---

---

Al-kisah pada sebuah negeri yang subur; kaya hasil alam, memiliki keberagaman yang sangat unit, bayangkan saja bahasa negeri daerah negeri ini mencapai 652 bahasa.

Kisah ini diceritakan secara turun-temurun, sudah menjadi kebiasaan para pejabat kita, seolah-olah menjadi wajib serta berdosa bila tidak melakukannya, siapapun menjadi pejabat negeri ini; baik pejabat lama atau baru punya program open house.

Jadwal open house pun dipilih tepat pada hari-hari penting; biasanya mengacu pada kepercayaan agama sang pejabat. Ramai-ramai mereka membuat program open house. Seseuatu yang positif dipandang oleh kebanyak pengamat; menjadi progam pro rakyat sebab “dianggap” dekat dengan rakyat.

Tidak ada yang salah dengan kebiasaan open house ini, saya rasa mirip dengan halal bilhalal atau silaturrahmi yang melekat dengan budaya kita.

Diceritakan pula, open house lebih sekedar jabat menjabat tangan, saling lempar senyum serta melaporkan perkembangan-perkembangan yang membuat bapak senang (asal bapak senang). Sikap seperti ini mengendurkan semangat positif dari open house.

Kaku dan formalistik menjadi hal yang sering ditemui dalam kegiatan open house. Alangkah baiknya, open house bisa membuat para pejabat (pemangku kepentingan) untuk terjadinya open mindset terhadap keluhan dan kebutuhan rakyat, bukan sekedar kegiatan berleha-leha dan ditutup dengan makan-makan serta selfi dibeberapa sudut ruangan yang ada.