Kita Sudah Berdamai, Tapi Sudahkah Kita Berhenti Bertikai?

Ini adalah rabu dan bulan sedang Agustus. Bagi kami bangsa Aceh, 13 tahun yang lalu sebuah babak baru di mulai. Ini adalah hari dimana pertikaian bersenjata dinyatakan usai. Adalah hari dimana Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RI sepakat untuk berdamai.

13 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk merajut kembali asa yang pernah pupus dihantam perang. Asa mewujudkan Aceh yang sejahtera, adil dan merata. Sebuah cita-cita membawa Aceh menjadi setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia.

1496 tahun setelah kelahiran Yessus di Nazaret yang menandai dimulainya sistem penanggalan masehi, di kuala Krueng Aceh, cita-cita itu didirikan dalam wujudnya sebagai Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam perjalannya, bangsa yang mengaku sebagai Bansa Teuleubeh Ateuh Rhueng Donya ini harus melalui teramat banyak perang. Membuat sepetak tanah di ujung Sumatera ini tak pernah reda dari bau anyir darah. Perkampungan hancur, dan nilai-nilai kemanusiaan lebur diamuk amarah. Musuh dan alasan berganti-ganti namun perang seakan tak ada henti.

Yang terakhir tentu saja konflik berdarah antara Jakarta sebagai simbol pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ini bermula setelah ikrar perlawanan yang disulut Hasan Tiro dibalik kabut di puncak Halimun. Ikrar perlawanan yang ditanggapi Jakarta dengan mengirim ribuan serdadu bersenjata.

Ini hari, 13 tahun yang lalu, setelah perjalanan panjang nan berliku, Jakarta akhirnya sepakat untuk menarik pulang itu serdadu. Dengan syarat Aceh Merdeka bersedia berhenti angkat senjata. Sebuah kesepakatan yang ditanggapi segenap masyarakat Aceh dengan gegap gempita. Sebab berakhir sudah hari-hari suram penuh duka dan air mata.

Ini hari, 13 tahun sudah perang telah berhenti. Namun melihat kenyataan seperti apa kita hari ini, mengapa sesama anak bangsa masih saja kita melempar maki? mengapa sesama kita masih saja saling menyakiti? Jika kita bisa berdamai dengan Jakarta, mengapa kita tak mampu berdamai dengan diri sendiri?