Kesaksian Prof Ali Hasjmy Terkait Perebutan Pangkalan Udara Lhoknga

in #realityhubs4 years ago

Penuturan pelaku sejarah perbutan pangkalan Udara Lhoknga, Prof Ali Hasjmy dalam bukunya, "Semangat Merdeka" halaman 309-313. Buku ini diterbitkan di Jakarta pada tahun 1985 oleh Penerbit Bulan Bintang.

Tentang pertempuran merebut Pangkalan Lhoknga akan saya ceritakan agak panjang, karena bukan saja ia berbeda dengan pertempuran di tempat lain, tetapi juga dan terutama karena saya pribadi ikut merencanakan penyerbuan dan kemudian ikut menjadi anggota "Delegasi Republik" dalam perundingan.

Sebagaimana di tempat-tempat lain, sejak bulan September 1945 di Lhoknga telah berdiri Cabang IPI/BPI/PRI dengan Ketuanya Teuku Manyak Lamlhom dan Sekretarisnya Abdullah Syam. Barisan Perjuangan dari organisasi tersebut dipimpin Nyak Neh, Pawang Leman, Teungku Ahmad Adam dan lain-lain.

Pada akhir November 1945, Pimpinan PRI dan Pimpinan Barisan Perjuangannya mengadakan perundingan dengan Pimpinan Markas Daerah PRI yang terbatas bertempat di rumah Ketua Umum PRI, A. Hasjmy, di jalan buntu tanah lapang Blang Padang Banda Aceh. Pimpinan Barisan Perjuangan PRI Lhoknga, Nyak Neh, menyampaikan rencana penyerbuan terhadap Pangkalan Lhoknga yang demikian kuatnya, pangkalan mana dipertahankan satu Resimen Angkatan Darat Jepang dan diperbuat satu kompi Angkatan Laut dan sejumlah Angkatan Udara, yang ikut pada Angkatan Darat.

Pada prinsipnya kami menyetujui rencana penyerbuan tersebut dan juga kami setujui ancar-ancar waktu tanggal 1 Desember 1945. Untuk keperluan penyerbuan yang telah direncanakan itu, kami beri kuasa kepada Nyak Neh dan Pimpinan PRI/Barisan Perjuangan lainnya untuk menghubungi para Pimpinan cabang-cabang PRI lainnya dalam Kewedanaan Kutaraja.

meriam lhoknga.jpg
Meriam PSU Pangkalan Udara Lhoknga Sumber

Dengan cara yang amat rahasia, persiapan-persiapan penyerbuan terus dilaksanakan. Cabang-cabang PRI Leupung, Peukan Bada, Lampeuneurut, Bilui dan sebagainya telah menyiapkan ribuan tenaga pemuda anggotanya dan rakyat umum.

Pada malam 30 November 1945, beribu-ribu rakyat yang siap syahid telah berkumpul di kampung-kampung sekeliling Pangkalan Lhoknga, menunggu saat penyerbuan pada waktu subuh tanggal 1 Desember 1945. Penyerbuan yang berada langsung di bawah komando Nyak Neh dan Pawang Leman terlaksana sepenuhnya pada waktu subuh tanggal 1 Desember 1945.

Pasukan PRI/Rakyat yang datang dari jurusan Leupung di bawah pimpinan Cutlem Rahman menyerbu tangsi Angkatan Laut yang terletak di pinggir sungai Krungraba.

Pasukan PRI/Rakyat yang datang dari jurusan Lampuuk-Lamlhom di bawah pimpinan Teungku Ahmad Adam dan Teuku Manyak menyerbu tangsi Angkatan Udara sekitar lapangan terbang.

Pasukan PRI/Rakyat Lhoknga, Kueh dan Keude Bieng menyerbu tangsi Angkatan Darat dan Tangsi Angkatan Laut yang terletak di sekitar Kampung Lhoknga dan penyerbuan ini langsung dipimpin oleh Nyak Neh sendiri.

Pasukan PRI/Rakyat yang datang dari Mata Ie dan Lampeuneurut di bawah pimpinan Teuku Raja memperkuat front timur yang dipimpin Nyak Neh. Demikian pula satu regu TKR di bawah pimpinan Said Usman dan Abdullah Masri bertempur di front timur.

Isteri Nyak Neh (Ibu Razali), Mak Dalam dan Ibu-ibu lainnya yang cukup banyak mempersiapkan "dapur umum" dengan ribuan "bu-kulah" (nasi bungkus) untuk tiap-tiap waktu makan.

Penyerbuan yang dilakukan cara mendadak, menyebabkan pihak tentara Jepang panik, sehingga dengan mudah menjadi makanan empuk bagi rencong-rencong dan kelewang-kelewang Aceh.

Kira-kira pukul 11 siang, seorang Kempetai (kawan saya sejak lama) yang namanya terkenal dengan Si Balok datang ke Markas Daerah PRI menjumpai saya. Kemudian dengan mobilnya kami dan tambah Said Ahmad Dahlan bersama-sama ke tempat kediaman bekas Ajeh Syu Tyokan, S. Iino, (Gubernuran) dan di sana telah berkumpul (yang masih saya ingat) Tyokan, Kempiteityo (Komandan Polisi Militer), Residen Teuku Nyak Arif, Ketua Komite Nasional Tuwanku Mahmud, Teuku Muhammad Ali Panglima Polem dan Teuku Ali Lamlagang.

Setelah semua kami terkumpul, Tyokan memberitahu bahwa di Pangkalan Lhoknga telah terjadi pertempuran sejak pagi antara orang-orang PRI dan Rakyat dengan tentara Nippon. Pertempuran tersebut perlu diakhiri dengan segera dan tuan-tuan saya harap sekarang juga pergi ke sana, demikian Tyokan lewat jurubahasa T. Eiri.

