"HISTORY" Medan Warenhuis: Tinggalan Sejarah Kota Medan

in #history7 years ago (edited)

IMG_4560.JPG

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai keberadaan bangunan Warenhuis yang terdapat di persimpangan antara Jalan Ahmad Yani dan Jalan Hindu. Bangunan yang didirikan pada 16 Februari 1919 ini merupakan bangunan pusat pertokoan pertama dan terbesar di Kota Medan dan di Pulau Sumatera sebagai basis ekonomi Hindia Belanda di awal abad ke-20. Nilai historis yang dimiliki oleh bangunan Warenhuis ini menjadi penting, selain romantika historis yang dimilikinya juga ketika kawasan Kesawan dimana bangunan tersebut berada bertransformasi menjadi lalu lintas kota yang padat dengan kondisi bangunan yang kurang terawat serta tidak terdapat adanya rutinitas kegiatan didalam gedung tersebut.

Perkembangan sejarah Warenhuis turut mencatat pula perkembangan wilayah Deli menjadi Kota Medan yang kompleks dan modern, seperti aspek pembangunan fisik bangunan untuk mendukung kehidupan masa itu yang kelak turut pula mewarnai fisik-fisik bangunan masa kini.

Perkembangan wilayah Deli yang kemudian dikenal sebagai Kota Medan menjadi saksi keberadaan aspek-aspek pendukung kehidupan; keberadaan perkebunan tembakau yang menjadi denyut kehidupan masa itu, kehidupan multi-etnis yang menjadi bagian keberagaman dan interaksi dan sarana transportasi kereta api yang menunjang aspek mobilitas perkebunan dan penduduk. Hal tersebut memberi tinggalan berupa fisik-fisik bangunan yang memuat beragam cerita menarik dan mampu menjadi sarana reflektif kehidupan masa kini.

Keberadaan bangunan sebagai penunjang kegiatan aktifitas masa itu dipengaruhi oleh pola interaksi masyarakat yang multi-etnis, hal ini tergambar dari pola tata ruang bangunan, arsitektural bangunan yang vernakularis hingga keterkaitan dengan masa art-deco yang turut menjadi warna fisik bangunan.

Keberadaan bangunan bersejarah Warenhuis di Kota Medan menjadi sebentuk kajian preservasi terhadap keberadaan bangunan bersejarah di Kota Medan, yang tidak hanya sebagai tinggalan masa lalu semata melainkan juga sebagai simbol keterkaitan sejarah antar masa dan juga sebagai bagian kekayaan arsitektural Kota Medan yang beragam.

Medan, Harapan Baru Hindia Belanda

Medan (kota) dalam literasi literasi terdahulu juga sering disebut 'tanah Deli' adalah sebuah negeri hasil permufakatan diantara begitu banyak penguasa dan peperangan. Deli terbentuk dari lelahnya peperangan yang mereka tempuh ketika masih menyandang nama 'Haru', kerajaan besar yang hanya bisa di gali kejayaan nya melalui literasi literasi diluar kota Medan. Di nusantara sendiri kerajaan Haru masuk ke dalam salah satu negeri yang akan ditaklukan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya, dikancah Internasional nama Haru berkali kali masuk dalam catatan Laksamana Cheng Ho melalui misi perdagangannya.

Peperangan terakhir Haru adalah melawan masifnya serangan Aceh di masa Iskandar Muda tepatnya di tahun 1607 Masehi. Aceh mengerahkan seluruh kekuatan perang yang dimilikinya kala itu bahkan melibatkan negeri-negeri yang menjadi sekutunya seperti Turki yang membantu mengirimkan pasukannya.

peta kota medan.png

Ketika Haru takluk, Iskandar Muda pun mengangkat Gocah Pahlawan panglima perang yang sangat cakap dimiliki oleh Aceh ketika itu menjadi wali negeri di tanah Deli. Hingga selanjutnya setelah Gocah Pahlawan berhasil menaklukan hati para penguasa daerah di bekas kerajaan Haru tersebut yakni; Raja Urung Sunggal, Raja Urung XII Kuta Hamparan Perak, Raja Urung Sukapiring dan Raja Urung Senembah sebagai kumpulan Datuk penguasa beberapa daerah di tanah Deli dan mereka pun sepakat untuk mengangkat Gocah Pahlawan sebagai Sultan pertama di negeri bekas kerajaan Haru untuk selanjutnya kita kenal sebagai tanah Deli dan kota Medan.

