13 Cerita di Buku Cerpen Lelaki yang Ditelan Gerimis

in #indonesia6 years ago


Ini adalah pengantar buku kumpulan cerpen saya Lelaki yang Ditelan Gerimis yang diterbitkan oleh sebuah penerbit indie, Imaji Indonesia, Juni 2017. Buku itu memuat 13 cerpen saya. Cerpen-cerpen itu pernah dimuat di sejumlah media seperti Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Jawa Pos, Lampung Post dan Riau Pos pada rentang 2003 hingga 2017. Sebagian lagi belum pernah diterbitkan.(html comment removed: more)

13 Cerita

Bagi sebagian orang, 13 adalah angka yang dianggap tidak membawa keberuntungan. Sehingga kerap kita temukan ada gedung tidak ada lantai 13, tapi adanya lantai 12 B atau lainnya. Begitu pula nomor rumah, mereka menggantikan dengan angka lain selain 13. Tentu dalam kesempatan ini kita tidak perlu menelisik mengapa 13 dipersepsikan sebagai angka sial.
Yang pasti, saya tidak mau terjebak dalam mitos angka 13. Maka itu, buku ini memuat 13 cerpen. Semuanya bertema Aceh. Mengapa Aceh, ya karena saya berasal dari Aceh. Saya mengalami, menemukan, melihat, mendengar dan mengamati tentang banyak hal di Aceh, terutama pada era konflik. Tentu saja cerpen ini tidak untuk mengusik luka lama. Ini hanya kumpulan “catatan” dari seorang penulis cerita tentang sejumlah hal yang idenya terpantik dari kondisi saat itu.
Sudah pasti pula, apa yang saya kisahkan bukanlah kejadian sebenarnya. Semua cerita dalam buku ini adalah fiksi. Saya hanya mengambil inspirasi dari kejadian-kejadian yang terjadi di Aceh, lalu saya kembangkan dengan “keliaran” imajinasi. Begitulah lazimnya fiksi ditulis.
Kejadian tersebut tentu saja tidak harus saya saksikan sendiri. Ada yang saya dengar dari orang lain seperti orang tua, kerabat, teman kecil, saksi mata, berita koran, hingga bisik-bisik dari mulut ke mulut yang mungkin saja tidak seperti fakta sebenarnya.
Tapi itu semua tak masalah, sebab saya tidak sedang menulis laporan jurnalistik atau narasi sejarah yang mengharuskan verifikasi, validasi dan konfirmasi agar fakta itu tidak keliru ketika dihidangkan kepada masyarakat. Dalam posisi ini, saya cuma, sekali lagi hanyalah, seorang penulis cerita. Tukang cerita.
Misalnya, suatu kali saya mendengar keluh kesah orang tua saya tentang rumah kami di kampung. Kedua orang tua saya, plus adik perempuan, pindah ke Jakarta, salah satunya karena kondisi di kampung tak menentu. Namun kadangkala mereka rindu kampung dan sedih harus meningalkan rumah yang mereka bangun dengan susah payah ketika saya kecil.
Pada kesempatan lain, saya sedang bersama kawan-kawan kantor di kawasan Pantai Carita, Banten, lalu saya teringat kampung di Aceh. Kebetulan rumah saya di sana, Desa Meue, Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, juga berada di tepi pantai. Ada kemiripan suasana dengan Pantai Carita.
Begitulah kisah fiksi ditulis: ia berangkat dari lecutan-lecutan yang terjadi, spontan maupun terencana, terhadap sebuah peristiwa. Penulis sastra mencatat peristiwa, lalu mematangkannya dengan imajinasi plus diberi muatan-muatan pikiran sebagai sikap dalam merespon peristiwa itu.
Dalam posisi inilah penulis sastra mengambil peran ikut memberi warna dalam sejarah. Meskipun penulis sastra bukan sejarawan dan karya sastra bukanlah tulisan sejarah. Tapi masyarakat bisa menemukan ada sesuatu yang bernilai sejarah dalam karya sastra. Sehingga kisah-kisah dalam fiksi bisa pula menjadi cermin dari sejarah.
Sebagian cerpen dalam buku ini pernah dimuat di sejumlah media cetak, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post hingga Riau Pos. Terima kasih kepada media yang telah memuatnya. Sebagain lagi belum terbit di media massa.
Cerpen-cerpen tersebut saya kumpulkan menjadi manuskrip buku pada 2014, namun baru bisa terbit sekarang (2017). Beberapa di antara manuskrip itu ada pula yang kembali saya revisi. Biasalah, terkadang saat membaca ulang ada saja yang membuat tangan “gatal” dan ingin “mengobrak-abriknya”.
Untungnya saya bisa menahan diri untuk tidak melakukan revisi berlebihan sehingga menghilangkan suasana, nuansa, hingga karakter dan cara menulis pada saat cerpen itu ditulis -- lengkap dengan segala kekurangannya. Saya ingin mempertahankan segala kondisi pada saat cerpen tersebut saya tulis, termasuk jika ada di antaranya yang tak layak disebut cerita yang baik.
Maka itu, sudah pasti buku ini tak lepas dari kekurangan. Masukan dan diskusi yang mendorong daya dan semangat kreatif sangat diharapkan..

Terima kasih
Depok, 1 Mei 2017

Mustafa Ismail

Lelaki yang Ditelan Gerimis _ POSTER OKE

RIWAYAT PUBLIKASI

  1. Lelaki Laut, Suara Pembaruan, 12 Juni 2005
  2. Di Bawah Cahaya Kristal, Lampung Post, 23 Mei 2004
  3. Lelaki yang Menangis, Republika, 15 Juni 2003
  4. Ziarah, Jawa Pos, 2 Februari 2004
  5. Mimpi tentang Rumah, Jawa Pos, 20 Maret 2005
  6. Rex, Seputar Indonesia, 2006
  7. Tangis Sehabis Hujan, belum pernah dipublikasikan
  8. Pencatat Kematian, belum pernah dipublikasikan
  9. Lelaki Asing, belum pernah dipublikasikan
    10 Lelaki yang Ditelan Gerimis, Kompas, 15 Februari 2004
  10. Menunggu Ayah, belum pernah dipublikasikan
  11. Malam Sudah Larut, belum pernah dipublikasikan
  12. Perempuan di Laut Tawar, Riau Pos, 14 Mei 2017

KETERANGAN BUKU:

Lelaki yang Ditelan Gerimis
Ismail, Mustafa

Penulis : Mustafa Ismail
Cetakan Pertama : Juni 2017
Tata letak & kulit : Tim Imajibook
Pemeriksa Aksara : Willy Ana
Gambar Cover : Internet/diolah

Penerbit :
Imaji Indonesia
Vila Pamulang BlokDJ7 No.8 Pondok Petir
Bojongsari, Depok 16517
Email: [email protected]
Twitter: @imajibook
www.imaji.xyz

ISBN 978-979-17640-6-3



Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/13-cerita-di-buku-cerpen-lelaki-yang-ditelan-gerimis/

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66274.97
ETH 3175.04
USDT 1.00
SBD 4.06