Kisah di Balik Perang, Awal Mula Juha Christensen Terlibat Dalam Konflik Aceh
Tulisan ini merupakan lanjutan dari postingan saya sebelumnya di sini tentang kisah Juha Christensen mendobrak jalan buntu damai Aceh. Setelah bertemu Duta Besar Indonesia untuk Finlandia, Ahmad Fauzi dan menghubungi Kapolda Aceh Yusuf Manggabarani, pintu bagi Juha untuk masuk ke Aceh terbuka.
Pada 31 Oktober 2002 Juha sudah berada di Banda Aceh. Ia menginap di Hotel Kuala Tripa. Pada saat yang sama Direktur Henry Dunant Centre ( HDC) Martin Griffith bersama Andrew Andrea dari Jenewa berkunjung ke kantor HDC Aceh di hotel yang sama. HDC merupakan lembaga yang sedang mengupayakan perdamaian untuk Aceh saat itu.
Matin Griffith membuat konferensi pers dan mengumumkan bahwa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) akan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pihak RI dan GAM akan menandatangani penghentian permusuhan. Konferensi pers itu diikuti oleh sekitar 30 orang wartawan dari berbagai media lokal, nasional dan internasional. Juha juga ikut dalam konferensi pers tersebut.
Juha Christensen dalam saat wawancara di kantor PACTA Juni 2013 [foto: dok pribadi]
Saat konferensi pers, Juha duduk di barisan depan, sehingga ketika disorot kamera wartawan, ia tampak. Banyak kawannya di Indonesia yang melihat di konferensi pers itu melalui siaran televisi kaget dan bertanya-tanya, karena Juha tiba-tiba ada di Aceh. Banyak yang mulai membuat perkiraan tentang keberadaannya di Aceh.
Saat konferensi pers ada wartawan yang bertanya kepada Martin, apakah HDC fasilitator atau mediator dalam menangani kasus Aceh. Karena di luar hotel saat itu juga ada unjuk rasa dari beberapa mahasiswa yang menamakan diri mereka Himpunan Mahasiswa Anti Aksi Militer (HANTAM) yang meminta agar HDC menjadi mediator.
“Namun Martin tidak menanggapinya. Dari situ saya terus mengkaji setiap langkah yang dilakukan dalam dialog Aceh. Saya melihat beberapa kelemahan HDC dalam menangai Aceh. Salah satunya tentang pemahaman terhadap kultur masyarakat setempat. Ada beberapa kelemahan lain yang saya prediksikan bisa memunculkan masalah,” jelas Juha dalam satu kesempatan wawancara dengan saya di pertengahan juni 2013 di kantor Peace and Conflict Transformation Alliance (PACTA), lembaga yang dipimpin Juha.
Menurut Juha, masalah itu mulai menjalar pelan tapi pasti. Puncaknya pada 3 Maret 2003 di Aceh Tengah terjadi penyerangan dan pembakaran terhadap kantor Tri-Partit Monitoring Team (TMT) Joint Security Committee (JSC). Tiga hari kemudian, 6 Maret 2003 kantor TMT JSC di Aceh Timur juga dibakar. Kedua insiden ini sangat mengganggu perkembangna proses menuju perdamaian di Aceh.
Juha begitu bersemangat bercerita tentang keterlibatannya dalam penyelesaian konflik Aceh [foto: dok pribadi]
Kemudian pada 16-17 Mei 2003 Tokyo Meeting direncanakan, tapi 5 negosiator GAM di Aceh ditangkap. Malik Mahmud dan Zaini Abdullah protes atas penangkapan itu, tapi mereka tetap ke Tokyo untuk menunjukkan niat baik terhadap perundingan.
Penangkapan negosiator GAM terjadi pada Jumat, 16 Mei 2003 saat mereka hendak berangkat dari Hotel Kuala Tripa ke Bandara Sulthan Iskandar Muda untuk menuju Tokyo melalui Jakarta. Para juru runding GAM yang ditangkap itu adalah: Sofyan Ibrahim Tiba, Teuku Kamaruzzaman, Amni Bin Ahmad Marzuki, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Nasruddin Bin Ahmed.
Pada 19 Mei 2003, status Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2003. Situasi Aceh itu menarik perhatian berbagai media internasional. Saat itu surat kabar terbesar di Swedia Helsingin Sanomat memuat artikel panjang yang menulis bahwa GAM dipimpin dari Stockhlom, sekian puluh ribu kilometer dari Aceh.
“Membaca artikel itu saya memastikan kalau wartawan tersebut memiliki koneksi ke pimpinan GAM di Swedia. Saya menghubungi kantor surat kabar itu dan berjumpa dengan wartawan tersebut. Saya menyatakan keinginan saya untuk berjumpa dengan Malik Mahmud,” ungkap Juha.
Mulai dari sinilah Juha mulai membangun komunikasi dengan petinggi GAM di Swedia. Pada saat yang sama ternyata Jusuf Kala (JK) mengirim orang ke Swedia untuk melobi GAM agar mau kembali berdialog. Namun utusan dari pemerintah RI itu ditolak Malik Mahmud. “Beruntung bagi saya diterima dan bisa memulai membangun pondasi untuk menarik kembali GAM ke meja perundingan.” Lanjut Juha.
Bersama Juha di kantor PACTA [foto: dok pribadi]
Pada 24 Juni 2003 Juha berjumpa pimpinan GAM di Norsborg, Stockholm di rumahnya pimpinan GAM. Mereka yang hadir hari itu ada 7 orang dari pimpinan GAM Swedia, diantaranya: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Muzakir Hamid.
Pada pertemuan selama 3,5 jam itu, Juha memperkenalkan diri serta menjelaskan siapa dirinya dan apa maksud saya. Pendekatan seperti itu membuat dia lebih cepat bisa diterima oleh GAM. Hubungan emosional dengan mereka saat itu sangat bagus. Zaini Abdullah sangat respek. Ia bilang, selama ini banyak yang datang untuk menjumpai mereka tapi tidak memperkenalkan diri seperti yang Juha lakukan. “Mereka datang tapi kami tidak tahu siapa, datang dan hilang. Anda orang pertama yang datang memperkenalkan siapa Anda,” ungkap Juha mengulang ucapan kata Zaini Abdullah.
Setelah pertemuan itu, Juha sangat sering berjumpa dengan pimpinan GAM di Swedia. Setiap mendarat di Stockholm ia selalu berjumpa dengan Zaini Abdullah dan Malik Mahmud biasanya di hotel atau di restoran. “Kami bicara sampai dua tiga jam di setiap pertemuan,” ungkapnya. [bersambung]
Upvote this: https://steemit.com/free/@bible.com/4qcr2i
Upvote this: https://steemit.com/free/@bible.com/4qcr2i
Upvote this: https://steemit.com/free/@bible.com/4qcr2i
Abua juha nyan memang berkelas that cara Jak but, ku preh sambungan jih apa kaoy beh
Siap, akan kita lanjutkan dalam beberapa bagian lagi. Thanks Brader @bangrully sudah singgah dan membaca postingan saya.