Sejarah Penentuan Hari Jadi Kota Banda Aceh
Hari ini 22 April 2018, Kota Banda Aceh memperingati ulang tahun ke-813. Sebelumnya pernah diperingati pada 9 Mei. Lalu mengapa berubah? Siapa saja yang menentukan tanggal itu, bagaimana sejarahnya? Tulisan ini mencoba menghadirkan beberapa fragmen sejarah terkait hal tersebut.
Ragam fragmen itu saya dapat dalam buku Banda Aceh Hampir 1000 Tahun. Buku ini berisi rangkuman makalah para sejarawan yang terlibat dalam seminar penetapan hari jadi Kota Banda Aceh pada Juni 1988. Saat itu Banda Aceh dipimpin oleh Wali Kota Baharuddin Yahya. Penerbitan buku itu juga atas dorongan mantan Gubernur Aceh, Prof Ali Hasymi selalu ketua panitia pengarah seminar.
Sebagai pemateri dihadirkan beberapa sejarawan, diantaranya Prof Teuku Iskandar putra Aceh guru besar sejarah di Leiden University Belanda, Prof T Ibrahim Alfia MA juga putra Aceh guru besar ilmu sejarah di Universtas Gajah Mada (UGM), kemudian ada juga Prof Hasan M Ambary selaku Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kanwil Depdikbud Aceh, Prof H Ismuha SH, Prof Ibrahim Hasan dan Prof Syamsuddin Mahmud. Seminar dibuka oleh Prof Aly Hasymi, dilanjutkan dengan pidato ilmiah oleh Prof Ibrahim Alfian.
European Hotel di depan Masjid Raya Baiturrahman [Foto: Collectie Tropenmuseum]
Gubernur Aceh saat itu, Prof Ibrahim Hasan dalam sambutannya menilai, penetapan hari jadi Kota Banda sangat penting, sebagai intropeksi sejauh mana sudah kemajuan perjalanannya. Kesinambungan sejarah harus tetap dijaga agar tidak putus. Sementara soal nama kota, Ibrahim Hasan mengatakan secara yuridis formal, namanya Banda Aceh, bukan Kutaraja.
Ibrahim Hasan berargumen, ketika Kerjaan Indra Purwa diproklamirkan menjadi kerajaan Islam, namanya diubah menjadi Kerajaan Aceh Bandar Darussalam. Perubahan itu dilakukan atas inisiatif Sultan Alauddin Johan Syah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah, bertepatan dengan 22 April 1205 Masehi.
Sementara nama Kutaraja merupakan nama yang diubah oleh Jenderal Van Swieten pada 24 Januari 1874. Penyebutan kutaraja yang bermakna benteng raja, sangat politis saat itu, karena Van Swieten ingin membuat kesan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia dan Raja Belanda di Amsterdam bahwa ia telah berhasil menguasai Aceh. Pada kenyataannya ia hanya menguasi sebuah kota, pusat pemerintahan yang ditinggalkan Raja Aceh yang memindahkan pemerintahannya ke Pidie.
Taman di depan Masjid Raya Baiturrahman pada masa Kolonial [Foto: Collectie Tropenmuseum]
Sejak saat itu nama Banda Aceh hilang, baru 89 tahun kemudian, Gubernur Aceh Ali Hasymi mengembalikannya menjadi Banda Aceh. Penetapan kembali nama Banda Aceh dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des.52/I/43-43, tanggal 9 Mei 1963. Sejak itu ulang tahun Kota Banda Aceh dirayakan pada 9 Mei.
Setelah seminar digelar selama beberapa hari, disimpulkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Alaiddin Johan Syah (601-631 H/1205-1234 M).
Hari jadi Kota Banda Aceh ditetapkan tanggal 1 Ramadhan 601 H bertepatan 22 April 1205 M. Tanggal ini didasarkan pada hari pertama pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Syah yang termaktum dalam naskah “Adat Aceh”.
Istana yang didirikan oleh Sulthan Alaiddin Johan Syah merupakan pusat kerajaan yang bernama Kandang Aceh yang berlokasi di Gampong Pande. Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang memerintah dalam tahun 665 -708 H (1267-1309 M) memindahkan pusat kerajaan Aceh ke seberang Krueng Aceh dan dibangun pusat kerajaan bersama istana baru yang diberinama Kuta Dalam Darud Donya.
Bersama dengan pembangunan Kuta Dalam Darud Donya, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah membangun sebuah mesjid yang diberinama Mesjid Baiturrahman sebagai pusat peribadatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Taman Vreddespark pada masa Kolonial, sekarang bernama Taman Sari atau Taman Bustanussalatin. [Foto: Collectie Tropenmuseum]
Selain itu terkait peranan Banda Aceh dalam perjalanan sejarah disimpulkan bahwa: Banda Aceh sebagai pusat kesultanan Aceh sejak abad ke-16 telah menjelma sebagai pusat kekuasaan politik di Asia Tenggara.
Banda Aceh dengan Mesjid Baiturrahman merupakan pusat Islam (Islamic centre) telah tampil sebagai kota ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Banda Aceh sebagai salah satu kota yang menerima Islam pada awal telah tampil sebagai kota dakwah Islamiah terpenting di Asia Tenggara.
Kemudian, Banda Aceh sebagai ibu kota Kerajaan Aceh telah berperan dalam menghubungkan umat Islam asia tenggara; kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama, penyebaran aliran-aliran yang tumbuh dalam dunia Islam, ketaatan penduduknya serta kemajuan dalam bidang dakwah telah menyebabkan Aceh digelar Serambi Mekkah.
Bagaimana dengan Pidie....? Semoga dlm beberapa tahun ini akan lahir hari jadi Pidie, mohon arahan dan masukannya brader @isnorman
Pidie tahun 2014 sudah kita bahas panjang lebar barder @shofie tinggal aksi tindak lanjutnya dari sana yang belum ada
Iya bg saya juga ikut, brader @isnorman pematerinya, cuma dulu agak sedikit terbatas ruang gerak saya, tpi sekarang mulai leluasa untuk bertindak nyata.. Jadi mohon arahan brader
Susun tim yang kuat, lobi Pemkab untuk memprogramkan penelitian lanjutan ke situs-situs purbakala di Pidie. Hasilnya dibukukan dan dibuat rekomendasi yang berujung pada penentuan hari lahirnya Pidie. saya yakin timnya brader @shofie bisa melakukan itu
Siaapp
Tulisan yang menggugah dan mencerahkan. Juga mencerdaskan. Lanjutkan Bung....
Thanks Brader @sisaifulbahri sudah berkunjung ke blog saja.
Penentuan hari jadi sebuah kota akan selalu memunculkan kontroversial, apalagi jika tidak didukung oleh referensi sejaah yang kuat. Bahkan, beberapa hari jadi tersebut sangat berbau kolonial, menetapkan hari jadi berdasarkan saat peresmiannya oleh pemerintah penjajahan.
Ya dan itu juga terjadi pada Kota Banda Aceh, makanya kemudian diubah setelah diseminarkan dengan melibatkan para pakarnya.