Ulos Ni Tondi..

Helai- helai ulos di lemari ibu sudah sejak lama memancing keinginan saya untuk mencari tahu literatur tentang ulos dan memahaminya agar tak hanya sekedar kenal. Rasanya naif; di namaku menyandang Boru Regar tapi minus pengetahuan tentang adat istiadat Tapanuli itu sendiri termasuk ulos tentunya.

Berkenalan dengan ulos semudah mencarinya di toko-toko souvenir tapi perkenalan itu hanya sebatas mengagumi corak dan warna indahnya saja dan saya tak paham makna-makna apa saja yang terkandung dalam selembar ulos. Tentu saja browsing di Om Google banyak membantu hingga kesempatan mempelajari kain tenun ulos lebih dekat itu datang pada saya.

Tahun 2006 ada undangan pesta adat perkawinan saudara di Sipirok Nauli - Tapanuli Selatan. Dari Kota Medan menuju nun jauhnya ke perkampungan masyarakat dengan kultur asli dan adat istiadat yang masih mengikat erat dalam kehidupan benar-benar memukau saya.
Tak hanya itu, jumpa keluarga dari jauh adalah bentuk silahturahmi yang menambah nilai-nilai manusia dalam balutan ukhuwah, manis sekali..

Suatu siang sebelum pesta dimulai, saya berkesempatan bisa bertandang ke rumah salah satu penenun ulos. Seorang ibu paruh baya yang tampak tekun menghentak bilahan kayu alat tenun tradisional (gedokan). Ibu ini juga yang telah membikin pesanan ulos untuk pasangan pengantin saudara saya itu. Ratna Boru Regar satu dari para penenun yang semakin sedikit. Ntahlah.. Mereka kian tergerus oleh kemoderenan. Kaum muda semakin enggan menjadi penenun kain adat cantik itu.
Dalam rumahnya yg sederhana ia menyambut saya dengan senyum ramah. Sambil menenun kami berbincang santai dan banyak informasi yang saya dapatkan tentang ulos dan proses pembuatannya.

Dalam masyarakat Batak; Ulos tak hanya sekedar seulas kain (selendang/ selimut) hasil benang yang dipintal berproses tenun dalam sepekan atau tergantung kesempatan waktu yang digunakan si penenun dengan jenis kain ulos yang dikerjakan.
Kain khas ini mempunyai arti penting dan makna tersendiri dalam perayaan-perayaan sekitar daur hidup mereka. Hal ini dapat dilihat saat upacara adat; dimulai dari kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lainnya selalu ada ulos yang diberikan kepada seseorang.
Bahkan beberapa jenis tertentu dari ulos mempunyai nilai sakral dan simbolis memberikan perlindungan dan keselamatan dalam kehidupan.

Ulos ni tondi yaitu selimut jiwa/ ruh. Merupakan suatu keyakinan salah satu sarana penyelamat.
Ada ungkapan harapan atau doa;
"On ma ulos nasora buruk, naso malosdi las niari, asa naso mumuk di ariparudan. Hara ni i baen ma ulos on onding on di angin nagogo, parsilaungan di las niari payung di ari parudan asa panggobak ni na matondik. "
"Inilah ulos yang tak pernah usang, yang tak layu kena sinar matahari, yang tak lapuk di musim hujan. Karena itu pakailah ulos ini dinding di angin kencang, bernaunglah dari sinar matahari, menjadi payung di musim hujan dan pembungkus/ selimut orang kedinginan." (Ulos_Drs.Sugiarto Dakung-Dirjen Kebudayaan Tahun 1981/1982)

Ada terkandung harapan dan doa-doa baik dari yang memberikan kepada si penerimanya. Terharu saya.. Dan tentu saja ulos mempunyai arti seperti di atas bila penyerahan/ pemberian kepada seseorang dengan melalui upacara adat bukan membeli di toko.

Dengan melihat langsung saya merasakan kesabaran adalah syarat mutlak dalam menghasilkan ulos. Sabar dalam menyusun kerumitan benang menjadi ragam motif. Ada cinta kasih sayang dalam prosesnya. Ada semangat dari jiwa penenun yang seolah menjelma, ada dialog batin dan penghayatan yang dititipkan dalam gerak tiap helai benang, hentakan bilah kayu juga harapan baik dalam selembar kain tenun adat, ulos.
Horas.. horas.. horas..!!