Mengenang Bram Aceh

Sumber: Majalah Kartini No 240, 1983/ Koleksi @tinmiswary

Tuan dan Puan Steemians…

Dalam postingan kali ini saya akan menyajikan ulang cuplikan kisah seorang penyanyi terkenal tempo doeloe. Namanya Bram Titaley dan lebih populer dengan Bram Aceh.

Informasi tentang Bram Aceh ini saya peroleh dari Majalah KARTINI No. 240 terbitan tahun 1983. Pada saat dilakukan wawancara pada 1983, Bram sudah berusia lebih dari 70 tahun dengan jumlah cucu 21 orang dari 6 orang anak. Penggunaan nama Aceh di belakang namanya, seperti diakuinya sendiri adalah untuk membedakan Bram Titaley dengan Bram-Bram yang lain.

Dia lahir di Aceh pada 4 Maret 1913, jauh sebelum Republik ini berdiri. Bram adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Meskipun lahir dan tumbuh di Aceh, tapi Bram sebenarnya berdarah Ambon, Maluku.

Pada saat masih remaja, Bram adalah pemain sepak bola. Sejak remaja, Bram dengan postur setinggi 170 cm juga sudah sering menyanyi di jalanan bersama teman-temannya.

Menurut pengakuannya kepada KARTINI, dia meninggalkan Aceh pada 12 Februari 1933. Saat itu, kepada orang tuanya, Bram mengatakan akan mencari pekerjaan di pulau Jawa. Mendengar alasan Bram, orang tuanya tidak menghalangi dan memberi izin kepadanya untuk berangkat ke seberang.

Padahal, seperti dicatat KARTINI, keinginan Bram ke tanah Jawa karena tertarik pada wanita-wanita cantik yang ada di sana. Waktu itu, para tentara Belanda yang mampir ke Aceh menceritakan tentang kecantikan dan kemolekan gadis-gadis Jawa. Tidak hanya gadis cantik, di tanah Jawa, menurut cerita para tentara juga banyak rumah-rumah berbentuk gedung dan segudang kehebatan lainnya. Hal inilah yang kemudian mendorong Bram untuk segera meninggalkan Aceh, menuju tanah Jawa.

Setibanya di Jawa, Bram mencoba meniti karir sebagai penyanyi. Dalam perjalanan karirnya, akhirnya dia dikenal sebagai “Buaya Keroncong” dan cukup populer di masanya. Tapi, seperti pengakuannya kepada Kartini, pada awalnya Bram tidak pernah bercita-cita menjadi penyanyi. Dalam keterangannya, Bram juga mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mengajarkannya menyanyi dan kemampuannya berasal dari bakat alami.

Pada saat menapakkan kaki di Jawa, Bram harus berjuang untuk hidup. Bayangannya tentang “kehebatan” Jawa seperti diceritakan para tentara sama sekali tidak ia temukan. Sejak saat itu, Bram juga sudah tidak sempat lagi main bola karena ia harus berusaha keras mencukupi kebutuhan hidupnya di perantauan. Dalam kondisi tanpa pekerjaan, beberapa teman lama mengajak Bram untuk bernyanyi dalam group mereka.

Bram muncul pertama kali sebagai penyanyi di Kota Jakarta pada saat menyambut tamu-tamu dari negeri Belanda. Sejak saat itulah ia mulai dikenal di mana-mana sebagai penyanyi keroncong.

Pada tahun 1934, lagu-lagu Bram direkam dalam piringan hitam dengan honor setara 500 rupiah untuk harga pada 1983. Bram juga dikontrak perusahaan piringan hitam milik Belanda sehingga namanya dikenal di negeri tersebut. Pada tahun 1950-an, Bram juga membentuk group Titaley Sisters.

Dalam karirnya, Bram juga sempat menjadi anggota Hawaiian Senior, sebuah group musik yang tampil dengan irama “Lautan Teduh” yang pernah muncul di TVRI. Tapi dalam perkembangan selanjutnya Hawaiaan tidak lagi tampil di televisi.

Pada tahun 1980-an, Bram pernah diundang ke istana untuk bernyanyi dengan cucunya Harvey Malaiholo yang saat itu turut disaksikan Presiden Soeharto.

Dalam wawancaranya dengan KARTINI, Bram mengatakan bahwa jika ia menyanyi, para perempuan akan langsung jatuh hati kepadanya. Bahkan para perempuan tersebut bisa jatuh pingsan dan meninggalkan suami mereka karena tergila-gila dengan kemerduan suara Bram, demikian pengakuannya sebagaimana dikutip KARTINI.

Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…