Arenga Pinnata

in #indonesia6 years ago (edited)

Kisah sebelumnya...

Ia menepuk bahuku, di antara 2 belikat. Mencoba membantuku melepas sumbatan sesuap nasi goreng berhias tumis kacang panjang yang menyangkut; tertelan segan, termuntah tak mau. Paras yang sebelumnya tersenyum usil berubah panik. “Cinta… kamu kenapa? Aku cuma bercanda, koq…” ujarnya resah.

Enau
Tanganku bertumpu di meja makan. Pola kayu Grupel yang menyerupai jejak tapak Harimau menjadi penumpuku saat berupaya melepaskan cekat di leher. Akal sehat yang segera berkuasa mendorongku untuk menarik napas panjang dari sepasang lubang hidung lantas menghempaskan sebentuk batuk yang sukses menendang gumpalan nasi meloncat dari tenggorokan. Berulang kali kuhela dan kulepas napas lega. Keringat dingin mengalir di pori tengkuk, kening dan ketiak.

Ia tertawa canggung. Ketakutan masih bertahta dalam dirinya. Belum ada kata yang terucap. Parasnya masih berlumur cemas saat aku masih merasakan bayang kematian melambaikan tangan dengan senyum genit yang membunuh.

Akhirnya kami berdua tertawa lega setelah jeda berisi ketakutan yang menyiksa.

“Waaahhh… hampir saja…” cetusnya dengan ungkapan menggantung. Saat mendengar pengakuan bahwa ia bercanda tentang keinginannya bertemu Mamak, aku juga menyadari satu hal, beberapa canda tanpa sadar mengundang kehadiran kematian.

Aku mencoba menetralkan suasana dengan mengitari dapur sambil merentang-rentangkan tangan, memutar tulang Humerus yang bertumpu pada sendi peluru di bahuku. Ia terduduk lemas dengan napas satu-satu. Tepekur. Panik. Bahunya selunglai genjer yang terendam dalam air mendidih. Kubuka kulkas sambil melintas, mengambil coklat Cadbury dairy milk, mendekatinya dari belakang, mengangsurkan bungkusan kudapan produk Switzerland itu.

Kuharap phenethylamine dalam sepetak gigitan coklat mampu membangkitkan endorfin dan dopamine dalam tubuhnya, mengusir resah akibat gejolak adrenalin.

“Udah ah… jangan begitu terus…” bujukku dengan nada bass. Mencoba meredam paniknya.

“Aku takut kamu mati…” ujarnya dengan nada lirih memekik di level Sopran.

Gelakku membahana. Menertawakan ia yang semakin merasa sendiri. Di matanya, tawaku seolah menunjukkan aku tak berpihak padanya.

“Kamu ini betul-betul nggak paham ketakutanku!” serunya kesal.

“Aku paham, Darling… aku paham…” sangkalku dengan tetap bernada bass untuk membuktikan keberpihakan. “Yang bikin pernyataan kamu itu lucu adalah soal kematian. Kenapa mesti takut mati? Bukankah itu sudah pasti?!” tanyaku retoris.

“Mati itu pasti, Cinta… tapi jangan secepat ini. Aku sedang asyik menjalani hidup dengan kamu!” sergahnya. Tawaku semakin menggelegar.

“Kau membuat hidup dan mati seperti ilmu dagang, bisa ditawar-tawar. Sejak kapan kita bisa meminta hidup dan menolak mati?!,” paparku sambil menahan sisa geli yang membangkitkan tawa di bentang abdomen.

Ia melirik takluk. Menatapku kesal karena menyadari sesederhana itu kebenaran yang berkelindan dalam atmosfer di antara kami. Terkikik geli dan beranjak memelukku gemas. Entah kapan terjadinya, sepatah coklat telah tergigit setengah di antara geliginya saat wajah kami bertatap di hulu pelukan. Kugigit setengah coklat yang terbebas dari gigitannya. Bibir kami bergotong-royong mengulum bongkahan yang lumat oleh gigitan kecil dan hisapan lekat di antara kecupan.