Sekelumit sejarah Haru hingga kita kenal menjadi tanah dan kota Medan tidak lepas dari perkembangan Selat Malaka sebagai lalu lintas perekonomian dunia yang dikenal juga sebagai Jalur Sutera di wilayah laut. Pedagang dari seluruh negeri di dunia ini mencoba mengambil pengaruhnya masing masing pada negeri negeri yang menjadi pelabuhan di sekitar selat Malaka. Sebut saja Malaka di daerah Malaysia saat ini yang pernah menjadi basis perdagangan Portugis, yang selalu bertikai dengan kerajaan kerajaan di Aceh yang bersekutu dengan Turki, begitu juga dengan Penang yang pernah dikuasai oleh Inggris sebagai pelabuhan dagangnya. Hingga memasuki era Hindia Belanda, tanah Deli sebenarnya sudah menjadi eskportir beberapa komoditas seperti rempah, tembakau dan hasil bumi lainnya yang diperhitungkan di perekonomian dunia.

Ketika Nienhuys (pengusaha Belanda) datang ke tanah Deli pertama sekali untuk melihat komoditas apa yang bisa ditanami dan diolah di sini Datuk Sunggal sebagai penguasa daerah Sunggal justru sudah menjadi eskportir Tembakau yang rutin melakukan pengiriman ke Penang untuk didistribusikan ke seluruh mancanegara. Itulah sebabnya pada perkembangan selanjutnya Datuk Sunggal selalu berselisih terhadap Belanda dan Sultan Deli hingga meletus perang Sunggal 1872 (konon pernah membangkrutkan Belanda) yang menyebabkan ia harus dibuang ke Batavia (Jakarta).

datuk.png

Setelah perang Sunggal inilah Belanda atau Hindia Belanda mendapatkan keadaan yang kondusif untuk memulai usaha perekonomiannya secara masif dengan sistem kapital nya walaupun konflik konflik kecil juga sering muncul dalam dinamika hubungan kerja antara tuan kebun dan buruhnya di beberapa perkebunan. Masalah ini dapat diatasi ketika Hindia Belanda mengeluarkan Ordonantie Kulie pada Juli 1880 untuk mengatasi dinamika berujung konflik antara buruh dan tuan kebun. Peraturan yang dikenal di kalangan buruh dan aktivis kala itu sebagai Poenale Sanctie juga menjadi batu sandungan bagi Hindia Belanda baik itu di dalam negeri maupun di mancanegara dikarenakan peraturan ini mampu mempidanakan buruh yang melanggar peraturan.

Terlepas dari konflik perkebunan itu sendiri, tercatat justru perkebunan lah yang membawa tanah Deli menjadi sebuah negeri atau daerah emas baik bagi Investor (penanam modal) maupun bagi para pencari kerja (khususnya dari daerah Jawa). Deli terkenal dengan julukan 'tanah dolar' ketika itu, dengan julukan tersebut Deli diserbu oleh berbagai macam bangsa dan suku yang ada di Hindia Belanda (Indonesia) bahkan dunia. Hingga di awal abad ke-20 Deli menjadi semacam Melting Pot untuk beberapa bangsa dan suku yang mencari harapan di tanah ini. Terus naiknya keuntungan dari perkebunan menjadikan Deli sebagai negeri baru dengan daya tarik hasil kebunnya, tak kalah dengan kemilau emas.

