Bersyukur, adalah solusi untuk menggapai ketenangan

Mungkin tulisan ini saya tulis termotivasi dari curhatan seorang teman yang sekantor kerja dengan saya. Terbilang kami baru memasuki bulan kedua bekerja disebuah perusahaan swasta. Setelah dua tahun menjadi pengangguran yang tidak mendapatkan income sama sekali, saya sangat bahagia saat dipanggil interview disebuah perusahaan yang saya bekerja saat ini.

Saking gembiranya, saya tidak ada ongkos untuk menuju kantor dimana saya akan diinterview, meski hanya terhitung satu hari, saya harus bergegas menemukan ongkos untuk dapat ketempat yang membuat hati saya bahagia itu. Berjarak cukup jauh dari tempat saya tinggal, namun bagaimanapun paginya saya harus berada di kantor itu.

Akhir cerita, saya dan beberapa teman yang interview sekaligus hari itu, diterima sebagai karyawan di perusahaan swasta ini. Terhitung sudah hampir dua bulan Alhamdulillah saya dapat bertahan, meski berbagai tantangan baru saya dapatkan disini. Tapi Alhamdulillah saya bersyukur dapat bekerja dan berjuang bersama teman-teman baru disini.

Namun, saya kaget bukan kepalang ketika salah satu teman sekantor saya itu curhat, bahwasanya dia tidak lagi sanggup bertahan dengan kondisi seperti itu. Entah beban apa yang membuat dia sehingga hatinya bergejolak dan tak sanggup. Berkali-kali saya tanyakan soal itu, namun jawaban yang keluar dimulutnya hanya "entahlah".

Saya menganggap dia adalah manusia yang tidak pandai menempatkan rasa syukur. Dulu alasan dia melamar, adalah karena tidak memiliki pekerjaan. Sekarang saat pekerjaan itu ada. Bahkan belum terhitung lama, malah dia ingin resain dari perusahaan ini. Berkali-kali saya katakan, kita sebagai karyawan baru, pasti akan menemukan titik jenuh dengan berbagai aktivitas perusahaan, disinilah kita perlu sabar, akan ada saatnya, dan itu tidak lama lagi, kita akan nyaman dengan kondisi disini.