Perbukuan

in #indonesia5 years ago

Pagi itu, Minggu (10/2/2019) jam menunjukan pukul 11.28 WIB. Deretan buku dipajang rapi di toko dua lantai dengan cat dominat putih. Seorang pekerja wanita sedang merapikan buku. Meletakan sesuai dengan kategori, mulai dari bacaan anak, sastra, sains, hingga kajian ke Islaman. Walau letak strategis, berada di pusat kota, toko di Jalan Baru Kota Lhokseumawe itu nyaris tak dilirik warga untuk singgah.

Padahal letaknya berada di pusat perdagangan. Sehingga, sembari berbelanja bahan pakaian, menyesap kopi, idealnya warga bisa singgah dengan mudah untuk mencari bahan bacaan.


IMG_20190210_110239.jpeg
“Pembeli lumayan lah, walau tidak ramai. Tapi ada,” kata penjaga toko buku itu, tersenyum.

Gadis yang usianya belasan tahun ini enggan menyebut nama. Namun, dia mengakui pembeli cenderung mencari buku tulis dan alat tulis kantor yang juga disediakan toko itu. “Kalau buku bacaan, hanya satu atau dua orang yang cari. Itu pun buku anak, kalau remaja ke atas sudah jarang,” katanya tersenyum.

Kondisi serupa terlihat setidaknya dua toko buku di Jalan Perniagaan dan Jalan Malikussaleh, Kota Lhokseumawe. Di sana,juga tak terlihat pembeli yang sedang memilih buku. Toko sepi.

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) melansir, persentase minat baca anak Indonesia hanya 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca.

Sebuah survei dilakukan Most Littered Nation In the World, 2016 lalu menempatkan minat baca Indonesia diposisi buncit, peringkat 60 dari 61 negara yang masuk dalam survei tersebut.

Pegiat literasi di Lhokseumawe, Sirajul Munir, menyebutkan, Aceh, Lhokseumawe dan Aceh Utara daerah yang kaya akan minyak bumi dan gas. Puluhan tahun lalu, kondisi literasi dua daerah itu tak kunjung membaik.

“Faktornya banyak, salah satunya pemerintah yang hanya suka jargon meningkatkan minat baca. Di sisi lain, pendanaan untuk program literasi itu nyaris tidak ada. Perpustakaan pemerintah pun letaknya tidak strategis, sejatinya pustaka itu dekat dengan pembaca, dengan komunitas remaja, agar minat mereka tumbuh pelan-pelan,” katanya.


IMG_20190210_110328.jpeg
Tak heran, karena minat baca yang rendah, tidak ada toko buku yang lengkap di kota itu. Kondisi Aceh Utara, sambung Sirajul lebih memperihatinkan. Hanya toko-toko buku kecil di ibukota kecamatan tersedia. Dengan koleksi super terbatas.

“Coba cek di kabupaten/kota di Aceh, berapa nilai rupiah yang digelontorkan untuk minat baca? Belum lagi kita bicara buku sejarah, yang lebih spesifik, itu nyaris tidak ada. Tak heran, generasi muda Aceh itu tak paham sejarah masa lalu, minat baca rendah, bukunya pun susah dicari,” terangnya.

Kondisi itu diperparah dengan rumah baca yang harus berjuang sendiri dengan idealisme mencerdaskan generasi bangsa. “Ada rumah baca, namun mereka itu nyaris tak diperhatikan. Harusnya pemerintah membantu rumah baca ini,” sebutnya.

Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, Kabupaten Aceh Utara, Amir Hamzah, mengakui minat baca masyarakat daerah itu rendah. Namun, data terbaru belum diterima soal minat baca Aceh. “Sudah disurvei oleh tim Perpustakaan Provinsi Aceh soal minat baca di Aceh Utara. Namun, hasilnya belum dikirim,” katanya.

Dia menyebutkan untuk meningkatkan minat baca, Aceh Utara mengampanyekan perpustakaan keliling. Mendatangi desa di pedalaman dan membuka lapak bacaan. Direncanakan, juga didirikan pojok baca di warung kopi.

“Untuk komunitas peduli literasi, dan individual yang bekerja dalam sunyi, kami sedang susun penghargaannya. Semoga bisa dalam waktu dekat,” katanya.

Dia optimis, minat baca akan membaik dari waktu ke waktu. Pustaka Aceh Utara, sambung Amir memiliki 15 ribu judul buku dengan 50 ribu eksamplar. “2020 kami rencanakan digitalisasi, menyesuaikan zaman. Kami optimis minat baca kita akan membaik,’ pungkasnya.

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 70884.24
ETH 3570.27
USDT 1.00
SBD 4.76