Secara administratif, Deli berkembang dari awalnya sebagai bagian dari Residen Sumatera Timur (perwakilan pemerintah Hindia Belanda) hingga pada 1918 Deli menjadi sebuah kota yang kita kenal saat ini yakni kota Medan dengan walikota pertamanya adalah Baron Daniel Mackay. Belanda yang awalnya hanya berkonsentrasi pada perkebunan dan segmen perekonomian lainnya kini mulai berkonsentrasi lebih menjadi sebuah pemerintahan berwujud kota. Untuk menopang bentuk pemerintahan yang baru ini kesultanan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan sebagai perwakilan dari Hindia Belanda di sini. Konon berdasarkan paparan Mohammad Said dalam 'Koeli Kontrak Tempo Doeloe 1977' tanah yang diserahkan oleh Sultan Deli saat itu hanya seremonial belaka, dikarenakan Sultan sebelumnya sudah menghibahkan tanah kota Medan dan beberapa lainnya kepada pihak Belanda untuk waktu yang tidak terbatas dalam hal ini untuk usaha perkebunan, namun dikarenakan adanya peraturan untuk membentuk pemerintahan maka dibuatlah seakan akan Sultan menyerahkan secara formal tanah kota Medan kepada Hindia Belanda.

peta penguasaan.png

Medan Warenhuis

Sejak 1918, Medan pun menjadi sebuah kota tempat bertemunya pemilik modal dan pengguna modal, dari hampir seluruh bangsa di dunia dan suku di Indonesia. Berbagai elemen yang ada pun memainkan perannya secara maksimal pada bentuk wujud baru tanah Deli ini. Bangsa Arab, Punjab dan Tionghoa contohnya, mereka secara harmonis memajukan perekonomian Medan dengan keahlian dagang yang mereka miliki. Beberapa golongan Tionghoa juga tercatat menjadi ahli dalam bidang perkayuan di kota baru ini. Suku Jawa, etnis Tamil dan beberapa golongan Tionghoa menjadi motor dalam memajukan usaha perkebunan di kota Meda sebagai buruh. Semua elemen ini melebur menjadi satu kesatuan dengan identitas baru yakni 'orang Medan'.

tjong.png

Perkembangan sebuah kota dari sisi ekonomi juga menciptakan spot spot baru sebagai wujud urban. Esplanade (Lapangan Merdeka) sebagai sebuah tempat terbuka umum menjadi sarana hiburan terbuka bagi orang Medan, untuk sarana hiburan lainnya seperti toko toko yang menjajakan barang barang baik dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier pun mulai banyak dibuka dibarat daya Esplanade. Daerah yang dikenal dengan nama Kesawan menjadi deretan pertokoan dan juga tempat bersosialisasi bagi sesama orang Medan. Tidak ada perbedaan warna kulit maupun bangsa di daerah ini, karena daerah ini hanya melihat seberapa banyak modal yang dimiliki untuk berbelanja atau bahkan sekedar untuk membayar secangkir kopi Jawa yang dahulu sangat terkenal.

Dengan kemajuan ini maka peradaban Medan pun berkembang mengikuti laju modal dan trend dunia, banyak bangunan bangunan yang dianggap sudah tidak modern lagi saat itu diganti dengan bangunan baru karena trend yang sedang melanda dunia. Seperti pada corak Art Deco pada toko 'Bata' di Kesawan dan beberapa bangunan dengan corak Art Deco lainnya yang ada di kota Medan. Jika kita lihat visual lama yang ada di kota Medan dapat kita lihat begitu banyak gaya seni arsitek yang ada di kota ini pada masa Hindia Belanda. Bahkan bentuk ruko yang pada saat ini menjadi seragam, pada saat itu ruko pun memiliki ciri khas antara satu dan yang lainnya sebagai pembedanya. Untuk saat ini beberapa gaya Arsitek tersebut juga masih dapat kita lihat di sepanjang jalan Kesawan ini meski beberapa terlihat tidak terawat lagi.

