Kisah Wajib Militer Supir dan Militerisasi Perkebunan di Indonesia

in #story5 years ago

Para supir, kenek, montir dan tukang bengkel diberi latihan militer. Militerisasi dilakukan untuk memperkuat tentara bagian pengangkutan dan perhubungan. Demiliterisasi juga dilakukan pada usaha perkebunan.

Pada 8 September 1948, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureu’eh melakukan penertiban senjata yang beredar di kalangan pejuang sipil. Semua surat-surat pas senjata yang pernah dikeluarkan oleh Residen Aceh dan Kepala Polisi Keresidenan (Kapolda) Aceh dibatalkan.

Abu Beureueh wapres hatta inspeksi pasukan.jpg
Wakil Presiden Muhammad Hatta bersama Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Jendral Mayor Titulet Teungku Muhammad Daod Beureu'eh dan Gubernur Sumatera Utara SM Amin melakukan inspeksi pasukan di Banda Aceh. Sumber

Dalam Maklumat No.GM/11/M itu ditegaskan, sejak 1 Oktober 1948 surat pas senjata untuk wilayah Aceh akan dikeluarkan sendiri oleh Gubernur Militer. Hanya tentara dan polisi yang diperbolehkan memakai senjata api.

Para sipil dari berbagai laskar pejuang diminta untuk membawa semua senjata, baik milik pribadi maupun kelompok barisan pejuang, baik yang memiliki surat izin pas sejata maupun tidak, untuk diserahkan kepada Kator Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo di Banda Aceh untuk diperiksa.

Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan menjelaskan, penertiban senjata tersebut dilakukan untuk menata dan membentuk gerakan perjuangan yang lebih terorganisir. Untuk Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur batas penertiban senjata dilakukan sampai tanggal 30 September 1948.

Sementara untuk Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Tengah sampai tanggal 31 Oktober 1948. Selepas tanggal tersebut, barang siapa penduduk sipil yang masih memiliki senjata tanpa surat izin (pas) dari Gubernur Militer senjata apinya akan disita dan pemiliknya akan dituntut dengan pasal kepemilikan senjata ilegal.

Dewan Pertahanan Daerah Aceh_rapat penolkan NST.jpg
Rapat Anggota Dewan Pertahanan Aceh [Sumber] (Repro:_Sekali_Republiken_Tetap_Republiken)

Selanjutnya pada 9 November 1948, Presiden Republik Indonesia, Soekarno mengeluarkan peraturan pemerintah No.64 tentang militerisasi pusat perkebunan negara. Militerisasi tersebut diberlakukan mulai 26 Oktober 1948.

Para pemimpin dan pegawai serta alat-alat untuk pekerjaan sehari-hari tetap berada di bawah kekuasaan Menteri Kemakmuran, tetapi bagi mereka berlaku aturan disiplin dan hukum ketentaraan.

Pada bagian-bagian tertentu yang dianggap perlu untuk keamanan dan pertahanan, akan ditempatkan kesatuan tentara, tapi tidak boleh ikut campur dalam pekerjaan perkebunan. Mereka hanya mengawasi dan berhak memerintah terhadap sesuatu yang bersangkutan dengan hal keamanan dan pertahanan.

Militerisasi perkebunan di Aceh dilakukan karena di Aceh saat itu terdapat banyak perkebunan produktif, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Hasil berbagai komidoti perkebunan dari Aceh diseludupkan ke Semenanjung Melayu (Malaysia) oleh Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA) untuk kemudian dibarter dengan senjata dan berbagai komoditas kebutuhan perjuangan.

Penyelundupan komoditas tersebut merupakan peratungan hidup mati di lautan, karena perairan Selat Malaka saat itu diblokade oleh Belanda. Tapi para penyelundup dari Aceh selalu berhasil melakukannya. Salah seorang penyelundup terkenal di Aceh saat itu adalah kelompok Ibrahim Hasan yang di Malaysia dikenal sebagai Mister Brem dari Aceh.

Para penyelundup asal Aceh juga melakukan kerja sama dengan Mayor Jhon Lie alias Yahya Daniel, pelaut keturunan Tionghoa yang berhasil menyelundupkan perangkat radio dari Singapura ke Sungai Yu, Aceh Tamiang atas perintah Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Tituler Teunku Daod Beureu’eh.

Sampai Sungai Yu, Aceh Tamiang perangkat radio tersebut diterima oleh Nukum Sanany dari pasukan meriam dan diangkut ke pedalaman Aceh. Perangkat itu kemudian dirakit menjadi Radio Rimba Raya.

Menteri Pendidikan Baswedan ke Aceh.jpg
Menteri Penerangan Natsir bersama AR Baswedan berkunjung ke kantor berita penerangan di Banda Aceh Sumber

Dalam buku lainnya, Sekali Republiken Tetap Republiken halaman 21, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Tituler Teunku Daod Beureu’eh pada 18 Januari 1949 juga melakukan militerisasi terhadap para supir dan pembantu supir (kenek) melalui Penetapan No.59-GM-KO.1949.

Isi penetapan tersebut adalah: Pertama, militerisasi semua supir, para pembantu supir (kenek), montir-montir, tukang-tukang, dan bengkel-bengkel motor yang ada di bawah kekuasaan Panitia Angkutan Darat (PAD) dan Serikat Buruh Mobil Indonesia (SBMI) seluruh daerah militer Aceh Langkat dan Tanah Karo.

Kedua, kepada mereka yang telah dimiliterisasi akan diberi surat pengangkatan serta diterima daftar lengkap dari PAD dan/atau SBMI seberapa yang dianggap perlu. Ketiga, mengenai soal pangkat, gaji, catu, pakaian dan sebagainya, begitupun hukum-hukum tersebab kesalahan-kesalahan, untuk mereka yang telah dimiliterisasi akan diberlakukan peraturan-peraturan ketentaraan.

Keempat, dengan adanya penetapan tersebut, maka peraturan sementara mengenai kendaraan dari Panitia Angkutan Darat tanggal 7 Januari 1949 pasal 4 ayat 1 dicabut. Kelima, penetapan ini mulai belaku sejak ditetapkan hari ini, 18 Januari 1949.

Sort:  

Galak teuh ta baca sejarah Aceh.. selama nyo lon kureung teupu secara mendalam sejarah Aceh. Tq bang Isnorman .

Sama-sama Cek Gu @elianaelisma yang sudah singgah di postingan saja.

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66137.63
ETH 3161.38
USDT 1.00
SBD 4.13