Kakinya telah melingkari pinggangku sejak detik kelima perkecupan. Kepala kami masih berpadu. Kulangkahkan kaki menuju serambi belakang, tempat teratai bermenung di hening sebentang kolam. Seperangkat kursi bambu telah 2 tahun terakhir menjadi singgahsana, teronggok di situ. Aku tak pernah membiarkannya berdebu. Agar saat akan meletakkan pinggulnya, kenyamanan akan selalu menyambut.

“Tunggu di sini! Aku bikin kopi sebentar…” ujarku saat pagutan bibirnya terlepas, tanda ia kehabisan napas.

“Jangan lama, ya...” rengeknya menggambarkan kekalahan nalar oleh letupan Estrogen. “Satu tepukan di otot pelvis akan melentingkan tubuhnya ke Nebula” pikirku.

Kuseduhkan kopi untuknya. Ia selalu tunduk dengan standardku saat menikmati kopi pagi, accident coffee, terjemahan penuh pemaksaan untuk Kopi Tubruk yang kupetik dari celetukan Parto Patrio di program Ngelaba bikinan TPI. Ternyata ia tak menonton sketsa yang satu itu hingga terperangah mendengar nama resep seduhan kopi. “Aku pesan accident coffee,” ujarku pada pertemuan pertama kami di café miliknya. Ia sedang menyamar menjadi barista hari itu.

“Haaa… nggak ada, Bang…” jawabnya. “Kami cuma punya kopi seperti yang ada dalam daftar menu,” tambahnya. “Maksudku, kopi tubruk, Dek…” ujarku menjelaskan. Ia langsung ngakak tanpa kehilangan keanggunan. Sejak itu, aku kerap mengunjungi café-nya untuk berlama-lama menikmati sosoknya yang mondar-mandir meracik pesanan kopi, melayani pelanggan di saat pengunjung terlalu ramai. Cuma satu momen yang kunanti; aku sudah punya koleksi kenangan sosoknya saat ia murung, ceria, kesal, marah, tersenyum, tertawa.

Semua ekspresi wajahnya dalam beragam suasana hati selalu menggambarkan perpaduan 2 hal, cantik dan anggun. Tapi belum pernah kudapati ia menguap, semembosankan apapun suasana. Ia seperti memiliki stamina segahar Mike Tyson muda. Aku ingin melihat ia menguap. Setelah itu, tuntaslah sudah obsesiku untuk mengumpulkan ragam ekspresinya.

Akhirnya, setelah lebih dari setahun pemantauan, kutemukan paranya berhias mata panda. Ia tampak letih hari itu. Matanya tampak kesal saat menatap smartphone yang biasanya sangat jarang tersentuh saat bekerja. Sepertinya ia sedang punya masalah dengan partner asmara. Dan… beberapa kejap kemudian, kantuk tampak lebih berkuasa dari kecantikan dan keanggunan nan kokoh yang tengah berdiri 3,6 meter di hadapanku. Eng… ing… eng… ia menguap.

Amboy…! Ia menguap, tapi keanggunan tak sirna, bahkan saat kepalan tangannya menutup rongga mulut yang sedang menganga itu…

Hari itu adalah hari terakhirku mengunjungi café-nya. Keputusanku sudah bulat. Namun, tak pernah kusadari… tak mampu kupahami… keputusan itulah yang membuat ia memburuku dan melekatkan kami hingga hari hari ini.

***

2 gelas berisi kopi tubruk kuletakkan di meja yang mengantarai kami. Saat aku tiba, matanya tengah menatap lurus, membentur sebatang pohon Enau dengan sebatang bambu penampung nira yang kuletakkan di bawah mayang-jantan. Sorot matanya menerawang jauh, pikirannya tengah menyelami sesuatu yang tak terjangkau seluruh indraku.

“Itu jelmaan seorang gadis yang menolak saat orangtuanya hendak mengawinkannya untuk melunasi utang,” kataku menginterupsi lamunannya.

“Apa?!” tanyanya kaget.

“Pohon Enau, tempat matamu terpacak saat ini,” uraiku.

Ia tersenyum jengah. Kaget karena tertangkap basah berkubang lamun.

“Masa’ sih…?!” ujarnya tak percaya sekaligus penasaran.

“Setidaknya begitu cerita yang berkembang di kalangan Orang Melayu,” jawabku.

“Sekujur tubuhnya menjelma sebatang pohon yang tiap bagiannya berguna bagi manusia,” tambahku lagi.

