Ibu, Aku Rindu Kasih dan Sayangmu

in #konseling6 years ago

unhappy-389944_960_720.jpg
Gambar : pixabay

Kami membuat janji bertemu hari itu di ruang konseling saat jam istirahat pertama. Aku menjadwalkan sesi khusus untuk anak ini karena beberapa guru menyampaikan kepadaku sebagai bahwa anak ini bicaranya kasar, asal nyolot bahkan dia sering bicara di saat yang tidak tepat. Kata-kata seperti jnck, t*i, serta para kerabat kebun binatang sudah terbiasa diucapkan. Sebut saja namanya AA. Seorang siswa laki-laki kelas 9 SMP.

Sudah berulang kali beberapa guru menegurnya, tentu dengan harapan agar dia bisa merubah sikap dan tutur katanya. Namun teguran demi teguran itu dianggapanya seperti angin lalu. Sebagai guru bimbingan dan konseling aku pun melakukan observasi pada anak ini saat saat ada jam layanan klasikal di kelasnya yang hanya 40 menit per minggu itu, meski seharusnya 2 x 40 menit per minggu sesuai dengan Peraturan Permendikbud Nomer 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan Konseling. Itu sudah mending diberi jam bimbingan di kelas, karena ada beberapa sekolah yang belum mendapatkan jam bimbingan di kelas.

Selain melakukan observasi mandiri, aku pun meminta informasi dari beberapa teman di kelasnya yang dapat aku percaya. Mereka saya sebut sebagai informan. Informasi dari mereka sangat penting sehingga saya bisa melihat peristiwa dari dua sisi, satu dari guru mata pelajaran dan satunya dari kacamata siswa.

Memang, hal yang dilaporkan oleh beberapa kolega saya itu pun benar adanya, hingga aku merasa perlu untuk menjadwalkan sesi khusus konseling individu untuk anak ini. Ini adalah salah satu bentuk layanan responsif dalam bimbingan konseling.

Setelah kami bicara tentang topik netral untuk mengawali sebuah sesi konseling, aku pun menyampaikan tujuanku mengundangnya ke ruang konseling. Aku juga sampaikan padanya bahwa aku ingin berbicara dari hati ke hati dengannya. Setelah dia terlihat merasa nyaman, aku pun menyampaikan padanya tentang keluhan beberapa guru mengenai sikapnya yang sering tidak sopan saat berbicara dan sering memotong kalimat guru dengan celetukan yang membuat kuping panas bagi yang mendengarnya. Selain itu, sikap dan perilakunya yang cenderung sak karepe dewe membuat guru tidak segan untuk memberikan peringatan yang keras padanya.

Memang ada beberapa faktor yang menyebabkan anak berkata kasar, antara lain:

  1. Sebagai sarana untuk meluapkan emosi.
  2. Berkata kotor sebagai suatu kewajaran.
  3. Agar dianggap gaul dan macho
  4. Agar diterima oleh kelompok teman sebayanya.
  5. Sebagai ungkapan perlawanan atau permusuhan. Karena dia selama ini merasa ditekan, dibatasi.
  6. Sering mendapatkan perlakuan kasar sehingga ada keinginan untuk memberontak.
  7. Imitasi atau meniru orang-orang di sekitarnya.

Singkat cerita, di akhir sesi konseling dia pun berjanji akan merubah perilaku negatifnya tersebut. Aku pun memberikan kepercayaan pada dia bahwa dia akan mewujudkan janjinya itu.

Setelah pertemuan pertama itu, aku melakukan kolaborasi bersama wali kelas dan beberapa guru. Kami melakukan observasi dan evaluasi tindak lanjut kepada AA ini selama di sekolah khususnya saat berada di kelas.

Ternyata janji yang pernah diucapkan pun menguap tanpa bukti. Aku pun menjadwalkan konseling individu sesi kedua. Kali ini saya pun menagih janji yang telah diucapkannya. Dia pun akhirnya bercerita panjang lebar tentang bagaimana hubungan dia dengan keluarganya di rumah. Bagaimana ibunya selalu berkata kasar padanya sehingga dia tidak kerasan di rumahnya sendiri. Belum lagi kedua kakaknya yang turut “menekan” dia dan sering memarahi dia mulai dari hal makan. AA tidak mau makan bila tidak ada lauk ikan atau ayam. Dia sering mendapatkan cercaan dan sindiran kalau dia itu sejak lahir sudah menyusahkan orangtua, bahkan kelahirannya hampir menyebabkan ibunya meninggal. AA juga sering dituduh sebagai salah satu penyebab ayahnya meninggal oleh keluarganya. Dia pun menceritakan saat-saat ayahnya meninggal karena serangan jantung.

