa-desa
: bahagia tersimpan di pelataran kota

Jambotape, Juni 1990

11251679_10153326366973679_312630083_n.jpg

NYANYIAN MALAM

Lukisan itu terpaku pada kelam
memanggil diriku mengajak pergi
bergembiralah di atas angin senja
jadikan sebagai pilar
getar panas yang tak senada.

Trienggadeng, April 1990

DI SELA-SELA SEPI

puing-puing itu bersatu lagi
dalam makna lain
Bahtera pembawa damai sesaat telah pergi lagi
jauh dan telah jauh sekali
Tinggalkan pelabuhan terpaku menatap jejaknya

Trienggadeng, 1990

12743800_1708662759418172_5532870101314623703_n.jpg

Depok/Jakarta, 8-9 Januari 2018
MUSTAFA ISMAIL | @musismail

Sort:  

Mantap. Mksh afed

Masih banyak yang tak yakin bahwa menulis bisa membawa kita menembus ruang dan waktu, dan saya pun mengalaminya. Btw, ke mana yah abang-abang hebat yang disebut di tulisan ini? Ajak masuk Steemit, dong!

Salam hangat selalu untukmu Pujangga!

Ya mbak. Menulis tak hanya menuangkan gagasan dan medium ekspresi, juga memudahkan hidup kita.

Saya sedang coba mengajak kawan-kawan untuk bergabung. Berapa sudah bikin akun. Nanti rencananya, khusus yang Jakarta dan sekitarnya, akan saya dorong untuk sering ketemu dan berdiskusi. Terima kasih atas apresiasinya mbak. Salam mulia selalu.

Bang, kita kumpul yuk di Jakarta... di Reading Room, tempat saya kumpul bersama kawan-kawan penulis Jakarta juga... selepas saya pulang dari Aceh tanggal 15 ini, biar sekalian kita sama-sama sharing tentang Steemit ini.

Tanggal 27 Januari juga akan saya undang yah ke acara besar Steemit di Bandung, kawan-kawan dari Aceh juga akan datang, kita kumpul lagi bersama-sama...

Salam hangat selalu.

Wah menarik mbak. Saya tunggu undangannya. Sip. Sampai ketemu di Jakarta mbak. Makasih

Oh ya, nanti tolong kabari ke WA saja mbak. Nomor saya 085289994003. Makasih

Pengalaman yang luar biasa! Terima kasih sudah berbagi.

Bagian dari perjalanan hidup. Kegiatan menulis membuat kita menjadi kaya dalam arti lebih luas.

Dulu waktu saya masih kecil budaya sastra itu terasa betul. Bahkan mesjid lamprit secara rutin menggelar lomba baca puisi. Acara berlangsung meriah. Ibu ibu datang menggelar tikar. Anak anak bermain berkejaran, beberapa diantaranya terlelap di atas pangkuan bapak ibu yg asyik mengunyah kacang.

Ya dulu masjid lampriet aktif dengan beragam acara. Semoga sekarang pun begitu

Selalu menarik menyimak pengalaman para penulis, bagaimana berbagi dapat menjadi jalan untuk bertumbuh. Menulis juga perjalanan menuju kepada kekayaan lahir batin, bila dijalani dengan penuh kesungguhan. Salut, jadi penyemangat bagi kami yang masih merintis jalannya menjadi penulis. Mohon bimbingannya dan salam kenal, Bang Mustafa Ismail. (-:

Ya saling berbagi, saling mendukung, saling menguatkan.

Bg, pengen juga jumpa. Saya dulu pembaca sajak. Skrg dah lupa lg. Pengen belajar hehe

Mari kembali belajar menulis. Dan menulis.

Mencerahkan bang, proses panjang sebuah perjalanan.

Amin. Alhamdulillah

Cerita-cerita lama ini perlu bagi orang-orang muda. Lagi, bang.

Semoga bermanfaat

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 64140.77
ETH 3133.36
USDT 1.00
SBD 4.15