Diantara banyak nya gedung dengan kekayaan seni arsitek di seputaran Kesawan ini ada satu bangunan yang mungkin luput atau bahkan tidak diketahui sama sekali sejarahnya oleh 'orang Medan' itu sendiri saat ini meskipun seringkali bangunan ini dilewati atau bahkan menjadi objek poto maupun video. Medan Warenhuis atau secara kata per kata dapat kita sebut 'Pusat Pertokoan' yang jika kita konversi pada saat ini menjadi Mall atau Plaza adalah sebuah bangunan yang berada di persimpangan jalan Ahmad Yani (Huttenbachstraat) dan jalan Hindu (Hindoestraat). Bangunan ini adalah pusat pertokoan terbesar dan pertama di Sumatra saat itu, ketika Singapura belum menjadi sebuah destinasi perbelanjaan bagi kaum sosialita. Warenhuis menjadi tempat bagi kalangan bermodal untuk memuaskan hasrat belanjanya tentunya sesuai dengan banyaknya duit yang mereka miliki.

denah warenhouse.png

Letak bangunan ini mungkin jika dilihat dari perkembangan yang ada di sepanjang jalan Kesawan dapat dikatakan agak ganjil karena diposisikan agak tersembunyi di balik bangunan besar lainnya seperti gedung Lonsum (London Sumatra). Tetapi jika kita lihat dari segi usaha jual belinya mungkin posisi yang diambil gedung Warenhuis ini sudah sangat tepat berada tepat di pinggiran sungai Deli. Dianggap tepatnya pemilihan posisi bangunan karena moda transportasi sungai saat itu masih menjadi bagian penting selain moda transportasi darat seperti kereta api yang disuahakan oleh pihak DSM (Deli Spooweg Maatschapij). Warenhuis yang didirikan pada 16 Februari 1919 dan dilakukan peletakan batu pertamanya oleh walikota pertama kota Medan Baron Daniel Mackay (ilustrasi prasasti) ini lantas berkembang menjadi pusat kapitalistik bagi pelaku dan penggiat ekonomi di kota Medan bersama dengan beberapa usaha serupa di seputar Kesawan.

Bangunan Warenhuis ini jika kita lihat baik baik sangat kaya akan inspirasi seni pada bidang arsitektur, fascade gedung berbentuk huruf 'L' ini sangat sarat dengan gaya klasik eropa. Selain itu pada kedua menara yang juga difungsikan sebagai entrance jalur masuk dapat kita lihat bentuk gaya artdeco pada puncaknya. Pada beberapa jendela di bagian atas kita juga dapat melihat jendela kaca dengan tekhnik patri, sebuah tekhnik yang pada saat itu sangat dikagumi, bentuk seperti ini dapat juga kita lihat pada koridor mesjid raya Medan dan beberapa bangunan besar peninggalan Belanda lainnya di kota Medan. Jika kita memasuki bangunan dari sisi utara kita langsung akan disambut oleh altar tangga kayu menuju lantai dua dengan pola sederhana tetapi tidak kehilangan kesan kemegahan eropa nya, lalu berjalan di lantai dua kita juga akan disajikan deretan pintu pintu (sudah tidak sempurna lagi) pertokoan yang berdiri secara mandiri antara satu toko dengan toko lainnya.

Dari lantai dua jika memandang kebawah kita akan melihat area luas di tengah bangunan mungkin juga dahulu dijadikan tempat berjual beli seperti yang sering kita jumpai pada pusat pusat perbelanjaan saat ini dengan menggunakan steling steling kecil, melihat keatas kita akan lebih terkagum melihat plafon bangunan ini terhampar luas penuh dengan sisa sisa kaca patri, betapa indahnya plafon ini dimasanya ketika masih utuh. Kesan penuh akan bangunan adalah sebuah kejayaan peradaban orang Medan di tanahnya yang subur menjadi pusat penanaman modal asing ketika itu, gedung yang dahulunya muncul dengan warna putih ditambah pilar pilar marmernya menambah kesempurnaan kejayaan orang Medan saat itu menikmati hasil tanahnya sendiri.