AA merasa tidak diterima dan tidak dihargai dalam keluarganya sendiri. Dia pun merasa sebagai anak yang tidak diharapkan. Selama bercerita berbulir-bulir air matanya jatuh tanpa kendali. Aku pun melihat beban yang berat menggelayut di pundaknya.

Dia pun akhirnya sering memilih tinggal dengan ibu asuhnya dulu semasa dia kecil. Apalagi saat ibu atau saudaranya marah, dia akan menginap di rumah ibu asuhnya yang tinggal berbeda gang di kampungnya. Saat kecil dia ditinggal ibunya bekerja sehingga harus dititipkan ke salah seorang tetangganya. Menurut AA justru ibu asuhnya itu lebih menyayangi dirinya, lebih perhatian dan lebih pantas dianggap sebagai seorang ibu. Ibu kandungnya tidak lebih “hanya” sebagai ibu biologisnya semata.

Konseling hari itu aku cukupkan setelah dia merasa lega karena sudah bercerita. Aku pun meminta persetujuannya untuk mengundang ibunya ke sekolah. Ini hal yang sangat penting. Awalnya dia menolak karena dia takut kalau sang ibu akan semakin marah padanya karena dipanggil oleh guru BK. Setelah aku yakinkan bahwa harus ada pihak ketiga (dalam hal ini Guru BK) yang bisa menjalin komunikasi yang baik untuk mengutarakan apa yang sebenarnya AA maui dengan bagaimana pandangan ibu terhadap AA. Aku pun memotivasinya untuk tetap berusaha menjadi anak yang berperilaku baik.

Aku pun menitipkan surat undangan untuk orangtua AA di rumah sembari berpesan padanya agar menyampaikan surat tersebut dengan tutur kata yang baik dan sopan. Apabila ibunya marah, menunduklah dan jangan sampai membalas kata-kata amarahnya. Sampaikan informasi yang ada dan mintalah maaf pada ibu.

Tiba hari dimana ibu AA datang ke sekolah. Setelah aku persilahkan duduk dan mengisi buku tamu. Setelah aku menyampaikan maksud dan tujuanku mengundang beliau, sang ibu pun bertubi-tubi meminta maaf atas kelakuan anaknya. Ibu itu pun dengan penuh emosi dan menggebu-gebu menceritakan apa yang selama ini ada dalam benaknya. Sambil sesekali mengusap air mata yang jatuh membasahi jilbab merah muda yang dikenakannya. Aku sodorkan tisu untuk padanya.

Dia menceritakan bahwa AA tidak pernah mau nurut padanya. Dia juga mengatakan kalau AA lebih sayang pada ibu asuhnya. Nampak ada api cemburu yang membara sebagai seorang ibu ketika anaknya lebih berpihak pada orang lain daripada pada dirinya sebagai ibu kandungnya.
Ibu AA pun menceritakan berbagai hal tentang AA saat di rumah. Dan ceritanya pun tidak berbeda jauh dengan cerita AA padaku tempo hari.

Tanpa aku duga AA datang ke ruang BK padahal aku tidak memanggilnya saat itu. Ternyata AA disuruh datang ke BK oleh wali kelasnya karena tahu kalau ibunya sudah datang di sekolah. AA pun langsung duduk di sebelah ibunya. Tanpa pikir panjang, ibu AA yang masih bercampur aduk perasaannya dipadu dengan rasa marahnya pada AA langsung menjewer telinga AA sambil mengatakan hal-hal yang menunjukkan penyesalannya atas perilaku AA di sekolah.

Tak hanya itu, ia pun memukul mulut AA beberapa kali tanpa kendali. Aku pun berusaha untuk menghentikannya. Dengan masih “nyerocos” ia pun berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya. AA pun hanya tertunduk malu dengan muka yang merah padam. Tidak hanya malu karena perlakuan ibunya, tapi ada rasa marah yang terpendam dalam-dalam nampak dalam sorot matanya.

Setelah semua reda, aku pun berbicara dengan ibu dan anak tersebut, tentang apa yang masing-masing dirasakannya. Aku pun juga mengajak mereka agar berbesar hati untuk saling memaafkan, juga untuk terus berlatih agar saling mendengarkan. Tidak mudah memang, tapi harus dicoba untuk hubungan yang lebih baik.

