Dari Kayu sampai Emas: Diskusi FJL

abuarkan (67)in #steempress • 6 years ago (edited)

Di bawah atap seng yang mulai hangat, diskusi berlangsung seru. Tentang lingkungan dan hutan Aceh yang semakin tergerus. Aku memimpin diskusi yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh yang dihadiri para narasumber terkait, jurnalis dan aktivis lingkungan, Rabu 29 Agustus 2018.

Memantik diskusi, aku menyodorkan kondisi hutan Aceh sesuai data Walhi Aceh, 2017. Hutan Aceh kritis, tercatat dengan laju kerusakan sekitar 26.835 hektar. Prediksi kerusakan di tahun berikutnya bisa mencapai 29.928 hektar per tahun.

Sekadar perbandingan, luas Hutan Aceh sesuai data HaKA tahun 2006 adalah 3.029.256 hektar, sementara luas total wilayah Aceh adalah 5.677.081 hektar.

Kerusakan besar masih dipengaruhi oleh izin perkebunan dan pertambangan, pembukaan lahan, pembalakan liar dan beberapa lainnya. Ini memicu bencana alam, banjir dan lonsor paling sering. Sepanjang 2017, tercatat 120 bencana alam dan lingkungan, dengan perkiraan kerugian Rp 1,5 triliun. Banjir paling banyak, 38 kali dan longsor sebanyak 25 kali.

Kaki Gunung Leuser, April 2016 | Foto: Adi W

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mendapat waktu pertama bicara soal hutan. Dia meminta semua HGU di Aceh untuk dievaluasi. Dia menilai selama ini belum pernah izin tersebut ditinjau ulang oleh Pemerintah Aceh.

Miris, kenyataannya banyak izin kemudian bermasalah terutama munculnya konflik antara perusahaan dan warga. Bahkan di Aceh Tamiang, warga terpaksa dijadikan tersangka oleh polisi, karena dinilai menguasai lahan HGU, padahal sebagian lahan adalah wilayah administrasi salah satu desa di sana. Saat ini kasus tersebut sedang diadvokasi LBH Banda Aceh.

Salah seorang kepala Bidang di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Naharuddin Hasan mengatakan saat ini masih ada beberapa HPH maupun izin lainnya yang berlaku cukup lama di Aceh. Misalnya ada HPH yang tercatat masih berlaku sampai tahun 2050. Hanya saja, HPH tidak dapat beroperasi setelah adanya morotarium logging di Aceh sejak Juni 2007 silam.

Dok. JPL

Di lain sisi, kebutuhan kayu yang makin banyak di Aceh kemudian memicu terjadinya illegal logging yang berimbas pada kerusakan lingkungan. Perlu tanggung jawab bersama untuk mengawasi hal ini, bukan hanya oleh pemerintah saja.

HGU juga menjadi persoalan lain, banyak yang kemudian masuk dalam wilayah hutan lindung. Jjika begini, pemerintah terus menyurati perusahaan untuk keluar dari sana. Sementara masih terus dicari jalan keluar untuk sengketa lahan perusahaan dan warga, hal yang saban waktu terjadi di Aceh.

Lokasi Rawa Tripa, Juni 2018 | Foto: Adi W

Sedikit kemajuan di perizinan sektor tambang seperti disampaikan oleh perwakilan dari Dinas Pertambangan, Energi dan Mineral Aceh, Sayid Faisal. Dia memaparkan tentang potensi cadangan mineral (besi, emas, tembaga, lainnya) dan batubara yang masih sangat banyak di Aceh, tetapi terkendala sistem pengelolaan.

Izin pertambangan di Aceh kerap dilakukan evaluasi. Saat ini hanya tercatat 29 izin usaha mineral logam dan batubara di Aceh. Sebagiannya diakui ada di hutan lindung.

Pemerintah Aceh sebelumnya telah melakukan moratorium usaha tambang, yang berhasil mencabut izin banyak perusahaan hasil evaluasi yang digelar pada tahun 2014. Sebelumnya ada sekitar 138 izin. Saat ini, diakui Faisal, masih ada jeda moratorium tambang di Aceh.

Diskusi FJL semakin ramai dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan dari peserta. Sekitar 10 orang memberikan pendapatnya tentang hutan Aceh yang dinilai semakin kritis saja. Sementara jalan keluar masih terus dicari. Dan kurasa, isu hutan dan lingkungan di Aceh tak ada habisnya dikupas, tak tuntas-tuntas. []

@abuarkan
Adi Warsidi