Pengalaman Memasak untuk Kekasih Tercinta

in #steempress6 years ago


Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII telah usai. Ingatan kita tentunya merekam banyak cerita. Pun aku. Di Anjungan Kabupaten Aceh Besar, aku mendapat kesempatan bernostalgia pada sekeping masa lalu yang menyenangkan. Masa-masa dapur di rumah kami masih sama modelnya dengan yang ada dalam foto di atas. Begitu juga dengan rak piring yang seutuhnya terbuat dari material kayu.

Tentu, yang aku ingat bukan hanya pada bentuk dapurnya saja, melainkan juga pada bagaimana cara aku memanfaatkan dapur tersebut. Ibuku mengenalkanku pada dapur di usia yang masih sangat dini. Maklum, kami orang susah, tinggal di desa lagi. Saat usia SD aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti menyapu, menanak nasi, merebus air, dan mencuci piring. Bahkan membantu ibu mencuci pakaian.

Melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Melatih kemandirian yang sangat bermanfaat kelak hingga aku dewasa. Aktivitas itu membuatku paham pada kondisi orang tua, sehingga aku tumbuh menjadi anak yang nggak neko-neko.


Membetulkan letak kayu di bawah tungku

Aku ingat, pekerjaan yang tidak pernah kulakukan saat masih SD yaitu menyetrika pakaian. Setrika pada masa itu masih berbahan bakar arang. Sangat berisiko kalau digunakan oleh anak-anak. Karena terbuat dari besi bobotnya pun sangat berat. Barangkali karena dua hal itulah Ibu tak pernah menyuruhku menyetrika pakaian.

Apa pun yang kulakukan di masa itu, aku sangat menikmatinya. Tidak ada perasaan terbebani apalagi merasa itu sebagai kewajiban. Justru aku merasa senang karena bisa membantu orang tua.

Kembali ke cerita dapur di atas, begitulah penampakan dapur asli orang Aceh di masa lalu. Masa-masa belum mengenal kompor minyak apalagi kompor gas. Belum familier dengan merk Hock, Rinai, atau Hitachi si api biru. Dapur orang Aceh tempo dulu masih menggunakan bahan bakar dari kayu. Alami dari hutan. Dikumpulkan dengan modal sebilah parang untuk reulek kayu. Se-Indonesia raya pun begitu adanya kukira.


Ragam makanan khas Aceh Besar.

Dapur ini terbuat dari kayu yang dirakit seperti meja berukuran rendah, lalu di atasnya ditaruh tanah. Di atasnya disusun batu bata sebagai nungke atau tungku, ada juga tungku yang terbuat dari besi berkaki tiga. Dari sela-sela tungku itulah diselipkan kayu bakar saat memasak.

Untuk meniup api, biasanya terdapat suloh. Yaitu potongan bambu yang kedua ujungnya sudah dibolongkan. Via suloh ini angin jadi tersentralisasi sehingga langsung ke pusat sasaran. Selain itu juga berfungsi untuk melindungi moncong kita saat meniup bara.

Begitulah, meski sangat tradisional makanan yang dimasak dengan bahan bakar kayu rasanya lebih sedap. Begitu pengakuan para orang tua yang lidahnya sangat sensitif soal rasa. Sama seperti mereka mengatakan masakan yang bumbunya digiling dengan batu giling tradisional rasanya lebih enak. Apa pun itu, enak atau tidak enak sangat ditentukan oleh suasana hati. Betul apa betul?[]

Catatan: judul sengaja dibuat tidak nyambung


Posted from my blog with SteemPress : https://senaraicinta.com/2018/08/16/pengalaman-memasak-untuk-kekasih-tercinta/

Sort:  

good post !!

It'll be a big help to you.

Hahahahhahahahahhaa kucariii lah dimana bagian yang ngejelasin judul... 😂😂

hahahhahaha ada di bagian paling bawah, kan? wkwkwkkw

Yang di dalam beulangong tanah liat itu jangan dibawa pulang.

nggakbisa dibawa pulang....

Sekilas seperti ada sorabi, klo tidak salah lihat saya hehee.. @ihansunrise

itu namanya apam kalau di Aceh, Pak @imam03. Terbuat dari adonan tepung beras, pakai santan, garam dan sedikit gula.

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 63945.57
ETH 3135.76
USDT 1.00
SBD 4.00