menara.png

Ketertarikan akan bangunan ini untuk dijadikan sebuah objek preservasi akan bertambah lagi jika kita disodorkan sebuah realitas sosial politik yang terjadi di sekitar bangunan ini. Huttenbachstraat yang kini menjadi jalan Ahmad Yani dahulunya menjadi tempat bagi perwakilan perwakilan perkebunan berkantor dimana pada sisi jalan Hindoestraat yang tidak berubah namanya hingga saat ini justru menjadi tempat berkantornya advokat advokat pembela hak hak buruh perkebunan yang hingga masuknya Jepang ke kota Medan masih menjadi batu kerikil bagi hubungan antara tuan kebun dan buruhnya, selain itu jalan ini juga menjadi tempat berkantornya beberapa koran progresif yang selalu menyuarakan suara suara kecil kaum buruh dari tiap tiap perkebunan dimana pada saat itu koran koran mainstream milik Belanda selalu memberitakan propaganda propaganda kesuksesan seperti baiknya taraf hidup buruh di perkebunan yang jauh dari realita sebenarnya, salah satu koran besar yang selalu melakukan propaganda tersebut adalah 'Deli Courant'.

Beberapa nama tokoh besar pergerakan nasional Indonesia melahirkan perjuangannya dari sekitaran Hindoestraat dan Huttenbachstraat, perlawanan masif melalui tulisan yang dicetak masal berupa koran memang sudah menjadi langkah serentak para pemuda kita saat itu, terutama sekali para pemuda yang pulang menimba ilmu dari negeri Belanda. Sebagian besar pemuda yang pulang dengan membawa semangat sosialis sepakat untuk menyebar ke seluruh tanah air dan tidak terpusat di Batavia (Jakarta), dimana pergerakan terbesar mereka saat itu berada di Sumatra Timur yang berpusat di kota Medan. Semangat sosialis yang sangat progresif dan masif menjadi trigger bagi para pemuda ini untuk menyuarakan hak hak kaum buruh tanah Deli yang telah diambil melalui Ordonantie Coolie yang dikenal dengan sebutan Poenale Sanctie oleh para pemuda. Para pemuda yang berprofesi sebagai advokat juga tidak pernah lepas mendampingi para buruh yang berselisih terhadap tuannya didepan hukum.

Tokoh yang mungkin saat itu menjadi primadona bagi para buruh dan juga bagi para pemuda yang menginginkan kemerdekaan dari Belanda adalah Iwa Koesoema (lengkapnya Iwa Koesoema Soemantri). Pemuda berdarah Jawa Barat yang memilih untuk membuka praktek pengacaranya di tanah Deli sepulang dari studinya di negeri Belanda. Iwa Koesoema ini bahkan sudah terkenal di tanah Deli sebelum ia menjejakkan kakinya di tanah ini, dikarenakan beberapa tulisannya yang mengkritik Belanda ketika masih menjadi mahasiswa juga beredar di Koran Koran lokal di negeri ini. Maka menjadi tidak asing lagi ketika ia membuka biro hukumnya di Huttenbachstraat. Bersama dengan seorang sahabatnya juga yaitu Raja Boerhanoedin beliau mendirikan harian nasional progresif 'Matahari Indonesia' yang menjadi suara dari tanah Deli untuk kaum buruh dan juga sebagai penabur benih benih kemerdekaan Indonesia, selain Iwa Koesoema kita tentunya kenal dengan nama Tan Malaka pejuang kemerdekaan Indonesia yang sangat gigih menjalankan prinsip prinsip kemerdekaan nya. Beliau juga menjadikan Medan sebagai ladang perjuangan nya.