Aku yakin itu hanya awal saja dan kemungkinan besar belum berdampak banyak seperti yang diharapkan. Perlu ada pertemuan-pertemuan berikutnya untuk hasil yang lebih baik. Tapi semuanya terkendala juga oleh waktu. Target minimal adalah adanya perubahan perilaku yang positif pada AA, terutama dalam hal tutur katanya.

Dari sekelumit kisah di atas banyak makna yang bisa diambil. Menjadi orangtua tidaklah mudah. Pun menjadi seorang anak bukanlah menjadi hal yang gampang. Orangtua tidak hanya bertugas melahirkan anak, membiayai sekolahnya, memenuhi kebutuhan hidupnya. Jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana mengisi jiwanya, mengelola perasaannya dan menerimanya tanpa syarat. Berikanlah mereka cinta yang tak bersyarat. Maka anak pun akan merasa nyaman berada di pelukan.

Sesungguhnya kata-kata kotor, makian dan sikap tak sopannya hanyalah wujud protesnya pada keadaan. Tapi apakah kalau demikian berkata kotor adalah suatu hal yang pantas? Tentu jawabnya tidak. Karena berkata kotor adalah suatu hal yang negatif. Itu hanya menunjukkan ketidakmampuannya dalam menghadapi lingkungannya dengan cara yang baik. Mereka hanya anak-anak frustasi tanpa teman bicara. Mereka tidak mampu mengekspresikan kompleksitas emosi mereka dan selalu bereaksi secara spontan.

Tentu tidak sedikit anak-anak dan remaja yang dengan santainya mengucap kata-kata kotor dan kasar. Bahkan yang memilukan, masih ada sebagian masyarakat yang menganggap hal tersebut adalah hal yang “biasa” dan dapat dimaklumi. Maka mereka pun hanya sepintas lalu dalam mengingatkan kelompok ini, tanpa dicari akar permasalahan mengapa anak tersebut memunculkan perilaku negativisme tersebut.

Memang perkembangan otak remaja masih “on progress”. Mereka belum memiliki daya pengendalian yang sama terhadap spontanitas mereka. Bagian korteks prefrontal-nya (bagian otak yang membantu salah satu berpikir ke depan dan menyesuaikan perilaku berdasarkan konsekuensi potensial) masih berkembang.
Namun, itu bukan alasan bagi para remaja untuk tidak belajar dalam mengontrol perilaku impulsif dan tingkah laku kasarnya. Dengan berlatih terus menerus dalam menangani emosinya (tentu dalam dampingan dan dukungan orang dewasa di sekelilingnya) maka hal ini akan efektif untuk membantu syaraf otak dalam menangani emosi dan spontanitas sepanjang hidup.

Orang tua pun juga harus terus belajar, update informasi tentang perkembangan anak dan memposisikan anak sebagai subjek, bukan sebagai objek. Menjadi orangtua tidak ada sekolahnya. Tapi tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak belajar menjadi orangtua.

Menurut hemat penulis, betapa pentingnya SEKOLAH BAGI ORANG TUA. Tidak harus berwujud lembaga formal seperti sekolah anak-anak kita, namun akan lebih berwujud sekolah yang bersifat informal.
Selama ini, memang sudah banyak seminar-seminar atau pelatihan menjadi orangtua efektif. Tetapi biasanya berbayar dan harus merogoh kocek yang agak dalam. Tentu hal ini tidak akan tersentuh bagi para orangtua dalam kalangan ekonomi bawah. Jangankan mengikuti seminar, untuk makan besok pun masih harus mikir dapat uang dari mana.

Sort:  

Jadi kangen orang di kampung halaman...

Posted using Partiko Android

Ideem. Aku jadi rinduuu. 😔😔

Sedih bacanya ... betapa jadi orang tua itu memang berat, tapi tak banyak yang menyadarinya. Alih2 meredam emosi terhadap sikap anak, malah terkadang anak jadi pelampiasan emosi atas rasa tidak nyaman dari pihak lain. Pada akhirnya anak tumbuh ke arah yg tidak diharapkan, lalu si anak pula yg disalahkan.

Sy sudah menjalani yang seperti ini bertahun-tahun dan mengajarkan orang tua tidak mudah, lebih keras kepala dan sulit sekali berubah. Lebih banyak alasannya dan maunya. Alangkaglh menyenangkannya bila orang tua pun sadar bahwa mereka bisa salah dan mau berubah menjadi lebih baik, bukan hanya selalu menuntut anak dan orang lain baik saja.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64223.84
ETH 3158.34
USDT 1.00
SBD 4.29