Kuceritakan pula tentang bagian-bagian dari sekujur batang Enau beserta manfaatnya. Akar yang berfungsi sebagai penghias ruangan, batangnya yang bisa dijadikan bahan bangunan rumah dan jembatan, lidi untuk menyapu, pelepah untuk membuat atap dan daun muda yang bermanfaat sebagai pelinting rokok, mayang jantan yang menghasilkan nira dengan produk turunan berupa tuak dan gula merah, juga mayang betina yang menghasilkan buah untuk diolah menjadi kolang-kaling. Belum lagi ijuk, jelmaan rambut sang Gadis yang dapat dijadikan sapu dan atap rumah.

"Akhirnya, keluarga si Gadis mampu menutupi semua utangnya. Merekapun menyandarkan penghidupan dengan mengolah setiap bagian pohon Enau. Sebentuk takhayul tumbuh di kalangan masyarakat Melayu; setiap orang yang menyandarkan penghidupan pada pohon Enau tak akan bisa kaya, tapi tak juga miskin. Intinya, mereka tak 'kan hidup kekurangan," paparku setengah mendongeng.

“Wowww…!!!” serunya takjub. “Aku baru sadar, begitu komplit manfaat Enau bagi manusia. Tanpa kusadari, selama ini banyak betul benda di sekitarku yang berasal dari pohon Enau!” suaranya nyaris memekik saat memaparkan takjub.

“Setelah kukaji lagi, kutemukan bahwa itu cuma legenda. Kupikir setiap pohon, bahkan setiap ciptaan memiliki kelengkapan manfaat sehebat Enau. Kita yang jarang merenungkannya secara serius,” beberku.

“Benar juga, ya…” balasnya.

“Benar. Nggak pakai juga,” tukasku. “Kalau ‘benar juga’ berarti tak sepenuhnya benar!” imbuhku lagi.

“Kau otoriter!” balasnya tak terima. Kucoba mengabaikan sejenak penghakimannya, menekan bubuk kopi yang mengapung di permukaan, di titik puncak fase blooming. Sebentang sruputan panjang menyeruak gendang telinga dan mengendap di Rumah Siput. Ia tampak makin kesal dan gemas.

“Memang susah menerima kebenaran. Padahal, bukan perkara gampang memikirkannya, Sayangku…” ujarku menanggapi penghakimannya. “Kau harus mulai mencoba memahami perbedaan antara ‘otoriter’ dengan ‘upaya meyakinkan’,” cecarku.

Ia menjawabnya dengan mendekat, merengkuh tengkuk dan mendaratkan sekecup kelembaban bibirnya di keningku.

“Aku kesal karena kau seringkali benar,” ungkapnya.

“Sering benar atau selalu benar?” keusilanku yang terakhir ini berhadiah sebentuk cubitan gemas di pangkal belakang lengan, tepat di bagian kulit pembungkus triceps. Aku mengaduh.

“Aku ingin menjadi sepenting Enau dalam hidupmu,” ujarnya lirih.

“Tidak, Cinta… kita harus menjadi Enau bagi masing-masing, sebab terlalu muluk saat ingin menjadi Enau bagi Dunia…” balasku. Tatapan kami bertarung lagi, seperti sepasang tubuh yang juga tak mau kalah mengadu pergumulan pagi yang berhias kicau binal Copsychus Saularis ini. Mentari jam 10 pagi belum membangkitkan peluh. Sisa sejuk masih menjejakkan nuansa subuh di lembah ini.

Darling…” ujarku lirih.

“Ya…” jawabnya.

“Engkau seperti buah Enau tua,” bisikku dengan bibir menempel di belakang daun telinganya. Parasnya langsung masam.

“Kenapa?!” ia bertanya kaget.

“Kalau kita sedang nempel begini, bawaannya aku jadi ‘gatal’ aja…

“HAHAHAHAHAHA…” gelak-tawa kami berdua bersahutan, mengacaukan kedamaian pagi.

Sort:  

Panjang ya bang ceritanya 😂

Cerita yang buruk memang akan terasa panjang, Bro...

Ini tanda aku perlu berlatih lebih banyak lagi... :)

Hahaha, siap mas bro, mantap² 👍😂

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 63754.85
ETH 3055.95
USDT 1.00
SBD 3.85