Mengapa kegiatan pergerakan nasional ini menjadi menarik bagi usah preservasi sebuah bangunan bernama Warrenhuis? Tidak lain karena Warenhuis yang dipandang sebagai citra kapitalis para tuan tuan pemodal perkebunan di tanah Deli menjadi melting pot juga terhadap para pejuang pergerakan nasional negeri ini kala itu yang banyak beraktifitas di seputaran Huttenbachstraat dan Hindoestraat. Seperti pasar atau orang Medan mengenalnya dengan kata 'pajak', seorang Iwa Koesoema yang selalu mengkritik Belanda dan aktifitas modalnya di tanah Deli juga tidak jarang berpapasan dan bercengkerama sambil meneguk secangkir kopi bersama dengan tuan tuan Belanda yang bekerja di perkebunan perkebunan. Dari suasana inilah Warenhuis menjadi menarik untuk di angkat sebagai objek preservasi budaya dan peninggalan sejarah berbentuk bangunan. Suasana melebur seperti halnya pasar menciptakan perlawanan progresif terhadap Belanda yang jauh dari kesan bentrok secara fisik.

Sayangnya dari begitu banyak catatan diseputaran Warenhuis ini tidak diikuti oleh banyaknya catatan atau literasi terkait bangunan ini. Publik hanya disuguhkan sebuah prasasti peletakan batu pertama oleh walikota pertama kota Medan Baron Mackay yang bertanggalkan 16 Februari 1919, selebihnya informasi tentang bangunan dapat dikatakan kabur sama sekali. Begitu juga dengan siapa pemilik bangunan ini yang belakangan diketahui adalah seorang berkebangsaan Belanda, dan ketika pemilik bangunan ini hijrah dari kota Medan untuk kembali ke negeri asalnya Belanda menyusul adanya invasi Jepang terhadap Indonesia tidak diketahui pada siapa ia menyerahkan bangunan ini. Yang dapat digali adalah ketika masa kemerdekaan hingga akhir tahun 80an bangunan ini difungsikan oleh dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara sebagai kantor dan kabar mengenai terbakarnya sisi utara bangunan ini pada 30 Juni 2013 silam.

Medan Warenhuis; Bangunan Sejarah dan Legalitas Hukum

Perkembangan zaman yang pesat membuat cagar budaya menjadi sumber daya budaya yang memiliki sifat rapuh, unik, langka terbatas, dan tidak terbarukan. Dalam konteks menjaga cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya. Pengaturan mengenai perlindungan bangunan bersejarah berdasarkan perundang-undangan meliputi aktifitas pembongkaran ataupun pelanggaran terhadap bangunan bersejarah.

Usaha Pemerintah melalui UU No. 11 Tahun 2010 telah menetapkan beberapa klasifikasi zona wilayah yang diperuntukkan untuk perumahan atau pemukiman, perdagangan, perkantoran, pendidikan dan lain-lain. Bangunan kuno yang memiliki nilai sejarah tersebut dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya dan mendapat perlindungan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.

Cagar budaya menjelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Hal tersebut menjelaskan bahwa bangunan cagar budaya merupakan cagar budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah. Pelestarian bangunan cagar budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah didasarkan pada Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Referensi

  1. Anderson. John. 1826. Mission To The East Coast Of Sumatera. Cambridge Press.

  2. Said, Mohammad. 1977. Koeli Kontrak Tempo Doeloe. Medan: Penerbit Waspada.

  3. Sinar, Luckman. 2005. The History Of Medan. Medan: Percetakan Perwira.


Tulisaan ini di tulis sebagai bahan pengajaran untuk pengetahuan Sejarah dan Cagar Budaya


Terimakasih.

Follow @bazla

untuk tulisan tulisan berikutnya.

Sort:  

Congratulations @bazla! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Congratulations @bazla! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

You got your First payout

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Congratulations @bazla! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of comments

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.15
JST 0.030
BTC 65355.38
ETH 2656.67
USDT 1.00
SBD 2.87