Setelah makan siang yang sudah disediakan, kira-kira pukul 12.30 kami berangkat ke Lhoknga. Saya bersama Said Ahmad Dahlan dalam mobil perwira Kempetai Si Balok dan berjalan di depan sekali, kemudian Residen Teuku Nyak Arif dan Tuwanku Mahmud bersama-sama dalam mobil Kempetai-Tyo (Komandan Polisi Militer) berjalan di belakang kami dan dalam mobil terakhir yang menyetirnya seorang Perwira Kempetai menumpang Teuku Muhammad Ali Panglima Polem dan Teuku Ali Lamlagang.

Kami baru sampai di Pangkalan Lhoknga sekitar pukul 3 sore, berhubung sepanjang jalan dari Banda Aceh ke Lhoknga telah dihalangi dengan pohon-pohon asam yang telah dipotong oleh rakyat atas instruksi Pimpinan PRI setempat, yang maksudnya untuk menghambat bantuan Jepang dari Banda Aceh.

Satu persatu halangan itu disingkirkan kembali oleh Rakyat atas anjuran Ketua Umum PRI, A. Hasjmy, yang bersama Si Balok dalam mobil terdepan. Dari jauh kami telah melihat di Keude Bieng tentara Jepang telah memasang puluhan goni pasir di atas jalan. Setelah Si Balok memberi isyarat, barulah kami diizinkan menuju ke Pangkalan Lhoknga yang jauhnya kira-kira dua kilometer lagi.

pabrik senjata lhoknga perbaiki meriam.jpg
Pabrik senjata di Pangkalan Udara Lhoknga Sumber

Setelah kami sampai di Hon-Bu (Markas Pangkalan Lhoknga), di sana saya lihat Komandan Pangkalan Lhoknga dan sejumlah perwira lainnya telah menunggu kedatangan kami.

Dalam perundingan, pihak Jepang meminta agar pertempuran diselesaikan dengan baik. Teuku Nyak Arif sebagai Ketua Delegasi Republik menyatakan, bahwa pihak kami menyetujui penghentian pertempuran dengan syarat: Jepang harus menyerahkan Pangkalan Lhoknga kepada Residen Aceh, dan dalam hal ini kepada Pimpinan Pemuda Republik Indonesia, dan semua senjata dan perlengkapan lainnya harus diserahkan juga.

Pihak Jepang sangat keberatan menerima syarat pihak Republik Indonesia, sehingga perundingan hampir menjadi macet, karena kami tetap dengan syarat-syarat yang kami kemukakan.

Selagi perundingan berjalan panas dan kepada kami disugukan susu panas dengan roti kering, saya melihat prajurit-prajurit Jepang lewat di depan Hon-Bu mengusung teman-temannya yang telah menjadi korban rencong atau kelewang Aceh.

Setelah waktu hampir jam 5 sore, dan Jepang sangat takut kalau pertempuran berlarut sampai malam, barulah Jepang menyetujui syarat-syarat kami yang telah diperingan, yaitu :

  1. Pangkalan Lhoknga akan diserahkan kepada Pimpinan Pemuda Republik Indonesia, dan mereka semua akan pindah ke Pangkalan Blangbintang dalam waktu empat atau lima hari.

  2. Mereka hanya boleh membawa semua pakaiannya, masing-masing perwira/perajurit hanya boleh membawa satu senjata ringan, pestol atau senapan.

  3. Residen Aceh dan Pimpinan Barisan-Barisan Rakyat menjamin keselamatan pasukan-pasukan Jepang dari Kabupaten Pidie dan Aceh Besar yang berangkat dan berkumpul di Pangkalan Blangbintang.

  4. Pangkalan Blangbintang dijamin tidak akan diganggu lagi dan kalau ada sesuatu yang timbul, harus diselesaikan dengan perundingan.

Setelah persetujuan tercapai, diserukanlah penghentian pertempuran. Dalam mobil Si Balok saya dan seorang perwira Jepang mengelilingi Pangkalan Lhoknga, demikian pula Said Ahmad Dahlan bersama1'seorang perwira Jepang dalam mobil yang lain. Kami menyerukan penghentian pertempuran dalam bahasa Aceh sementara perwira Jepang dalam bahasa Jepang.

Kira-kira pukul 6 sore selesailah segala-galanya untuk hari itu. Saya bersama Said Ahmad Dahlan dan Tuwanku Mahmud sebelum kembali ke Banda Aceh menemui Nyak Neh, Pawang Leman dan teman-teman lainnya. Kami semua bersyukur, karena perjuangan telah berhasil. Persenjataan/perbekalan yang ditinggalkan cukup banyak.

Lima hari kemudian, yaitu tanggal 5 Desember 1945, seluruh tentara Jepang meninggalkan Pangkalan Lhoknga menuju Pangkalan Blangbintang, dengan catatan bahwa dalam pertempuran 1 Desember lebih 20 tentara Jepang mati dan sebelas Mujahid Aceh syahid.

Semenjak tanggal 6 Desember 1945, Pangkalan Lhoknga resmi dikuasai Pemuda Republik Indonesia, dan di pangkalan yang bersejarah ini kemudian ditempatkan Markas Besar Kesatria Pesindo Divisi Rencong, sementara Pangkalan Blangbintang setelah Jepang pergi dikuasai Divisi Rencong Batalion Lambaro Angan.[*]


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63457.41
ETH 3119.12
USDT 1.00
SBD 3.94