Kasidah Pendakian dan Refleksi Setengah Abad Indonesia

in #indonesia5 years ago (edited)


Pada 1995, sebuah pertemuan penyair diadakan di Solo, tepatnya di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. Nama acaranya, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka. Acara itu melibatkan para penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah nama besar juga hadir, ada KH Mustofa Bisri, Rendra, Ken Zuraida, Ratna Riantiarno, Ratna Sarumpaet dan sebagainya. Salah satu penggerak utama kegiatan itu adalah Murtidjono, Kepala Taman Budaya Surakarta.

Kegiatan itu juga menghimpun karya para penyair dari seluruh Indonesia, mulai yang junior dari kampung seperti saya hingga para penyair ternama yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. Namun, saya tidak bisa hadir pada saat itu. Terus terang, saya tak punya uang. Tapi puisi saya termaktub dalam antologi acara itu.

Tadi pagi, sambil menyicil pekerjaan kantor di rumah, mata saya terbumbuk pada sebuah bundel tebal mirip diktat dengan kulit warna biru tua. "Diktat" itu berada di antara aneka makalah, tugas kuliah (ketika saya belajar di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta), dan "hal-ikhwal" lain yang ukuran dan bentuknya sejenis: A4 alias folio.

Saya tergerak untuk mengambilnya. Dan begitu melihat judulnya, saya pun terbayang pada tahun 1995 itu. Inilah buku antologi puisi "Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka" itu. Saya pun membuka halaman demi halaman. Panitia membagi karya penyair menurut provinsi asal mereka. Celakanya, tak ada Aceh di sana.


Padahal, saya sangat yakin puisi saya ada di sana. Jika tidak, ya tidak mungkin saya mendapatkan nomor bukti terbit "diktat" tebal tersebut. Halaman awal dimulai dengan Provinsi Sumatera Utara. Di sana ada banyak penyair generasi "lama". Lalu berlanjut ke arah Timur, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.

Nah, di mana Aceh? Saya sempat bertanya-tanya mengapa Aceh tidak ada dalam buku itu. Saya buka satu persatu. Akhirnya, saya pun menemukannya. Ia terselip di dalam. Salah satu puisi saya yang termaktub dalam buku berjudul Kasidah Pendakian. Berikut puisi tersebut:



KASIDAH PENDAKIAN

di jalan ada suara menyentak
istirahatlah sebentar
membangun rumah, menikmati malam
memaknai luka

suara-suara makin lirih
meningkahi pendakian ini
menyamarkan sebuah cerita, segala
kabar kelahiran
di mulut gang

aku pun bertanya
tidak menggetarkankah jalan raya
dengan sejumlah cerita di mulutnya
sungguh tidak bermaknakah sejarah
terangkai di rumah
bila kenyataan adalah sarapan pagi
berbaris di setiap jembatan
perjalanan dan rumah-rumah
sama-sama menawarkan gelisah dan keharuan

bila jalan dan rumah adalah kenyataan,
pendakian yang belum (juga) sampai
apa yang mesti diperebutkan
dalam setiap pertengkaran.

Banda Aceh, Juni 1994.



Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/kasidah-pendakian-dan-refleksi-setengah-abad-indonesia/

Sort:  

saya masih ingat pertunjukan peringatan ultah emas Ri, mas mugiyanto dan mas slamte gundono. dula lelaki berbeda size, meneriakkan kata merdeka. Mas Slamet gundono dengan suara cempreng pertunjukan yang sangat menarik...

Keren adun @musismail
Terus bekarya..

Posted using Partiko Android

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66038.71
ETH 3178.89
USDT 1.00
SBD 4.05